BAB XXIII

2.7K 274 31
                                    

Malaria, 2014. Alwitra Dwitama

Malaria merupakan penyakit yang banyak dijumpai di daerah tropis. Gejalanya berupa demam dan naik-turunnya suhu yang tidak teratur. Penyakit ini disebabkan oleh nyamuk anofeles. Aku masih setia menunggu Reno di rumahnya ini. Bagiku, inilah kali pertama menginjakkan kaki di rumah sederhana milik kedua orang tua jagoan kecil yang kerap bermain bola denganku itu.

Pukul setengah sembilan tadi, Bang Feri mengabariku tentang kondisi Reno yang dicurigainya tengah terserang malaria. Suhu tubuhnya naik turun sejak semalam. Ibunya sesekali mengusap peluh yang menetes di dahi wanita tersebut. Raut wajah lelahnya membuatku teringat ibu. Apakah seperti inikah raut wajah ibuku tatkala menjagaku semalaman karena sakit?

Tidak bisa kupungkiri. Perasaanku menjadi lemah bila membahas perihal wanita tangguh yang satu ini.

"Mace istirahat saja dulu. Reno biar saya yang jaga. Sembari menunggu bantuan. Kurang lebih dua jam lagi datang.." ucapku pada akhirnya setelah melirik jam tanganku.

Ibu Reno menggeleng. Beliau masih setia menjaga putra semata wayangnya itu.

Aku telah melepaskan rompi anti peluruku. Pun juga sudah tak membawa istri pertamaku--senjata. Kuletakkan semuanya di depan rumah ini. Sejujurnya aku cemas menanti datangnya bala bantuan yang dikirim. Mengingat jarak desa ini ke kota, cukup jauh. Tetapi, kembali lagi pada tugasku. Mencoba menenangkan kedua orang tua Reno agar tidak turut cemas. Reno sendiri masih setia memejamkan matanya, sesekali rengekan kecil keluar dari bibir pucatnya. Aku tak tega, jagoan yang kerap mengolokiku itu kini terbaring lemas tanpa seulas senyumpun.

"Ini, Om. Diminum. Maaf sekali seadanya." Bapak Reno membawa secangkir teh hangat untukku. Kini aku tahu, mengapa beliau meninggalkan kamar Reno ini. Ternyata demi membuatkanku secangkir minuman yang aku sendiri pun tidak mengharapkannya. Bagaimana bisa aku berpikir tentang minuman, sedangkan jagoan di depanku ini tidak bisa makan dan minum karena matanya terus terpejam.

"Tak perlu repot-repot, Bapa. Bapa duduk saja."

"Apa masih lama, Om?" tanya bapak Reno dengan kecemasan yang sedari tadi mungkin telah ia kendalikan.

"Sebentar lagi," jawabku.

Benar juga perkiraanku. Lamanya hampir dua jam kami bertiga menunggu. Akhirnya mobil yang akan membawa Reno untuk berobat ke kota pun datang. Ketika Reno telah diangkut ke dalam mobil dan langsung mendapatkan perawatan untuk menguatkannya selama perjalanan ke kota, mataku menangkap sosok wanita yang turut cemas. Ia memeluk erat tubuh ibu Reno. Ibu Reno pun menangis tersedu-sedu..

"Tenang, Mace. Reno pasti baik-baik saja."

Aku salah berpikir bila kedatangan Anjani kemari hanya untuk menenangkan ibu Reno. Nyatanya wanita itu juga turut ikut ke kota. Tentu saja bersamaku juga Bang Adin.

Selama menempuh perjalanan dua jam. Kami semua hanya terdiam, sembari sesekali menoleh pada Reno yang masih setia terpejam. Sungguh malang nasibnya. Selama bertugas di sini, inilah kali pertamaku menyaksikan secara langsung bagaimana perjuangan kami yang harus siap sedia mengabdi untuk rakyat kami yang membutuhkan bantuan kesehatan.

Sebenarnya, dokter tentara yang menjadi salah satu bagian dari anggota tugasku juga telah menangani Reno. Namun karena ketersediaan alat medis yang terbatas, mau tidak mau Reno haruslah dirujuk ke rumah sakit. Demi mendapatkan pelayanan kesehatan di sana.

Sampai di rumah sakit sore hari. Kulihat Anjani meninggalkan rombongan kami. Entah kemana wanita itu? Tak mau menimbulkan perkara tentang orang hilang, aku pun berinisiatif mengikutinya. Menyerahkan semua beban mengurus administrasi pada rekanku yang lainnya. Tentu saja kedua orang tua Reno harus didampingi dalam mengurus administrasi putra mereka.

Langkah Anjani sangat santai. Kulihat ia masih menggendong tas yang biasa ia gunakan untuk mengajar. Rupanya wanita itu pulang dari mengajar langsung menjenguk Reno. Berita tentang Reno yang dinyatakan positif terserang malaria menyebar dengan cepat di desa kecil itu. Maklum saja.. penduduknya masih sangat menjunjung sikap kekeluargaan, dan saling bahu-membahu satu sama lain. Tanpa memandang agama yang mereka anut masing-masing.

Masjid.

"Bikin khawatir saja," kesalku.

Kupercepat langkahku agar bisa memberitahunya suatu hal.

"Bang Alwi, ngikutin saya?"

"Iya. Saya tidak mau direpotkan dengan masalah orang hilang."

"Memangnya siapa yang hilang?"

"Kamu."

"Kok saya!?" Anjani rupanya bingung dengan ucapan kesalku barusan.

"Saya peringatkan. Kalau mau kemana-mana bilang dulu! Jangan langsung nyelonong. Kamu 'kan kemari ikut dengan rombongan saya. Kalau ada apa-apa siapa yang mau tanggung? Ha?"

Menunduk. Aku paling benci ketika ia melakukan hal ini di depanku. Aku merasa menjadi orang paling kejam. Sekelilingku memberikan tatapan ibanya kepada gadis yang berdiri di hadapanku ini. Astaga.. haruskah aku berkata dengan nada halus bin mendayu-dayu? Yang benar saja!

"Untuk itu saya minta maaf, Bang. Saya terburu-buru tadi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima. Sholat ashar harus segera saya tunaikan."

"Iya silahkan. Tidak usah menunduk untuk mencari perhatian orang sekitar. Kesannya saya yang paling kejam memarahi orang yang hendak beribadah," kataku. Lalu, berjalan mendahuluinya. Aku pun juga tak lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Memangnya hanya dia saja yang ingin masuk surga?




***

Jangan lupa vote & komen! 💚

Kalau banyak yang komen, update bisa dipercepat :v

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang