BAB VII

3.9K 368 21
                                    

2014, Alwitra Dwitama

"Om, bajunya biar Reno cuciin. Boleh ya?"

Tanpa menunggu persetujuanku, ia memasukkan PDL-ku ke sebuah kresek ketika aku selesai berganti pakaian yang Reno ambilkan dari lemari.

Aku tampak berpikir. Namun Reno tampak ingin sekali menebus kesalahannya. Toh, juga lumayan. Setidaknya kakiku yang masih sakit ini tak harus kupaksakan untuk duduk di belakang rumah dan mencuci baju di sana.

"Udahlah, Wi. Biarin aja.." sahut Dwiki. Bang Adin yang juga berada di sinipun hanya mengulas senyum dan mengangguk. Akupun akhirnya mengiyakan ucapan Reno.

"Ya sudah Om. Reno pulang dulu ya. Maaf gara-gara Reno Om Alwi jadi sakit kakinya." Bukan sepenuhnya perminta-maafan tulus yang kudengar. Si kecil ini mengejekku di sela-sela kekehannya.

Ia ngacir setelah berpamitan dan mencium tanganku dan juga rekan-rekannya. Sialan bocah kecil itu! haha..

Bang Adin mendesis. "Jangan dipaksakan! Kalau memang belum enakan kakimu jangan dibuat lari, Dik. Cari penyakit saja kamu."

"Siap salah, Bang."

"Izin, Bang. Makan.."

"Sudah barusan bareng-bareng." Bang Adin mendudukkan dirinya di jendela. Menyenderkan bahunya di sana. Seraya bermain ponsel.

Sesekali ia tersenyum lebar. Aku yang penasaranpun mencoba menyinggungnya. "Izin, Bang. Lagi kangen-kangenan sama Mbak Mira ya?"

"Ya kalau bisa. Kamu lupa kalau di sini tidak ada sinyal?"

"Siap salah, Bang. Habisnya dari tadi senyum-senyum. Bahagia banget."

"Iya bahagia. Dapet kiriman foto dari Elmira. Dia hari ini masak-masak bareng ibu." Seraya menunjukkan ponselnya padaku. Bang Adin tampak bahagia sekaligus bangga.

Aku menyeletuk seusai memasukkan sesendok nasi goreng hangat ini ke mulutku, "Izin, Bang. Enak ya, Bang kalau sudah tunangan."

"Enaklah. Nanti pulang tugas Abangmu ini insya'allah nikah. Do'a-in!"

"Aamiin.."

Melihat Bang Adin senyum-senyum bahagia, akupun juga ikut senang. Semoga Allah meridhoi ya, Bang..

Keesokan harinya, aku mencoba berdiri dan berjalan di samping ranjangku. Cukup menyakitkan ternyata. Masih ada nyeri-nyeri di pergelangan kakiku ini. Alhasil aku izin tidak mengikuti lari pagi yang selalu rutin mereka lakukan tiap paginya.

Bosan di kamarku, aku keluar kamar setelah membersihkan diriku. Mendudukkan diriku di kursi kayu. Di depan rumah yang kami tinggali ini tepatnya. Dari kejauhan kulihat Bang Adin, dan beberapa lettingku kembali seusai lari pagi.

"Gimana? Masih sakit, Dik?"

Aku tersenyum tipis, "nanti juga sembuh sendiri kok, Bang."

Karena hari ini hari minggu. Kami semua libur mengerjakan semua pekerjaan. Termasuk membangun jalan dan sebagainya. Kami menggunakan waktu ini untuk sekedar mengobrol-ngobrol dan sharing serta bersenda-gurau di depan rumah.

Awalnya kami semua asyik. Akan tetapi tawaku terhenti ketika dari kejauhan kulihat Reno tengah berjalan kemari dengan seorang gadis desa.

Anjani.

Gadis desa yang tak kusukai karena latar belakang kehidupan dan caranya bersikap pada abang dan rekan-rekanku. Menurutku terlalu berlebihan. Apa maksudnya ia datang kemari saat kami semua tengah libur bekerja seperti ini? Dengan susah payah aku mau berdiri dan beranjak dari sana.

"Mau kemana sih, Wi?"

"Ke belakang," jawabku pada Dwiki. Berharap setelah ini tak ada lagi yang menahanku di sini.

Belum juga aku melangkah. Kali ini, Reno yang bersuara. "Om Alwi! Masa Om ngambek gara-gara kemarin jatuh!? Nih.. bajunya udah bersih."

Kuambil kresek yang sudah dapat kupastikan berisi seragamku itu. Aku hendak beranjak, akan tetapi masih penasaran. Sebenarnya adegan selanjutnya apa?

"Ada makanan kecil, Bang. Dari ibu."

Ibu? Menjadikan seorang ibu alibi. Bagus sekali tingkahmu!

"Wahh.. repot-repot aja, Dik. Kan Abang hari ini nggak bangun jalan." Dwiki seperti biasa. Akan bersikap buaya dan sok menghargai. Namanya juga pecinta wanita. Dedek Lila saja tak cukup!

Dua kresek itu sama-sama berisi singkong. Kudengar satunya singkong rebus dan satunya singkong goreng. Aku menelan ludah membayangkannya. Kemudian kugeleng-gelengkan kepalaku, rebusan dan gorengan singkong ibu lebih enak.

Dwiki langsung melahapnya. Dia mengacungkan jempol, "enak, Dik."

Aku hanya memutar kedua bola mataku dengan malas. Memangnya apa yang tidak enak menurut mulut si Dwiki?

"Dik Anjani, besok-besok Abang Dwiki nggak mau ah bangun jalan!"

Semua orang menatap Dwiki dengan dahi mengkerut. Aku hanya menatapnya datar. Kali ini drama apalagi yang hendak Dwiki mainkan?

"Kenapa memangnya, Bang? Abang mau pulang?" Anjani dengan polosnya bertanya. Jika aku tidak sedang berada diantara mereka semua, sudah dapat kupastikan. Tawaku meledak! Akan tetapi kali ini kutahan.

"Abang Dwiki maunya bangun rumah tangga dengan Dik Anjani."

Tangan besar Bang Feri langsung menepuk punggung Dwiki dengan keras hingga menimbulkan suara. Aku terkekeh karena Dwiki kali ini. Memang sialan goodboy yang satu itu. Sejak kapan menjadi anggota playboy?

"Lila mau dikemanain!?"

"Udah putus."

Hening sesaat. Kini aku menyadari. Mengapa tadi malam Dwiki uring-uringan ketika aku menyebut nama Lila—kekasihnya itu.

Tak mau ikut campur urusan pribadi Dwiki. Abang-abangkupun ikut menyerbu singkong yang dibawa oleh Anjani. Bang Feri menatapku dengan tajam, "ambil, Dik."

"Izin, Bang. Nggak, Bang. Sudah kenyang."

"Memangnya kamu sarapan apa, Dik?" tanya Bang Adin.

"Izin, Bang. Mie Goreng."

"Loh!? Kamu masak? Kok nggak sekalian masakin Abangmu?"

"Siap salah, Bang. Saya ke dalam dulu, Bang."

Tak mau semakin berlama-lama di sini. Akupun beranjak. Kulihat tatapan sendu Anjani sekilas, lalu aku melengos setelahnya. Ia pun terlihat langsung menunduk setelah tatapan kami berdua sempat bertubrukan.

Persetan soal menghargai. Aku tak suka dengannya.

Ketika aku telah memposisikan tubuhku di kasur. Kudengar samar-samar orang-orang di luar tengah bersenda-gurau. Seharusnya aku juga berada di sana bersama mereka semua. Tapi aku harus menepi karena ketidaknyamananku terhadap gadis itu.


***

Next? Vote dan Komen ya..

Kali ini spesial, Alwi POV-nya dua kali. Semoga suka ya..

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang