BAB XLV

2.8K 291 17
                                    

Tekad, 2016. Binar Anjani.

Sejak saat itu—hari di mana aku melihat kemarahan tercetak jelas di wajahnya karena memang tidak suka tatkala dituduh menyukaiku. Aku menjalani hari-hari seperti biasanya. Berusaha baik-baik saja dan tidak terlalu memusingkan seseorang yang kucintai, namun tak pernah sekali pun membalas rasa cintaku ini. Dua tahun sudah kulalui hari-hari penuh dengan kesabaran karena belum bisa kudapatkan hatinya. Akankah, tahun ketiga nanti aku akan tetap menantinya?

Entahlah..

Aku hanya lelah saja.

Saat ini aku tengah membantu ibuku membuat beberapa kue hantaran untuk seseorang yang hendak melangsungkan acara lamarannya. Syukurlah, kami tidak pernah kekurangan rezeki. Tuhan selalu melimpahi hari-hari kami dengan keberkahan yang bertubi-tubi. Sudah dua bulan ini ibuku menjalankan bisnis barunya yakni, membuka pesanan aneka kue-kue dan jajanan. Hingga detik ini, semuanya masih dikerjakan sendiri oleh ibuku. Sesekali saat kuliahku sedang libur atau sedang masuk siang, paginya aku akan membantu ibuku terlebih dahulu. Cukup menyenangkan, sebagai pengalih rasa lelahku karena menantikan seseorang yang hingga detik ini hatinya masih buram.

"Nduk, Ibu lihat-lihat..kamu belum pernah ya mengenalkan teman lelakimu?" Ibuku membuka suara saat kami berdua tengah menghias kue hantaran ini.

"M—maksud Ibu?"

"Yaaa...gini-gini, Ibu juga pernah muda. Maksud Ibu, apa kamu tidak pernah mencoba membuka hati untuk dekat dengan seseorang?"

"Iiih Ibu, tumben banget, kepo."

"Ya kepo-lah! Anak gadis Ibu tinggal dua tahun lagi lulus kuliah, tapi selama ini Ibu belum pernah mendengar cerita darinya tentang jatuh cinta. Yang ada, Ibu ini bosan dengan ceritamu tentang materi-materi kampus yang memusingkan."

"Hehe...Anjani sebenarnya sudah punya—"

"Punya pacar!?"

"Ih, Ibu! Belum selesai ceritanya."

"......." Ibu pun kemudian diam. Beliau menantiku melanjutkan cerita yang kumulai barusan.

"Duh..cerita enggak ya?"

"Jangan setengah-setengah ya! Ini pisau yang Ibu buat ngerapihin cream kue tajam loh.."

"Eh i—iya maaf, Bu. Oke deh. Mungkin setelah Anjani cerita, siapa tahu dapat restu terus sama Allah dipermudah jalannya. Eh, Aamiin!"

Mengapa aku baru terpikirkan untuk meminta do'a ibuku ya? Astaga, kemana aku selama ini?

Akhirnya, kuceritakanlah semua rasa cinta yang kurasakan selama beberapa tahun belakangan ini. Sosok pria yang berhasil membuatku jatuh cinta bukanlah seorang pria biasa. Ia merupakan prajurit luar biasa yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk negaraku tercinta ini. Selain itu juga ia dahulunya merelakan masa mudanya untuk meniti karier yang penuh dengan tempaan. Karena untuk menjadikannya seorang prajurit yang tangguh bukan dengan elusan tangan semata. Kuceritakan Alwitra Dwitama, atau pria yang kerap kupanggil Bang Alwi itu pada ibu. Tak sedikit pun ada rasa keraguan dalam hatiku saat menceritakan ia dengan perasaan yang menggebu-gebu.

Bang, hingga detik ini jantungku masih berdegup walau aku hanya bisa menjadikanmu sebuah cerita..

"Kamu yakin, Nduk? Yaa maksud Ibu bukan apa-apa, Nduk. Kamu 'kan tahu sendiri siapa pria yang kamu cintai itu."

Aku mengangguk, "Iya, Bu. Anjani tahu. Selama ini pun Anjani selalu menyimpan rapat-rapat tentang perasaan Anjani ini, karena sepertinya sampai kapan pun tidak akan pernah berbalas."

"Ya bukannya Ibu mau membuat kamu pesimis, Nduk. Cuman kalau jatuh cinta mbokya dipikir juga. Cinta..boleh, tapi kamu juga harus sudah siap menanggung segala resikonya. Termasuk patah hati."

"Iya, Bu. Sudahlah. Tidak usah diteruskan. Toh, Ibu sekarang juga sudah tahu siapa yang berhasil membuat Anjani kesengsem. Tapi Bu..Anjani tidak salah pilih dalam menjatuhkan hati 'kan?"

Kulihat sendiri dengan mata kepalaku. Ibu tersenyum lebar. Beliau tampak sangat bahagia setelah mendengar ceritaku barusan. "Kamu itu sama seperti Ibu, tidak pernah bermain-main dengan cinta. Sekalinya jatuh cinta, yaaa sepertinya akan sangat susah berpindah hati untuk melupa—jikalau memang cintamu tidak berbalas."

Sungguh lega rasanya. Ibu telah mengetahui bagaimana kisah asmara putrinya yang selama ini baru diketahuinya hari ini. Ada sedikit rasa sesal dalam hatiku. Mengapa juga aku menyimpan perasaanku selama ini seorang diri bila sebenarnya ada ibu yang selalu bersedia menjadi pendengar yang baik. Tak hanya pendengar yang baik, ibu juga seseorang yang tak pernah lelah memberiku nasihat tentang kehidupan dan percintaan.

"Bu, seandainya Anjani ungkapkan—"

"Itu lebih bagus!"

"Kok lebih bagus, Bu!? Bukannya tadi Ibu bilang—"

"Memangnya Ibu bilang apa? Apa Ibu melarang kamu? Tidak 'kan?"

Aku hanya menggeleng tanpa bisa menjawabi pertanyaan beliau. Belum sempat aku berkata kembali, beliau sudah lebih dulu menyuarakan isi hatinya. "Anjani, Ibu ini tidak pernah melarang kamu mencintai siapa pun itu. Asalkan ia yang kamu cintai adalah pria yang baik dan seiman dengan kita, maka selama itulah restu Ibu selalu menyertai jalan cinta kamu. Ibu selalu berdo'a yang terbaik untuk kamu, Anjani. Kalau memang kamu bertekad hendak mengungkapkan segala isi hatimu..Ibu hanya bisa mendukung dan mendo'akan yang terbaik. Apapun nanti jawaban dari Nak Alwi, kamu harus terima dengan lapang dada. Sudah lebih dari cukup kamu mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan perasaan cintamu yang sudah bertahun-tahun itu. Bagi Ibu, kesempatan untuk mengutarakan perasaan itu tidak datang setiap saat. Bisa dikatakan, hanya orang-orang yang yakin akan cintanya saja yang bisa sampai dititik itu.."

"..Ibu sarankan, kalau kamu memang masih setengah-setengah, tidak usah. Percuma," lanjut beliau setelah menasihatiku panjang lebar yang penuh dengan berbagai kata mutiara tentang cinta itu.

Tetapi memang semua yang diungkapkan ibuku benar adanya. Kesempatan untuk mengutarakan perasaan tidak akan mungkin datang dua kali. Selagi masih ada kesempatan, aku harus menggunakannya dengan baik. Cukup atas segala cinta dalam diamku selama ini. Kali ini, aku ingin bergerak untuk maju menghampirinya yang dua tahun ini masih berdiam diri di tempatnya.

"Anjani yakin, Bu."

"Selamat berjuang! Semangat.."

"Siap, Ibu. Deg-deg-an tapi.." rengekku.

"Manusiawi. Tapi deg-deg-annya jangan disamakan dengan kamu saat hendak menghadapi ujian praktik! Jelas beda, Anjani!"

"Iya, Bu. Beda."

"Kalau kamu sudah yakin untuk mengungkapkan, berarti kamu juga sudah harus bisa menerima kenyataan atas jawabannya nanti."

"Sudah, Bu. Apapun nanti jawabannya, Anjani siap. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk mencintai dalam diam tanpa mau bergerak sedikit pun, Bu. Anjani jengah, Bu. Bila memang jawabannya tak sesuai, maka ya sudah. Akan Anjani coba untuk melupa."

Ibu tersenyum dan mengusap kepalaku dengan tangan yang satunya. Aku hanya bisa tersenyum di hadapannya meski pun mungkin setelah ini hanya tangis yang kudapati. Tentang jawabannya..mungkin aku sudah lebih dahulu tahu. Tetapi biarlah, aku ingin mendengar kejelasan langsung dari bibirnya. Meski pun nanti menyakitkan, tetap akan aku terima segala keputusannya.

***

Komen yang banyakkkkkkkkk, aku lagi flu :( slow ya

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang