BAB XIX

2.9K 281 22
                                    

Kabar Tersayang, 2014. Alwitra Dwitama

Aku sengaja melawan arah debu siang-siang seperti ini. Merelakan PDL-ku terkena butiran-butiran debu halus. Sepatu PDL yang kukenakan awalnya berwarna hitam. Namun ketika aku sampai di atas sini, warnanya sudah tidak karuan. Setelah hujan waktu itu, desa ini lama tidak mendapati kebagian hujan lagi. Entahlah.. musim sulit ditebak.

Kadang dingin, kadang pula hangat.

Mendung pun belum tentu hujan.

Panas terik, belum tentu terang.

Kududukkan diriku di bekas tebangan pohon. Untung tidak ada getah yang tertinggal karena sisa penebangan di sini. Ya, seperti biasanya.. tidak jauh dari rumah Anjani. Aku yakin, siang-siang seperti ini gadis itu sudah pulang dari mengejarnya. Bahkan sejak tadi.

Pukul 12.00 WIT. Nikmat sekali teriknya matahari. Menyengat, panas PDL tebal yang kukenakan ini.

Kuabaikan cuaca panas hari ini. Aku merogoh saku celanaku yang di sana sudah tersimpan apik ponsel milikku. Memang selalu beruntung perolehan sinyal di tempat tinggi ini. Buktinya, ketika data internet kunyalakan. Semua panggilan hingga pesan-pesan membanjiri notifikasi ponselku.

Kubiarkan sejenak, hingga tak kudengar lagi suara-suara getaran di tanganku ini. Sembari kunikmati pemandangan indah di sekelilingku. Untung rumah Anjani siang ini tertutup rapat. Jadi, aku tidak perlu menyapanya. Mungkin juga bapak dan ibu Anjani tengah berada di ladangnya.

Bebas aku siang ini..

Mita : Alwi, gimana kabar kamu di sana?

Mita : Kamu jadi nggak pernah kasih aku kabar. Kamu marah sama aku?

Mita : Aku harap kamu sehat selalu di sana. Bang Alwan sudah kasih tahu aku, kalau di sana susah sinyal. Tetap semangat mengabdinya. Ditunggu kepulangannya ke Jawa..

Tiga pesan dari Mita yang dikirim di tanggal-tanggal yang berbeda itu membuatku bersemangat. Rasanya ingin berteriak YES! meski tidak sedang menyanyikan yel-yel. Mita, rupanya ia merasa kehilanganku. Hmm.. meski dia hanya menganggapku sahabatnya. Tidak apa! Asalkan ketika aku tidak di sampingnya, tetap dicari.

Sent to Mita : Kabar baik, Mita. Aku juga berharap kamu baik-baik aja di sana. Iya, benar kata Abangku. Di sini susah sinyal. Maaf bila tidak bisa setiap saat memberi kabar.

Kutinggalkan room chat-ku dengan Mita. Aku memilih menelepon ibu. Semoga pukul 10.00 WIB ini ibu tidak sedang ada kegiatan PERSIT.

Meski aku hampir menyerah karena ibu lama mengangkatnya. Akhirnya senyumku terbit juga ketika mendengar suara ibuku. Aku rindu, Ibu. Beliau tak pernah lupa selalu menanyaiku berbagai pertanyaan kecil yang justru ketika jauh seperti ini semakin menyiksaku. Ya, menyiksaku dengan kerinduan.

Gimana kabar kamu, Le Cah Bagus?

Sudah makan? Jangan telat makan lho!

Sholatnya juga jangan sampai terlewatkan!

Selalu berdo'a setiap mau bertugas!

Do'a ibu selalu menyertaimu, Le Cah Bagus...

Panggilan dengan beliau pun berakhir. Air mataku tak terasa menetes. Hanya sebulir, tapi dadaku sesak. Satuan tugas berjauhan dengan kedua orang tua seperti ini, justru lebih berat. Dari pada tugas bertaruh nyawa di sini. Namun, satu hal yang selalu kutanamkan ketika nanti kutemui keadaan genting antara hidup dan mati. Yakni, aku harus tetap bisa berjuang untuk kembali ke pelukan kedua orang tuaku. Dengan kebanggaan tentunya.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang