BAB V

4.2K 383 2
                                    

2014, Binar Anjani

Mengingat puisiku yang semalam kuselesaikan hingga empat baris. Aku kini menikmati udara sejuk pagi ini. Setelah membantu ibu membersihkan rumah dan memasak ala kadarnya itu. Kulihat bapak di hari minggupun tetap bekerja ke ladang. Entah menanam padi atau jagung. Lantas pulang nanti membawa setumpuk kayu bakar. Entahlah..

"Anjani.."

Baru saja hendak membuka buku catatanku. Bapak memanggil. Aku mendekat. "Ya Pak? Bapak butuh bantuan di ladang?"

"Tidak. Bapak cuma mau bilang. Kamu disuruh ibu mengantarkan singkong rebus ke pos jaga Bapak Tentara."

Mataku membulat sempurna. Apa-apaan ini!? Setelah kemarin aku melewati lumpur bersama murid-murid sekolah. Kini aku yang disuruh oleh bapak untuk menghampiri para abdi negara itu!? Bukannya apa-apa. Aku hanya tak ingin disamakan dengan gadis-gadis desa lainnya. Yang malah sangat suka tatkala disuruh mendekati mereka. Dengan dalih sesekali mencuri perhatian. Siapa tahu ada yang nyantol.

Bukan aku sama sekali. Bukan.

Aku pemalu. Meskipun aku telah mengenal beberapa orang di sana. Maksudku Bang Adin, Bang Dwiki, Bang Feri. Dan terakhir harus kukatakan juga.. Bang Alwi. Si muka datar dan es kutub. Tak tahu terima kasih akan tetapi berjiwa ksatria tatkala kemarin menggendong Reno dan kawan-kawannya ke sekolah.

Mengingat soal Reno. Kemarin sore anak kecil itu mendatangiku. Membawa keresek hitam yang kukira makanan. Karena ibu Reno sering memberiku makanan. Namun ternyata sebuah seragam PDL. Atasan dan bawahan.

"Seragam siapa ini, Reno? Terus kenapa kasih ke Mbak?"

Reno memang kerap memanggilku dengan sebutan 'Mbak' jika diluar sekolah.

Melihat senyumnya yang meringis seperti meminta sesuatu itu aku semakin curiga. Kupicingkan mata, "kenapa?"

"Mbak Anjani, tolong cucikan seragam Om Alwi ya.."

"Apa!?"

"Ayolah Mbak. Ini tadi waktu pulang sekolah, aku main sepak bola sebentar sama Om Alwi. Hehe nggak sengaja Om Alwi jatuh karena kesandung kakiku."

"Kok bisa!?"

"Mbak Anjani biasa aja dong! Cuma disuruh cuci baju aja, nggak disuruh bangun candi kayak Roro Jongrang kok."

Aku tampak menimang. Memangnya Bang Alwi tak bisa mencuci sendiri? Mengapa harus menghardik anak kecil seperti Reno ini. Ternyata, selain dingin lelaki itu juga menyeramkan!

"Mbak.. haloooo.."

"I-iyaa?"

"Wahhh makasih banyak Mbak. Kalau aku kuat aku cuci sendiri deh itu bajunya. Sayangnya aku nggak bisa Mbak. Nanti nggak bersih malah nggak enak sama Om Alwi."

"Siapa yang bilang iya?"

"Kan Mbak barusan..."

Kugaruk kasar rambutku. Si kecil yang satu ini merepotkan sekali. Aku yang tak kuasa menahan makianku yang telah berada di ujung bibir inipun akhirnya lolos juga. "Kenapa sih Bang Alwi nggak cuci sendiri!?"

"Reno yang maksa nyuciin baju Om Alwi Mbak! Nggak enak habisnya. Ini kan gara-gara Reno. Om Alwi juga tadi kesakitan gitu kakinya. Kesleo kali ya Mbak?"

Lagi-lagi aku ternganga dibuatnya. Tak kujawabi pertanyaannya yang polos akan tetapi begitu peduli itu. Dari pada senam urat dan ngotot sore ini. Aku segera membawa baju PDL ini ke belakang rumah. Mencucinya dengan bersih di depan Reno yang hanya menatapiku dengan cengirannya. Ia tentu tahu sedari tadi wajahku masam.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang