BAB XV

3.3K 295 18
                                    

Pernak-Pernik Agustusan, 2014. Alwitra Dwitama

Setelah memberanikan diriku sendiri untuk mengutarakan ungkapan maafku kepada gadis itu. Dengan tidak sopannya ia malah meninggalkanku tanpa menerima atau memberikan jawaban satu patah kata pun. Untuk aku, yang telah menurunkan egoku sendiri demi melaksanakan titah kedua abangku. Ya, jujur saja. Tidak perlu munafik! Di samping rasa bersalahku, apa yang kulakukan ini juga semata-mata karena menjalankan perintah dari kedua abangku. Titik.

Loyalitas dalam dunia kami (anggota) begitu dijunjung. Aku tak mau mengotori seragamku dengan noda-noda yang tak jelas asalnya.

Perlombaan tujuh belasan di desa ini, meski pun penduduknya tidak sepadat di kotaku. Namun perlu kuakui, ternyata semakin sedikit orang yang turut merayakannya. Maka akan semakin kental kekeluargaannya. Kukira akan monoton saja. Tetapi justru sangat meriah dan penuh semangat. Kulihat senyum mereka tak pernah pudar.

Ya Allah, pengabdianku di sini semoga akan selalu terkenang di hati mereka. Semoga engkau juga selalu memberikan kebahagiaan seperti hari ini, di hari-hari selanjutnya. Bahkan hingga tugasku purna di sini.

Reno, anak itu masih terus bersemangat. Ia tak pernah putus asa walau tali yang kami gunakan untuk tarik tambang ini hampir ditarik sepenuhnya oleh lawan kami di depan sana. Ia terus berteriak, "Ayo dong, Om! Semangatt!!! Masa kita kalah sih!"

Seketika itu juga kukerahkan seluruh tenaga yang kupunya. Sembari memberikan aba-aba pada grup tarik tambang kami. Yang di ketuai oleh Reno. Sebagai anggotanya, aku, Dwiki dan Bang Anam hanya bisa menurut saja pada titah calon perwira itu.

Tak terasa. Reno bersorak gembira. Tahu kenapa? Ya, kami menang. Pertandingan barusan merupakan pertandingan akhir. Kamilah juara satunya. Kulihat di seberang sana, Bang Feri menunjukkan raut wajah kecewanya. Ia kalah dari kami, sehingga hanya dinobatkan sebagai juara dua. Haha.. maaf Bang. Reno penyemangatku ini memang juara!  Calon perwira tiada tanding--Reno.

"Eh-eh.. siapa itu, Wi?" Aku yang masih tersenyum senang penuh kemenangan tiba-tiba memberikan tatapan yang tidak mengenakkan pada Dwiki. Sadboy ini.. selalu saja mengganggu momenku.

"Siapa apanya!? Itu Bang Adin! Kepalamu kenapa Dwiki? Kebentur tembok kamar mandi apa gimana?" kesalku padanya.

Lalu, aku berjalan ke pinggir. Tepatnya di teras sekolah dasar ini, kududukkan diriku. Dwiki tentu saja mengikutiku. Sembari menikmati pemandangan beberapa anak yang masih setia berada di sini. Sekedar untuk bermain kejar-kejaran dan saling memamerkan hadiah kecil-kecilan yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka. Serta anggota tentara yang juga diam-diam telah menyediakan hadiah khusus.

Aku ingat, semalam setelah mendapatkan hukuman dari Bang Feri. Abangku yang satu itu menyuruhku dan Dwiki untuk lembur. Membungkus beberapa kado-kado yang isinya beberapa alat tulis. Entahlah.. kapan mereka membelinya? Aku bahkan tidak pernah tahu kapan Bang Feri keluar dari desa ini untuk menuju ke kota yang jaraknya cukup jauh itu. Waktu tempuhnya pun membutuhkan dua jam lebih seperempat, aku pernah menghitungnya. Makanya aku berani mengutarakannya dengan akurat.

Kulihat jam tangan yang tadi kukantongi di celana trainingku. Untung masih menyala! Karena beberapa kali ketika melewati perlombaan tiap perlombaan tadi, terhitung sudah dua kali aku terjatuh ke tanah. Pukul 16.00 WIT. Ternyata sudah sesore ini. Dan aku belum melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Aku pun bergegas. Ingin segera membersihkan diriku yang sudah bermandikan keringat dan kotoran tanah kering ini. Namun lagi-lagi Dwiki menahan pergerakanku.

"Apalagi sih Dwiki!?"

"Sssstttt.. kamu yakin jika yang saat ini bersama Anjani itu Bang Adin? Tuh.."

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang