BAB XXXIX

2.9K 277 3
                                    

Jiwaku, 2016. Alwitra Dwitama

Kuingat-ingat kembali tentang harapanku di tahun ini. Sepertinya aku tidak pernah berharap untuk bisa kembali bertemu dengan dia. Gadis desa yang dahulu sempat kumusuhi dengan alasan yang sebenarnya alasan itu ada pada diriku sendiri. Iri. Dengan pendidikannya yang tentu saja berbeda jauh denganku, ia bisa mengabdikan ilmu yang dipunyainya untuk desanya. Akan tetapi, kini ia ada di sini, di Kota Solo ini. Apa yang ia lakukan di sini? Liburan? Tidak mungkin!

Mau bertanya pun rasanya enggan. Takut bila nanti ia terlalu percaya diri karena bisa membuatku sepenasaran ini. Maka dari itu, aku mencoba untuk bersikap bodoamat. Toh, apapun yang ia lakukan tidak berdampak pada kehidupanku. Hanya mencoba mengimbangi sikap baiknya. Selagi ia juga baik terhadapku. Penampilannya pun kini sudah jauh berbeda dengan dahulu. Lebih bersih, wajahnya pun sedikit mangling. Apa karena sekarang ia sudah pandai memoles wajahnya dengan makeup? Hmm..sama saja sih. Cantik Mita kemana-mana.

"Wi.."

"Alwi!?"

"Siap, Bang!"

"Sepertinya setelah bertemu dengan gadis itu kamu lebih sering melamun ya..main-main kamu sama Abang."

"Siap salah, Bang. Izin petunjuk, Bang."

"Mumpung kita sedang berdua saja. Sebelum tidur, ada yang ingin kamu tanyakan pada Abang mungkin?"

Kebetulan alias PAS sekali!

"Izin, Bang. Mengapa dia bisa ada di Solo? Sedang berlibur atau mengungsi?"

"Mengungsi!? Enak saja! Memangnya di desanya sedang ada kebanjiran apa!"

"Siap salah, Bang."

"Dia sudah empat bulan ini berada di Solo. Kamunya saja yang nggak pernah coba keluar 'kandang'! Makanya, kalau IB jangan cuman pulang ke rumah! Cobalah main-main dengan letting-lettingmu. Abang perhatikan, sejak ditinggal Mita menikah, kamu seperti orang yang kehilangan arah dan seolah menutup dirimu. Jangan begitu, Dik! Hidup ini masih terus berjalan meski kamu sudah ditinggalkan. Kalau ia sudah menjadi milik orang lain, berarti kalian memang tidak berjodoh! Ingat, ikan di laut masih banyak.." nasihat Bang Feri panjang lebar. Sementara aku hanya tersenyum tipis sembari geleng-geleng kepala, tak kuasa kepalaku ini menerima wejangan berat yang keluar dari bibir Bang Feri itu. Pasalnya wejangan Bang Feri ini lebih berat dari pada yang biasanya bapakku berikan. Haha! Dasar senior bunglon! Kerap berubah-ubah sikap, pola pikir hingga tindakan.

Jangan sampai, sejam yang lalu minta dibawakan nasi kuning. Lantas sekarang minta dibawakan nasi uduk. Lha dikira aku pemilik warung!?

"Jangan cuman senyum-senyum saja kamu!"

"SIAP, BANG!" Dengan semangat empat-lima aku hormat sekarang juga di hadapannya. Tidak ada yang salah memang. Segala kalimat nasihat yang baru saja kudengar itu memang benar adanya.

Bila kita tidak disatukan dengan seseorang yang kita cintai, itu tandanya nama kita berdua tidak pernah tertulis dalam lembar jodoh-Nya. Akan tetapi sebaliknya, sebenci-bencinya kita pada seseorang..bila sudah ditetapkan orang tersebut merupakan jodoh kita. Maka dengan cara apapun Tuhan pasti mendekatkan.

Ngomong-ngomong pemikiranku barusan, mengapa yang terlintas dibenakku adalah Anjani?

Ya Rabb..bila Engkau menyisakan seorang wanita yang kelak akan berjodoh denganku. Kumohon dengan sangat, selain Anjani Ya Rabb.

"Hei! Kok malah melamun. Masih kurang panjang ceramah Abang?"

"Siap, tidak Bang. Sudah lebih dari cukup."

"Ya sudah. Sana istirahat! Jangan kebanyakan mikirin Mita! Dia sudah bahagia tanpamu."

"Siap, Bang. Izin mendahului." Aku pun beranjak dari hadapannya. Mengistirahatkan badan mungkin cara terbaik untuk melupakan segala kenangan.

Mungkin benar kata Bang Feri malam ini. Tidak baik bagiku mengenang seseorang yang telah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang ini—Mita. Kini saatnya aku kembali memikirkan cara membahagiakan diriku sendiri. Sudah cukup sedihku karenanya. Esok..aku akan mencoba memulai lembar yang baru. Tanpanya, kuyakin Tuhan telah mempersiapkan yang lainnya.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, Wi?"

"Huh? E—enggak kok, Ki."

"Kebelet pipis ya?"

"Apa hubungannya senyum-senyum sendiri dengan kebelet pipis? Aku curiga, otakmu itu ketinggalan di tempat latihan bela diri tadi sore."

"Enak saja! Jangan sepelekan otakku ya, Wi!"

"Memangnya kenapa otakmu? Di dalamnya ada otak-otak?"

"Eh! Bukan makanan! Ngomong-ngomong soal otak-otak, besok keluar yuk habis sholat jum'at. Cari otak-otak yang ada di sekitar universitas itu lhoo..sekalian cuci mata! Nggak bosan apa galau-in Mita terus setiap hari. Mblenger sing nyawang, Wi-Wi!" (Bosan yang melihat, Wi-Wi) Ide gila Dwiki mulai berusaha meracuniku. Sepertinya ia rindu dielus-elus selang hijau!

Tanpa berpikir panjang. Kuangkat jempolku tempat di depan wajah Dwiki. "OKE!!" Setidaknya, dengan kegilaan ini aku dapat kembali bahagia. Haha! 

"Ndengaren lehmu respon cepet," pujinya. (Tumben sekali responmu cepat)

"Iyalah. Siapa tahu ada bidikan baru.." kataku sembari memberikan senyuman miring. Kali ini Dwiki juga membalas senyumanku dengan senyuman miringnya.

Dengan bangga tanpa peduli rekan-rekan kami yang sudah menata ranjang dan bersiap untuk tidur. Dwiki bersorak, "Wahhh! Kowe wis bali to, Wi!?" (Kamu sudah kembali)

"Kapan aku pergi?"

"Bukan ragamu yang pergi, Wi. Tapi jiwamu yang hilang selama ini! Mita tersangkanya!"

"Sudah. Jangan sebut nama itu lagi!" Ya, kuputuskan..setelah ini nama itu tidak akan pernah lagi ada lagi mengisi hari-hariku. Sudah cukup. Sebaiknya, kenangan buruk tidak disimpan dalam kurun waktu yang lama bukan?

"Siap, Den Alwi.." ejeknya memanggilku dengan embel-embel 'Den'. Dipikir aku ini anggota Denjaka apa!? 

Dwiki memang sudah lama kuvonis sakit otak. Teruntuk diri sendiri, Alwitra Dwitama..harap bersabar. Semoga Dwiki lekas sembuh. Sebenarnya ia juga sadboy, hubungannya dengan Lila masih belum membaik. Padahal sudah satu tahun berlalu sejak kepulangan kami dari menunaikan tugas di tanah Papua kala itu.

Kudo'akan yang terbaik untukmu, Kawan..

Salah seorang lettingku yang hendak tidur itu mungkin kesal dengan suara kami. Ia berseru, "Kalau mau nggibah di luar saja! Tidur, Bos. Sudah malam."

"SIAP, DEN AGUNG!!" Aku dan Dwiki kompak berkata dengan spontan. Setelahnya kami terkekeh bersama dan saling menatap. Sementara Agung hanya geleng-geleng kepala dan mengulas senyumnya yang tak bisa lagi ia tahan. Aku tahu, ia bukan sosok pria yang pemarah. Terbukti bukan, tidak berhasil menunjukkan kemarahannya karena hal sepele ini.

Aku sangat bersyukur. Setidaknya, dengan keterpurukanku..aku tahu bahwasannya di dalam kehidupanku ini ternyata banyak sekali orang-orang yang sangat peduli dan menyayangiku. Cukup lakukan yang terbaik semampumu. Setelah itu, serahkan segalanya pada Tuhanmu.



***

Semoga terhibur ya, meskipun kerecehanku baru belajar wkwkwk

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang