BAB XXX

2.8K 303 19
                                    

Solo, 2015. Alwitra Dwitama

Kembali ke tempatku berada. Mengabdi kembali bersama rekan-rekan, berkahku dapat kembali ke sisi mereka tanpa kurang satu pun. Pelukan ibu yang kurindukan, terasa juga akhirnya. Senyum bangga bapak. Hingga pukulan keras di perutku oleh Bang Alwan, salam penyambutannya bak musuh memang.

Tapi satu hal yang aku percaya. Mereka merindukanku, selalu menunggu kepulanganku, dan berdo'a untuk setiap tugasku yang telah terlaksana dengan baik di perbatasan.

Tak tertinggal, seorang wanita cantik turut menjemputku kemarin.

Mita.

Aku berjanji padanya akan mengantarkan ia sidang skripsi hari ini. Baiklah. Mungkin agak telat karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu. Mita pasti sudah paham dan memaklumi. Memang aku ini milik negara. Waktuku tak pasti bila menduakan negara. Barang semenit, tanpa izin komandanku. Tak akan bisa keluar dari kandang ini..

"Mau kemana Wi? Buru-buru banget," ucap Dwiki yang melihatku mengenakan jaket hitam.

"Mita sidang skripsi--"

"Lha apa urusannya sama kamu? Ribet banget."

Aku mengernyitkan dahiku. Heran dengan tingkah Dwiki yang begitu sensi. Ada apa dengannya hari ini?

"Lila nggak jemput kamu ya kemarin? Sensi banget."

"Ngapain dia jemput aku? Kita sudah putus satu tahun yang lalu, Wi. Sejak kapan jadi pelupa? Nggak ketemu Anjani sehari sudah lupa begini kamu, Wi."

Kuabaikan kekesalan Dwiki yang menyinggung juga tentang Anjani. Aku tak mau membahasnya. Toh, wanita itu bagiku hanya kenangan yang tertinggal di perbatasan sana.

"Kamu pasrah, ya jelas putus talinya. Makanya dikejar lagi. 'Kan sudah dekat sekarang."

"Males. Kebelet." Dwiki pun ngacir begitu saja. Selalu saja seperti itu.

Aku tahu, bukan maksud Dwiki pasrah dan melepaskan Lila--kekasihnya begitu saja. Hanya keadaan yang memaksa keduanya untuk berpisah. Kudo'akan semoga Dwiki kembali bersama kekasih yang masih sangat ia cintai.

Bergegas mengendarai motorku, aku membelah jalan raya siang ini yang tidak begitu macet. Hanya beberapa debu jalanan yang beterbangan. Untung saja aku juga mengenakan helm, debu pun tak akan jadi masalah.

Tapi..

Suatu kerumunan membuatku tak bisa mengabaikan dan berlalu begitu saja. Dengan cepat kuparkirkan motorku di pinggir jalan. Kemudian membuka helmku. Berlari kecil kuhampiri kerumunan orang tersebut.

"Ada apa, Pak?" tanyaku pada seorang pria seumuran bapakku.

"Kecelakaan, Pak. Kasihan. Ibu dan anak sepertinya. Bapak sedang buru-buru tidak?"

Mungkin karena melihatku mengenakan PDL loreng, bapak tersebut memanggilku dengan sebutan 'bapak'. Kulihat kekhawatiran beliau begitu jelas.

Aku menggeleng cepat. Kupastikan dua orang yang berlumuran darah itu lebih penting dan utama dari pada Mita.

"Nama saya Rudi. Ayo Pak kita antarkan anak itu terlebih dahulu! Bila menunggu ambulan, saya tidak yakin dia--"

"Ayo, Pak!" potongku. Aku tak mau mendengarkan hal buruk apa pun. Yang ada dipikiranku hanya tentang keselamatan seseorang yang sedang kuusahakan ini.

Niatku ingin segera sampai di kampus Mita pun sepertinya tinggal kenangan.

Kuiyakan permintaan Pak Rudi. Beliau memintaku untuk membawa sang anak yang menjadi korban tabrak lari. Sementara ibunya masih terus menangis sembari menunggu ambulan yang sudah dihubungi. Sang Ibu yang juga menjadi korban tersebut sempat mencengkeram lengan PDL-ku, sorot matanya seakan memberikanku pesan agar segera membawa sang anak ke rumah sakit.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang