BAB XXVIII

2.8K 303 8
                                    

Miniatur Bersama Senyum Luntur, 2015. Binar Anjani

Kadang aku tak mengerti. Mengapa Tuhan memberikan akhir bahagia, namun tak berlangsung lama? Aku tahu, perpisahan itu selalu ada. Dimana pertemuan yang menjadi awal segalanya. Akan tetapi, yang ingin kutanyakan pada hatiku. Mengapa rasanya aku tidak rela bila mereka meninggalkan desa kami? Bukankah setiap tahunnya akan selalu berganti seperti ini? Masalahnya, hanya tahun 2014-lah kami dapat menjadi seperti keluarga. Membaur bersama. Melewati tiap suka dan duka bersama.

Bang Adin, sosoknya yang sangat baik dan selalu peduli terhadapku. Akankah suatu saat aku bisa berjumpa lagi dengannya? Aku yakin, ia sudah tidak sabar untuk pulang dan melangsungkan acara pernikahannya dengan Mbak Elmira-wanita yang setia menantinya untuk pulang.

Bang Feri, komandan yang menurutku begitu bucin! Tetapi tetap tegas dan menjaga kewibawaannya. Apakah hubungannya dengan Mbak Airin telah usai? Entahlah.. selama ini aku tidak begitu ingin tahu, karena aku yakin. Mbak Airin pun mencoba untuk menjaga privacy-nya mengenai Bang Feri. Aku hanya mendo'akan yang terbaik untuk keduanya. Bila memang berjodoh, semoga dipermudah segala urusannya. Kurasa keduanya sedang terjebak dalam suatu hubungan yang pelik.

Bang Dwiki, segala candaan dan gombalannya pasti akan kurindukan. Bukannya apa-apa, aku sendiri pun tahu bila sosok yang satu itu tengah patah hati karena diputuskan sepihak oleh kekasihnya tatkala ditugaskan kemari. Matanya sungguh berbanding terbalik dengan bibirnya yang selalu tersenyum dan tertawa lebar. Seolah tidak ada masalah. Sejujurnya ia tengah terluka berdarah. Aku berharap, ketika Bang Dwiki kembali kekasih hatinya masih berdiri dengan perasaan yang sama. Biarlah ia menjadi pejuang sejati nantinya.

Terakhir, Bang Alwi. Tiada kata panjang lebar untuknya. Damai. Aku dengannya sudah benar-benar berbaikan sejak momen di lantai paling atas rumah sakit tempat bapakku waktu itu dirawat. Tepat malam pergantian tahun baru, aku dan Bang Alwi sama-sama saling memaafkan. Namun satu hal yang hingga kini masih tidak bisa aku percayai, bagaimana bisa sosoknya yang selalu angkuh dan sarkas tiba-tiba meminta maaf kepadaku? Sungguh tidak pernah terbayangkan olehku. Dan, setelah hari itu..Bang Alwi semakin membuat isi kepalaku penuh dengan namanya. Wajahnya yang biasa datar, tak kutemui lagi. Mengingat kami akan berpisah, ia seolah sangat baik kepadaku. Hal tersebut membuatku justru lancang mengaguminya. Sejujurnya ia sangat baik..

Pelepasan para pengabdi negeri dengan beberapa warga desa cukup mengharu biru. Hanya ibu saja yang mewakili keluargaku. Aku memutuskan untuk berada di rumah saja menjaga bapak yang kondisinya tidak bisa pulih 100% sejak jantungnya kambuh kala itu. Toh, kemarin beberapa tentara juga telah berpamitan secara pribadi dengan para pengajar, termasuk aku. Tidak terlupakan juga beberapa murid-muridku yang tampak sedih. Tak rela kehilangan teman bermain mereka. Punggung tangguh yang siap sedia menggendong mereka tatkala hujan dan tanah becek. Ahh.. rasanya ingin menangis ketika bibir anak-anak kecil itu menyuarakan bahwasannya mereka tidak ingin para pengabdi negeri itu meninggalkan desa ini. Tetapi, mau bagaimana lagi? Aku dan beberapa pengajar di sekolah tersebut mencoba untuk menenangkan anak-anak. Mencoba berbicara dari hati ke hati, bahwasannya ada keluarga di rumah yang juga menanti kepulangan para pengabdi negeri ini.

Di rumah, aku hanya menunggui bapak. Ketika bapak telah terlelap kembali. Inilah waktuku untuk sendiri. Di depan rumah seorang diri, memandang ke depan sana dengan membawa selembar foto bersama kami semua yang diambil kemarin. Tak banyak kulihat ekspresi anak-anak bahagia. Mereka hanya terpaksa mengulas senyumnya untuk memperindah foto bersama alias foto kenang-kenangan ini. Bang Alwi setia menggendong Reno selama sesi foto kenangan berlangsung. Aku sangat bahagia melihat Reno dapat kembali bersekolah dan berkumpul dengan kami semua di sini setelah kondisinya membaik dari penyakit malaria.

Dari atas sini dapat kusaksikan dengan jelas. Mobil-mobil berwarna hijau tua itu meninggalkan pedesaanku. Tampak sangat kecil kulihat dari tempatku duduk. Kukira miniatur, ternyata para pasukan yang telah meninggalkan daerahku dengan senyum yang tak luntur. Mereka sangat bahagia karena sebentar lagi akan berkumpul kembali dengan keluarga.

Ibu kembali, aku pun segera memasukkan selembar foto tersebut ke saku rokku. "Bu.."

"Bapak tidur, Nduk?" Aku mengangguk. Kulihat ibu tersenyum manis. Meski aku tahu, beliau baru saja menangis melepaskan 'mereka'.

"Ada salam dari Nak Adin, Nduk. Kamu jaga diri baik-baik. Dan, dia juga meminta agar kamu mendo'akan kelancaran acara pernikahannya nanti. Kamu mau datang ke sana? Kalau mau kabari saja calon istrinya Nak Adin, katanya akan dipesankan tiket. Kamu tamu undangan VIP lhoo, Nduk.." kata ibu menyampaikan pesan Bang Adin.

"Nggak, Bu. Tidak usah. Anjani do'akan saja, dan mengirim kado pernikahan untuk mereka."

"Kamu nggak ke sana?"

Aku menggeleng, "Nggak usah, Bu. Nanti malah merepotkan orang sana." Ibu hanya mengangguk mengerti dengan apa yang kuucapkan.

Jujur saja, aku pribadi tidak berniat untuk pergi ke Solo menghadiri langsung pernikahan Bang Adin. Entahlah.. perasaanku tidak tenang meninggalkan bapak yang tengah sakit-sakitan dan ibu seorang diri menjaga bapak di sini. Barang kali satu-dua hari, aku yakin tidak akan bisa makan dan tidur dengan enak di sana.

Maafkan aku, Bang Adin. Hanya kado kecilku saja yang terkirim bersama do'a kebaikan..


***

Jangan lupa vote dan komen💚💚💚

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang