BAB XXXIV

2.6K 273 25
                                    

Irin, 2015. Alwitra Dwitama

Ucapan ibuku ternyata bukan lagi sebatas candaan yang dilontarkan beliau tatkala suasana menegang. Masih ingat ketika aku menghadap pada kedua orang tuaku? Ibuku pernah membahas tentang anak temannya.

Dan, di sinilah aku. Di rumah teman ibuku.

IB kali ini seharusnya aku tak pulang. Dengan alasan IB minggu kemarin sudah pulang, pasti ibu dan bapak mengerti. Tapi rupanya, ibu sudah mengetuk palunya dengan keras bak hakim di pengadilan. Alhasil, aku harus ikut dengan beliau ke rumah temannya untuk bersilaturahmi ini. 

Seharusnya aku mengiyakan ajakan Bang Feri yang mengajakku untuk turut menghadiri syukuran ulang tahunnya yakni, makan-makan di rumah makan lesehan. Ahh.. dari pada menjadi kambing congek di sini. Lebih baik di sana bersama rekan dan senior-seniorku. Ya meski mereka kebanyakan mendapatkan gelar 'senior galak'.

Dengan beralasan di dalam gerah padahal nyatanya begitu dingin. Aku pun berada di luar rumah kini. Tepatnya, aku duduk di sebuah kursi yang memang sengaja diletakkan sebagus mungkin untuk menghias teras rumah ini.

Kudengar sebuah langkah kaki mendekat. Itu, Pakde Ruli. Beliau membawa beberapa camilan yang kuketahui disajikan di dalam rumah tadi.

Pakde Ruli yang bertanya, "Kamu ini berarti sedang libur ya, Le?"

"Inggih, Pakde. Tetapi hanya semalam saja. Besok saya harus kembali lagi ke Batalyon tepat waktu seperti saya meninggalkan tempat itu tadi."

Pakde Ruli hanya manggut-manggut mengerti. Lelaki paruh baya itu kembali membaur bersama istrinya dan juga ibuku. Entah apa yang tengah mereka bicarakan. Terlihat begitu asyik hingga beberapa kali Budhe Ami dan juga ibuku sama-sama tertawa. Andaikan ada bapakku di sana, pasti Pakde Ruli akan lebih lepas daripada saat ini. Sayangnya, seperti biasanya. Bapak dinas malam. Sehingga tak ada alasan aku menolak mengantarkan ibu kemari. Padahal perasaanku tak enak sejak tadi. Semoga ibu tidak berusaha mengenalkanku dengan anak temannya.

Sejauh ini kondisi di sini aman-aman saja. Tak kulihat sejak tadi anak teman ibuku. Mungkin ia juga sudah melarikan dirinya. Aku mengendikkan kedua bahuku. Mengapa aku peduli? Lebih baik bermain ponsel guna menepikan segala kebosananku.

"Assalamu'alaikum.."

Sayup-sayup terdengar suara salam dari dalam rumah. Aku hanya bergumam untuk menjawabinya. Sebagai seorang muslim, sudah pasti kita diwajibkan untuk menjawab salam.

"Nah, ini yang ditunggu-tunggu sudah datang."

"Ini anakmu yang habis dari rumah Pakde-Budhenya di Papua itu ya? Cantik sekali.."

"Iya, Mbakyu Wika.."

"Irin, ini Budhe Wika. Teman dekat Ibu." Suara Budhe Ami kembali terdengar. Rupanya beliau mengenalkan putrinya kepada ibuku.

Sial! Sebentar lagi pasti giliranku.

Setiap percakapan orang di dalam sana, aku tentu saja masih bisa mendengarkannya. Tapi, ngomong-ngomong. Lewat mana gadis bernama Irin-irin itu? Sedangkan sedari tadi aku duduk di teras tidak merasakan kehadiran siapapun. Merinding..

Rumah ini sepertinya lebih bagus dari pada rumahku. Mungkin Pakde Ruli mempunyai sebuah pintu rahasia.

"Le!? Alwi.. sini!" panggil Ibu membuatku beranjak dari dudukku.

Kumasukkan ponsel yang sedari tadi kumainkan. Lalu, berjalan santai ke dalam rumah. Memenuhi panggilan ibu tentunya.

Sampai di dalam rumah, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Irin' itu. Bu Guru Airin! Tenaga pendidik yang mengabdikan dirinya di perbatasan tempatku satuan tugas kala itu. Bagaimana bisa dunia sesempit ini?

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang