BAB XXI

3K 271 4
                                    

Kilas Balik, 2013. Ella & Devaryo

Seorang gadis yang baru saja memasuki rumahnya itu seketika terkejut melihat wajah sang ayah yang sudah babak belur dan tergeletak di lantai tidak berdaya. Dilihatnya orang-orang berbadan kekar itu dengan mata berapi-api. Gadis itu menahan amarah dalam dadanya yang meletup-letup hendak meledak sekarang juga itu.

"Saya akan laporkan kalian semua ke polisi!"

"Coba saja. Kami memiliki koneksi yang cukup luas. Semua fakta akan terkubur dan kamu sendirilah yang akan membusuk di penjara!"

Gelak tawa orang-orang tanpa dosa itu terdengar menjijikkan di telinga Ella. Gadis yang baru saja pulang dari beribadah di gereja itu disuguhkan pemandangan yang amat sangat menyedihkan, memilukan dan diyakininya akan selalu terkenang seumur hidup. Menjadi sebuah memori buruk nan kelam.

Tubuhnya yang sudah lemas bersimpuh di samping sang ayah yang telah bersusah payah mencoba bernafas. Ibu yang juga terkapar lemah di sana. Ia sempat mengeceknya. Tuhan masih berbaik hati kepadanya, ibu Ella masih bernapas. Hanya saja beliau pingsan melihat kondisi mengenaskan ayah Ella.

Seiring dengan kepergian derap langkah kaki para lelaki bejat itu, Ella menangis menyaksikan kondisi kepala sang ayah yang sudah berlumuran darah. Matanya masih bisa membuka meski sangat sendu tatapannya.

"Ayah.."

"J-jangan menangis, Ella.. Ayah t-titip ibu.."

"Enggak! Ayah.. ayo kita ke rumah sakit! Ella akan menggendong Ayah." Belum sempat tangan Ella merasakan susah payah menggotong tubuh besar sang ayah. Ternyata Tuhan berkata lain. Ayah meninggal saat itu juga.

Semua karena ulah para preman bejat yang tidak sabaran menunggu keluarga Ella melunasi hutang-hutangnya. Termasuk hutang tanah rumah yang di tempatinya ini. Dengan kondisi hati yang runyam, Ella tetap mengikuti tiap acara pemakaman sang ayah. Ibunya terus menangis tersedu-sedu. Kedua perempuan itu merupakan saksi bisu kejadian berdarah yang merenggut nyawa kepala keluarga mereka.

Namun, karena kurangnya keberanian. Ella hanya diam, mengubur dalam-dalam fakta yang sebenarnya mengenai meninggalnya sang ayah. Ia mengubur pula aib hutangnya. Yang semua orang tahu, kepergian ayahnya tersebab karena beliau jatuh dari kamar mandi. Semua darah atau ruangan yang berantakan telah Ella bersihkan sebelum berpura-pura meminta bantuan pada orang lain.

***

Demi mengetahui kebenaran atas meninggalnya sang sahabat. Seorang lelaki yang baru saja menduduki tahta kepala desa tersebut menghadiri rumah duka dengan putranya. Secara diam-diam, malam-malam seperti ini. Tanpa satu orang pun ketahui. Untunglah, semua orang telah masuk ke dalam rumahnya masing-masing. Desa bagian selatan ini memang sudah sangat sepi bila jam menunjukkan pukul 20.00 WIT.

Mengingat desa mereka ini juga rawan dengan orang-orang jahat. Meski menjabat sebagai kepala desa selatan dan utara--tempat tinggalnya sendiri. Tetap saja, kepala desa juga tidak mau mempunyai urusan dengan para preman yang tak segan-segan merenggut nyawa orang yang mengusiknya tersebut.

Ella cukup terkejut dengan kedatangan kepala desa ke rumahnya. Apakah beliau curiga dengan kematian sang sahabat? Entahlah.. yang jelas Ella dan ibunya mempersilahkan bapak kepala desa itu untuk masuk ke dalam rumah. Ibu menyahuti bapak kepala desa yang mengajak beliau berbincang ringan. Sembari bertanya perihal kabar ibu kepala desa. Sedangkan Ella ke dapur untuk membuatkan minuman.

Sekembalinya Ella, semua orang terdiam. Ella sendiri cukup gugup. Ada apa ini?

Bapak kepala desa membuka suaranya, "kami akan merahasiakannya, Bu.." Ibu Ella menatap putrinya. Bertanya melalui isyarat mata.

Kini Ella cukup paham dengan maksud dari perkataan kepala desa tersebut. Pasti hal ini menyangkut ayahnya yang meninggal secara mendadak dengan alasan meninggal cukup janggal menurut orang berpendidikan dan cerdas seperti belau--kepala desa.

"Apa jaminannya?" tanya Ella dengan raut wajah seriusnya. Ini semua ia lakukan demi melindungi ibunya. Dan, tentang rumahnya ini? Ia masih sangat bingung. Bila rumah ini diambil alih oleh setan-setan bejat itu. Maka, bagaimana nasibnya dan sang ibu?

Hidup terlunta-lunta?

Pergi ke kota untuk mengemis?

Bukan seperti itu jalan hidup yang Ella mimpikan. Ia bahkan setelah lulus SMA nanti akan mencoba peruntungan beasiswa kuliah. Apakah mengenyam bangku perkuliahan hanya mimpi Ella semata?

Bapak kepala desa menatap putranya. Seperti tatapan memohon.

"Ella, kamu umur berapa Nak?"

"18, Pak." Meski Ella tidak tahu maksud dari pertanyaan sahabat sang ayah tersebut. Tetapi, ia tetap menjawabinya dengan sopan.

"Baiklah. Bapak menjamin kamu dan ibu kamu akan aman. Setelah Devaryo lulus kuliah, kalian akan menikah. Semoga ibu tidak keberatan dengan permintaan saya. Ini semua juga demi keselamatan kalian berdua. Saya ingin nanti kalian tinggal di rumah saya juga."

Ella tak mampu berpikir lagi. Ibunya pun juga telah menatapnya dengan tatapan memohon. Lantas, bagaimana ia bisa menolaknya? Dengan anggukan pasti, Ella menyetujui perkataan bapak kepala desa yang merupakan rekan almarhum ayahnya itu.

Dengan mengingat kenangan yang sangat memilukan itu. Ella menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada kedua lelaki yang duduk di hadapannya.

"Benar dugaan saya. Mereka semua dalang dibalik meninggalnya sahabat saya," geram bapak kepala desa dengan mengepalkan tangannya.

Devaryo yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba angkat bicara. "Mohon maaf menyela. Bapak, masih ingat dengan perjanjian kita sebelum kemari?"

Bapak kepala desa mengangguk. Sementara ibu dan juga Ella hanya diam saling bertanya dengan hati kecil masing-masing. Perjanjian apa yang mereka lakukan sebelum kemari?

"Begini, mohon maaf sebelumnya apabila ini akan sedikit menyinggung. Mengingat kita berbeda keyakinan.. apakah nanti Nak Ella bersedia untuk menjadi mualaf?"

"......."

"Baiklah. Sepertinya tidak bisa dijawab sekarang. Perihal keyakinan, hubungannya dengan Yang Maha Kuasa. Harus benar-benar dipikirkan matang-matang. Salah langkah bisa fatal dan juga berdosa. Saya pun juga tidak ingin memaksa. Bila memang berjodoh, Allah yang akan menunjukkan jalan terbaik-Nya," sahut Devaryo.

Baru kali ini Ella mendengar Devaryo berkata panjang lebar seperti tadi. Tak hanya panjang lebar saja. Nyatanya lelaki berkulit hitam manis itu juga menyusun kata-kata yang sangat menyentuh. Tidak melukai Ella maupun ibunya yang berbeda iman dengan lelaki itu.

Sepeninggalan kedua orang itu dari rumah Ella. Ibu menggenggam tangan putrinya. Dengan keringat yang membasahi telapak tangan keriputnya.

"Ella, kamu percaya dengan feeling ibu?"

"Tentu, Bu."

"Devaryo orang yang baik di mata ibu. Bertanggung jawab dan tegas. Kamu beruntung mendapatkan kesempatan ini. Terlepas dari perihal cinta atau tidaknya kalian berdua nanti. Ibu berharap, kalian benar-benar berjodoh.."

"E-ella benar-benar harus mengiyakan pinta bapak kepala desa, Bu? Tetapi bagaimana bisa Ella menjadi seorang mualaf? Ibu bagaimana?"

"Perihal keyakinan, kita pikirkan terlebih dahulu Ella. Tidak semudah itu. Dengan berjalannya waktu, kamu dan ibu bisa mengambil keputusan yang bijak."

Ella mengulas senyumnya, "baiklah, Bu. Ella berserah pada Tuhan. Atas iman dan juga jodoh terbaik nantinya."






***


Jangan lupa vote dan komen 💚

Mohon maaf ya teman-teman, tidak bermaksud menyinggung perihal keyakinan. Insyaallah tidak ada unsur menjelek-jelekan suatu agama. Keyakinan setiap orang berbeda, tugas kita adalah saling menghormati..

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang