BAB IV

4.4K 397 17
                                    

2014, Alwitra Dwitama

Pagi ini aku terbangun cukup petang. Kutunaikan dua rakaatku setelah membersihkan diri. Lalu, tatkala kusibakkan tirai jendela kamarku. Aku sedikit terkejut. Ternyata hujan cukup deras pagi ini. Mengguyur perbatasan Indonesia kala fajar.

"Dik? Sedang apa? Merindukan seseorang lalu mellow-mellow peluk jendela? Awas PDLmu basah!"

Sial.

Pagi ini aku begitu menikmati hujan pertamaku perbatasan. Akan tetapi momennya rusak tatkala suara bariton dan decitan pintu menyentakku dari lamunan.

Aku membalikkan badan dan langsung mendapati sosok Bang Feri. Apalagi yang diingininya pagi-pagi dengan hujan lebat ini!? Astaga..

"Izin Bang. Tidak ada kamus-kamus rindu selain pada ibu dan bapak saya Bang."

"Pacar-pacar? Yakin nggak ada yang nyelip di hatimu? Apa jangan-jangan diam-diam kamu tikung disepertiga malam?" Bang Feri melipat kedua tangannya di depan dada bidangnya.

Akupun dengan kurang ajar justru berkacak pinggang di depannya. "Izin Bang. Belum ada yang bisa luluhkan hati saya."

"Wahh.. adikku yang paling tampan ini sudah berani ya berkacak pinggang. Macam-macam..."

"Siap salah!" Aku meletakkan kedua tanganku di samping kiri dan kanan tubuhku. Gerakanku berkacak pinggang barusan setengah sadar dan sadar. Alah masa bodo! Memang kenyataannya aku kesal pada Bang Feri.

Pukul setengah tujuh, kulihat hujan mereda. Tinggal gerimis-gerimis kecil yang masih menjadi pemanis. Aku dan rekan-rekanku baru saja keluar dari rumah yang kami tempati selama di sini.

Bang Adin menyeletuk, "Bantuin anak-anak SD naik yuk!"

Dwiki yang peka dengan ucapan Bang Adinpun langsung menyambar tiga sepatu bot. Melemparkan sepatu itu padaku dan dia fokus mengenakannya setelah melepas sepatu PDL berwarna hitam itu.

"Buruan Wi! Nggak usah banyak mikir. Keburu generasi muda kita nggak jadi berangkat sekolah!"

Akupun langsung melakukan hal yang sama seperti yang Dwiki lakukan. Setelah mendengar ucapan Bang Adin tadi, aku jadi berpikir. Sebenarnya apa yang selanjutnya kami lakukan. Mengingat ini merupakan hujan pertama yang kami rasakan di sini.

Kulihat ada segerombolan anak-anak berseragam dari kejauhan sana. Dan, kedua mataku sontak membulat tatkala melihat jalan di depan rumahku tenyata aspalnya sudah tak terlihat. Tertutup lumpur yang cukup tinggi. Sebetis orang dewasalah kira-kira.

Spontan akupun berdiri diantara perbatasan teras. Mencoba untuk berteriak, "Hei! Berhenti di sana!!"

Mereka semua yang mendengar teriakanku bernada memerintah itu seketika berhenti. Kulihat ternyata sosok wanita yang berdiri dibarisan paling belakang bukanlah Bu Airin. Melainkan gadis itu.

Mengapa ia yang menemani anak-anak berangkat sekolah? Entahlah.. aku tak peduli.

"Pakai mantel plastik! Setidaknya PDL kita tidak basah." Kulihat Bang Adin sudah rapih dan siap untuk menjemput mereka semua yang kusuruh berhenti di kejauhan.

Aku hanya mengangguk dan segera mengenakan mantel plastik ini. Tipis sekali! Tak apa, semoga tak sobek.

'Ya Allah izinkan saya mengabdi hari ini. Semoga hal baik yang saya lakukan, akan kembali pada diri saya sendiri.' Do'aku dalam hati sebelum berjalan menerobos gerimis mengikuti Bang Adin dan Dwiki di depan.

Dengan sigap aku dan rekan-rekanku menggendong tubuh-tubuh kecil pewaris bangsa itu. Untung saja tadi Bang Adin memberikan mantel plastik ini padaku. Jika tidak, mungkin tidak hanya tetesan air dari langit yang membasahinya. Melainkan kaki kecil yang tengah ku gendong inipun juga membawa lumpur. Karena sedari tadi mereka berjalan tak mengenakan sepatu.

Kulirik gadis itu juga berjalan di sampingku dengan membawa payung berwarna biru. Serta anak lelaki yang kugendong inipun memayungiku menggunakan payung berwarna abu-abu.

"Terima kasih Bang.." katanya. Yang tentu saja hanya kubalas sebuah deheman kecil. Entah dia mendengarnya atau tidak.

Sesampainya di depan kelas. Aku menurunkan tubuh mungil itu. Kulihat dari di sana masih ada dua anak yang menunggu sembari memegangi payung mereka masing-masing. Niat hatiku hendak kembali lagi ke sana, namun Dwiki dan Bang Adin malah menyuruhku tetap di sini. Katanya biar mereka saja yang mengangkut.

Baiklah. Aku mendudukkan diriku di kursi yang memang ada di depan kelas. Entah apa fungsinya ini!?

"Heran ya Bang?"

"Huh?" Aku mendongak sembari memberikan tatapan tak mengertiku.

Kemudian gadis itu berceloteh, "Jadi begini Bang. Tidak semua anak di desa ini mau untuk bersekolah. Ada yang tidak bisa bersekolah karena harus membantu orang tuanya bekerja di ladang, ada juga yang memang bebal dan tidak mau bersekolah."

"..akan tetapi, dibalik itu semua. Mereka kerap mengintip-ngintip kita yang sedang belajar di dalam. Nanti ketika Bu Airin atau saya menegur, mereka tentu tak akan mau masuk ke kelas. Alasannya, ya karena mereka bukan murid dan juga tak memiliki seragam. Jadilah, kursi-kursi ini sengaja kami letakkan di luar. Siapa tahu mereka mau duduk dan ikut belajar dari sini," jelasnya panjang lebar seolah aku akan memuji kecerdasannya dalam berbicara.

"Oooo.."

Ketika aku hanya ber-oh ria, kulihat gadis itu tersenyum dalam kecewanya. Lantas aku harus menjawab apalagi? Memuji dia begitu?

Seorang anak laki-laki yang kugendong tadi berkata, "Om Tentara, terima kasih."

Sudah kuduga dia lupa mengatakannya tadi. Akupun tersenyum sembari mengusap kepalanya. Kurasakan rambutnya begitu kasar dan sedikit gimbal. Berapa lama dia tidak keramas? Entahlah..

"Iya sama-sama. Belajar yang rajin jagoan. Namamu siapa?"

"Siap! Reno Om Tentara." Aku terkekeh pelan tatkala ia menirukan gaya sikap tegap kami.

"Oke. Prada Reno-Ahh.. ralat. Lettu Reno! Belajar yang rajin ya Le. Nanti kalau sudah besar, jadilah kebanggaan negeri. Membawa pulang kehormatan ke ujung negeri ini, kampungmu tepatnya."

"Lettu itu apa Om?" tanyanya dengan raut wajah kebingungan tatkala kutambahkan pangkat Lettu di depan namanya.

"Letnan Satu. Golongan Perwira. Semoga kelak kamu dapat menjadi bagian dari mereka. Dan, dipanggil dengan sebutan Danton Reno.." Tak sadar aku tersenyum lebar tatkala memberikan sebuah impian besar pada anak ujung negeri ini.

Apa salahnya? Siapapun dan darimanapun dia, haknya tetap sama dengan yang lain. Tentu saja sesuai dengan usaha dan tekadnya dalam meraih.

"Semangat sekolahnya ya Le.." ucapku lagi. Aku hendak melangkah dan beranjak dari sana tatkala Bang Adin dan Dwiki sudah terlihat mataku.

Sebuah tangan justru menahanku. Sebuah tangan kecil. "Apa lagi Le?"

"Om, namaku Reno. Bukan Le! Om tidak bisa membunyikan huruf Er ya?"

"Bisa! Errrrrrr errrrr errrrr.."

Alhasil aku jadi bahan guyonan anak-anak kecil ini dan juga gadis itu. Kulihat ia tertawa paling keras. "M-maaf," cicitnya kala aku menatapnya tajam. Lalu kelanjutannya sudah dapat ditebak. Ya, dia akan menunduk dalam. Entah apa yang ia cari di lantai yang masih berupa semen ini.

"Jadi gini ya Reno. Le itu Tole, sebutan untuk anak laki-laki dari kami orang jawa."

Reno hanya mengangguk-angguk dan masih cekikikan gara-gara ulahku tadi membunyikan huruf R.

"Oke siap Om!"

Begitu Bang Adin dan Dwiki sampai. Aku langsung melenggang begitu saja. Malu sekali jadi bahan tertawaan seperti tadi. Lain kali akan aku ajari mereka-mereka itu berbahasa jawa!




***

Next? Vote dan komen ya💚



Note : Bang Adin dan Bang Feri itu se-letting. Alwi dan Dwiki juga se-letting. Makanya di sini, Alwi panggil Adin, Abang.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang