BAB XLIV

3K 303 24
                                    

Putar Balik?, 2016. Binar Anjani.

Ada plus-minusnya kaki kesleo. Sudah dua hari ini, aku masih menunggu reaksi obat salep yang diberikan oleh dukun pijat—Mbah Rumi. Tapi sudah lebih mendingan dari pada sebelumnya. Ada kenangan manisnya juga di balik insiden yang menyengsarakanku ini. Apa itu?

Diantarkan pulang, dibantu berjalan, sampai dua hari rasanya parfum Bang Alwi masih menempel padaku. Ya Rabb.. bukan maksud hamba mensyukuri derita bercampur nikmat ini. Akan tetapi, kalau boleh..setiap hari Bang Alwi sabarnya seperti kemarin itu boleh tidak?

Dua tahun berlalu. Aku mengenal sosoknya sebagai pribadi yang tidak peduli padaku, selalu saja mencari-cari letak kesalahanku hingga mencaciku karena aku hanya lulusan sekolah menengah atas kala itu. Tapi, aku tidak pernah menilai sikap baik Bang Alwi ini muncul karena aku telah mengenyam pendidikan jenjang kuliah saat ini. Buktinya, sebelum hari di mana insiden buruk itu menimpaku. Sikapnya masih sama seperti dulu. Padahal penampilanku sudah berubah menjadi anak kampus yang tetap berpakaian sopan, serta kerap membawa buku paket materi kuliahku. Tidak mungkin bukan kalau dia kini tidak tahu statusku sudah menjadi mahasiswa di sebuah kampus negeri ternama di Kota Solo ini.

Ah, tapi sudahlah. Untuk apa membahas mengenai sikapnya padaku. Toh, sudah dua hari ini juga ia tidak berniat menjengukku sama sekali. Padahal 'kan sakitku ini karenanya yang ceroboh!

Mala mini terasa dingin. Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Hmm, mungkin karena gerimis sejak magrib tadi. Kusingkap tirai jendela kamarku. Rasanya pemandangan kota ini tidaklah semenyenangkan pemandangan pegunungan kala malam hari. Aku rindu desaku. Berbicara mengenai tirai jendela kamar, aku jadi teringat masa-masa dimana Bang Alwi masih menatapku penuh dengan kebencian. Kala itu..

"Anjani!?"

"I—iya, Bu."

"Tunda dulu bernostalgianya," gumamku pada diri sendiri.

Dengan perlahan, kulangkahkan kakiku menuju sumber suara. Kuyakin, suara ibu berasal dari ruang tamu. Ada apa malam-malam seperti ini ibu berteriak seperti itu.

Sampai di ruang tamu aku terkejut saat melihat beberapa orang yang tidak asing bagiku menatapku penuh dengan tatapan khawatir dan iba. Mereka adalah Mbak Airin, Bang Feri, Bang Dwiki, dan Bang Agung. Sudah. Itu saja..memangnya siapa yang kamu harap datang kemari, Anjani?

"Kok bisa sampai jatuh dan kesleo sih?" tanya Mbak Airin setelah aku bersusah payah mendudukkan diriku di samping ibu.

"Namanya juga musibah, Mbak. Tidak disangka-sangka datangnya."

"Ini Bu, ada sedikit sembako dari kami. Semoga bermanfaat..pasti beberapa hari ini Anjani tidak bisa berbelanja," kata Bang Dwiki dengan begitu lembut pada ibuku. Aku baru tahu, sikap Bang Dwiki yang lembut dan terlihat penyayang nan tulus ini hanya dapat kusaksikan saat ia berhadapan dengan orang tua. Benar-benar beruntung Lila..

"Ya Allah, Le. Nggak usah repot-repot seperti ini. Lain kali, kalau mau jenguk Anjani..datang saja. Tidak perlu seperti ini. Ibu jadi nggak enak.."

"Sudah, Bu. Diterima saja. Itu rezeki Ibu dan Anjani," ucap Mbak Airin menenangkan ibu dan membujuk beliau agar mau menerima pemberian mereka ini. Cukup banyak, dua kresek putih besar. Terlihat samar-samar ada gula dan minyak goreng di dalamnya. Syukurlah..kami—aku dan ibu masih di kelilingi orang-orang baik seperti mereka.

Karena sedari tadi Bang Agung hanya diam dan menyimak obrolan kami semua, kini tibalah saat di mana ibu bertanya tentang siapakah Bang Agung.

"Saya Agung, Bu. Rekan Dwiki dan Alwi."

"Ooo pantesan kalian kemari berdua. Oh ya, Nak Alwi kemana kok tidak ikut bersama dengan kalian? Padahal 'kan waktu itu—"

"Waktu itu ibu sempat bertemu dengan Bang Alwi. Iya 'kan Bu?" sahutku memotong ucapan ibu. Aku tidak ingin membuka cerita kejadian yang sebenarnya. Ibu hanya tahu bila aku terjatuh sendiri, dan Bang Alwi yang menolongku.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang