BAB XVI

3.4K 300 19
                                    

Menikmati Senja, 2014. Binar Anjani.

Usai sudah. Perayaan yang menurutku sangat ramai dari tahun-tahun sebelumnya ini. Tak kusangka, ternyata Om-Om Tentara juga memberikan bingkisan khusus untuk para pemenang tanpa sepengetahuan kami (para tenaga pengajar). Kulihat Mbak Airin masih berbincang pada beberapa pengabdi negeri di sana. Kubiarkan saja. Mungkin beliau tengah mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan berupa bantuan tenaga hingga hadiah yang juga mereka berikan kepada para pemenang perlombaan agustusan ini.

Aku di sini masih berdiri, membersihkan yang perlu dibersihkan. Agar besok ketika murid-murid masuk sekolah, kami tidak begitu kewalahan. Mungkin nanti ketika masuk sekolah, hanya mengadakan kerja bakti kecil yang bisa dikerjakan juga oleh murid-murid.

Hingga kusadari pundakku ditepuk oleh seseorang. Aku menoleh. Pemandangan indah kudapati di sana. Senyum merekah itu amat kurindukan beberapa bulan ini.

"KAKA!" (KAKAK!)

"Nara gerotelo, Ade?" (Apa kabar, Adik?)

"Alhamdulillah. Baik, Kaka." Senyumku melebar. Kuyakin saat ini kedua lesung pipitku tengah menunjukkan dirinya.

Sosok lelaki yang kupanggil kakak itu langsung mengusap lembut jilbabku. Aku tahu dia juga rindu padaku.

"Kenapa pulang tidak berkabar, Ka? Kaka sendiri apa kabar?" Aku bertanya balik kepadanya.

"Sa baik-baik saja, Ade." (Aku baik-baik saja, Adik.)

Syukurlah.. Lama kami tidak berkabar, sekalinya aku mendengar kabarnya, malah Tuhan langsung mempertemukan kami. Kami pun asyik berbincang, sesekali ia juga membantuku untuk membersihkan beberapa hal yang sekiranya bisa dikerjakan sekarang. Aku bersyukur mempunyai seorang teman yang sudah kuanggap sebagai kakak laki-lakiku sendiri itu. 

Kali ini, aku tak sendirian menikmati anugerah yang Tuhan lukiskan begitu indah di langit sore. Senja! Guratan oranye di sepanjang langit itu menyita perhatianku. Termasuk juga lelaki yang kini mengantarkanku pulang. Namanya Devaryo. Asli orang Papua. Seperti yang kalian ketahui, aku kerap memanggilnya Kaka.

Kak Devaryo ini merupakan teman pertamaku sejak aku diboyong oleh kedua orang tuaku ke tempat ini untuk tinggal dan menetap. Karenanya, aku yang dahulunya sering diejek karena berbeda fisik, kini semua orang bungkam. Tidak lagi heran hidup berdampingan dengan orang jawa. Yang notabene berkulit kuning bersih seperti kulitku ini. Mereka kini justru sangat menghormati perbedaan. Aku bersyukur mengenal lelaki yang berjalan menyusuri jalanan sepi ini bersamaku.

Namun sayangnya, Kak Devaryo meninggalkanku di desa ini seorang diri. Sebagai gantinya, Kak Devaryo mengenalkanku pada saudara sepupunya. Mbak Airin!

Lelaki itu tengah menyelesaikan pendidikan S1-nya di kota. Tepatnya di Universitas Cenderawasih, dengan mengambil jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Katanya, agar nanti ia bisa kembali ke desa ini untuk mengabdikan dirinya.

Ada sedikit rasa sedih. Akan tetapi, lebih mendominasi rasa senang dan juga bangga terhadapnya. Bagaimana tidak? Anak kepala desaku ini, berjuang mati-matian untuk bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang perkuliahan. Aku bangga pada Kak Devaryo. Karenanya juga, aku mengenal sosok Mbak Airin. Ya, seperti yang kalian ketahui Mbak Airin sangat baik dan sudah kuanggap seperti kakak perempuanku sendiri. Perlu kalian garis bawahi ya.. bahwasannya kedua orang baik itu--Mbak Airin dan Kak Devaryo merupakan saudara sepupu.

Pernahkah terlintas dibenak kalian, mengapa Mbak Airin selalu membujukku untuk menerima tawaran beasiswa kuliah? Itu semua berawal dari Kak Devaryo. Lelaki itu tahu betul bahwa aku sama sepertinya. Ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Akhirnya diberitahulah Mbak Airin itu, ia senang bukan main. Kebetulan pula waktu itu tengah ada peluang beasiswa. Katanya, aku diyakini diterima.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang