BAB XVII

3K 305 18
                                    

Undangan Kepala Desa, 2014. Alwitra Dwitama

Malam ini, aku bersorak dalam hati. Akhirnya ada hiburan juga setelah berhari-hari aku turun-naik jaga pos. Baiklah.. untuk malam ini saja kutanggalkan PDL-ku. Mengikuti pesan dari Bang Adin selaku pembawa informasi sekaligus undangan pesta kecil di kediaman bapak Kepala Desa. Katanya, tidak perlu mengenakan baju loreng. Pakaian biasa dan sopan saja.

Kubuka lemari kecilku. Aku ingat pernah membawa kemeja kotak-kotak dan beberapa kaos berwarna gelap yang kumasukkan ke dalam ranselku ketika berkemas dahulu. Nah! Dapat.

Hanya tampilan biasa. Celana jeans dan kaos berwarna hitam yang kupadukan dengan kemeja kotak-kotak biru dongker. Gelap! Tak apa.. Tidak berhenti disitu saja, kusisir rambut tipisku. Aku ingat, Dwiki punya gel rambut yang ditaruh meja kecil samping tempat tidurnya. Kuhampiri meja tersebut sembari berteriak, "Dwiki, gel rambut!!"

Nyatanya tak ada di sana. Kemana gel rambutnya. Apakah dibawa ke kamar mandi? Kurang kerjaan!

"Dilaci!" Merdunya suara Dwiki yang berteriak dari kamar mandi kecil itu.

Tanganku pun mulai membuka laci meja kayu ini. Kulihat di sana masih ada foto-foto polaroid. Kira-kira ada tiga buah foto. Satunya foto Lila, yang kuketahui kekasih Dwiki. Masalah kandas atau tidaknya, aku tak tahu. Bukan urusanku. Kedua, foto Dwiki bersama kedua orang tuanya. Yang terakhir fotonya berdua dengan Lila. Bucin-bucin! Tiga lembar foto tanpa figura itu membuat aku geleng-geleng kepala.

"Jangan lihat-lihat fotoku, Wi! Minggir." Si pemiliknya datang.

Aku berjalan kembali menuju kaca kecil yang tertempel di lemariku. Kugunakan gel rambut secukupnya saja mengingat rambutku tipis. Tidak maulah aku dikira belum keramas dan berminyak karena kebanyakan gel rambut!

"Tidak usah lama-lama dandannya! Kita mau ke rumah Kepala Desa, bukan ke rumah calon mertua!" sindir Bang Feri yang mengintipku dan Dwiki.

Kulirik saja ia. Lalu, kulempar gel rambut yang sudah kututup rapat-rapat itu pada Dwiki. Dwiki pun segera mengenakannya dengan gerakan super cepat. Setelahnya, kami berangkat memenuhi undangan bapak Kepala Desa di rumah beliau.

Malam ini, temanku berjalan kaki ada Bang Feri, Bang Adin, Bang Anam, Dwiki, dan beberapa rekan-rekan Bang Anam yang tidak terlalu aku hafalkan namanya. Terhitung sepuluh orang. Kami sungkan datang se-pleton! Haha.

Lagi pula kami semua juga tidak tahu ada acara apa di rumah beliau. Info dari Bang Adin hanya sebuah pesta kecil. Menyinggung perihal pesta kecil aku jadi teringat akan bakar-bakar daging. Asyik! Biasanya orang-orang sini bila makan-makan akan suka membakar daging. Ya memang tidak semua halal karena mengingat umat muslim minoritas di sini. Tetapi satu hal yang kuyakini, keluarga bapak Kepala Desa tempatku mengabdi ini seorang muslim.

Kebanyakan orang daerah sini merupakan nasrani, tapi toleransinya begitu tinggi. Awal-awal aku menginjakkan kaki di sini sempat terpana melihat pemandangan masjid yang letaknya tidak jauh dari gereja. Bahkan bisa dibilang hanya terpisah oleh kebun kecil milik warga.

Baru saja aku membayangkan betapa nikmatnya nanti daging yang dibakar. Aroma saus ala-ala barbeku tercium.. Aku rindu makan-makan daging bakar. Di sini bila menginginkan makanan ala restoran, harus pergi dahulu ke kota. Menempuh jarak kurang lebih dua jam hingga tiga jam-an. Belum lagi susahnya meminta izin pada komandanku--Bang Feri.

"Kecium baunya, Dik?" tanya Bang Adin padaku. Aku hanya manggut-manggut dan tersenyum puas.

Di depan sana, kediaman bapak Kepala Desa mulai terlihat. Aku semakin bersemangat saja. Makan enak malam ini!

Tetapi, ketika kami memasuki pekarangan rumah beliau. Pemandangan yang membuatku tidak bernafsu, menyambut. Mungkin rekan-rekanku senang-senang saja. Berjabat tangan dengan pemilik rumah dengan senyum merekah. Sementara aku? Berjabat tangan dengan senyum kecil.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang