BAB III

4.8K 412 2
                                    

2014, Binar Anjani

Mendengar suara motor bapak yang sangat sering terdengar di telingaku. Akupun bangkit dari acaraku menikmati keindahan yang Tuhan lukiskan di tempatku tinggal.

"Bapak.."

"Lho kamu di luar Nak? Oh ya, tadi Bapak naik ke sini kesusahan. Untung saja dibantu oleh Bapak Tentara. Dia habis dari sini ya? Ngapain?"

Aku tercenung sesaat. Memikirkan tiap kata yang bapak ceritakan. Bang Alwi? Membantu bapak?

Aku mencoba menanggapi sewajarnya, "Iya Pak. Namanya Bang Alwi. Beliau tadi mencari sinyal untuk mengirim pesan pada orang tuanya." Tak lupa senyum manis kusuguhkan untuk bapak.

Bapakpun masuk ke rumah. Aku membuntuti beliau lalu melenggang ke dapur. Di sana kulihat ibu tengah memasak untuk makan malam kami. Hanya nasi liwet dan telur ceplok. Dengan kecap manis pasti akan sungguh nikmat. Apalagi ditambah dengan kebersamaan kami.

Tatkala tatapanku bertemu dengan mata elang Bang Alwi, aku tak mampu mengerjap. Mengingat perkataan bapak tadi siang. Ingin sekali aku mendekat untuk sekedar mengucapkan terima kasih atas bantuannya pada bapakku. Akan tetapi kuurungkan karena lelaki itu lebih memilih melenggang begitu saja.

Bang Feri yang kebetulan bersitatap denganku, begitu hangat menyapaku dan teman-temanku.

"Pulang mengaji ya Dik?" tanyanya ketika temanku memilih jalan lebih dahulu. Buru-buru katanya. Entahlah mereka agaknya tengah menjahiliku dengan meninggalkan aku hanya berduaan dengan Bang Feri.

"Iya Bang.." Kuulas senyum manisku.

"Ya sudah. Langsung pulang ya! Hati-hati.." titahnya.

Ketika baru tiga langkah aku mencoba untuk memfokuskan pandanganku ke jalanan, karena di sekitar jalanan ini juga terdapat beberapa rekan Bang Feri yang mungkin tengah berjaga malam. Sedikit sungkan apabila aku menyapa mereka. Maka kuputuskan lebih baik menunduk. Menghindari mereka yang kuyakini tengah menatapiku yang berjalan nyelonong begitu saja.

"Anu..Anjani.."

Apalagi? Dengan menggertakkan gigiku. Aku mencoba menarik napas. Kemudian membalikkan badan dan mengulas senyum terpaksa.

"Y-ya Bang Feri?"

"Titip salam ke Bu Airin ya! Kalau besok kamu bertemu dengan dia di sekolah.."

Dengan tanpa malu Bang Feri selalu menitipkan salam pada Mbak Airin. Ia seolah tak peduli dengan tatapan penuh tanda tanya dan senyum-senyum tipis para rekan dan anggotanya yang juga sedang berada di sana. Tentu saja mereka semua mendengarnya. Bang Feri lantang mengucapkan titipan salamnya itu.

Mbak Airin merupakan guru sekolah dasar yang menjadi penegak pendidikan di desa kami. Cantik sekali orangnya. Kecerdasannya tak perlu lagi diragukan. Terkadang beliau tak sungkan membantu ibuku di dapur tatkala berkunjung ke rumah.

Bapakku bahkan sudah menganggap Mbak Airin seperti anaknya sendiri. Akupun juga telah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Mengingat aku tak punya saudara kandung, sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku mempunyai saudara seperti dia.

Baru saja tadi ada seseorang yang menyebut nama Mbak Airin. Malam ini justru aku langsung dipertemukan dengannya. Memang ya.. Bang Feri itu bak cenayang. Bisaan menebak time-ing.

"Assalamu'alaikum.." ucapku yang baru saja memasuki rumah.

Mbak Airin, ibu dan bapakku langsung menoleh dan menjawab salamku. Ketiganya tengah menonton siaran TV. Bukan sinetron ataupun film-film romansa. Melainkan tentang sebuah berita di malam hari. Mereka pasti baru saja berdebat sehingga ketika aku baru saja memasuki rumah, keadaan sudah hening.

"Tuh adikmu sudah pulang. Katamu mau ngomong sesuatu," kata ibu mengingatkan Mbak Airin yang tampaknya masih melanjutkan lagi acara menonton berita itu.

Akupun langsung masuk ke kamar. Kulepas jilbab yang menutupi rambutku itu. Lalu, kudengar pintu kamarku yang terbuat dari kayu itu terbuka. Menampilkan sesosok wanita cantik dengan senyumnya yang entah mengapa malam ini berbeda dari biasanya.

"Kenapa Mbak Airin senyum-senyum gitu? Serem tahu," celetukku diakhir ucapan membuat Mbak Airin memelototiku akhirnya.

Ketika kulihat Mbak Airin menutup pintu kamarku. Bahkan kini menguncinya dari dalam. Aku semakin tak mengerti dan bergidik ngeri. "Kenapa dikunci sih Mbak? Mau apa sih? Penting banget ya sampai jadi rahasia negara.."

"Iya penting. Rahasia negara ini!" Mbak Airin mendudukkan dirinya di ranjangku dan meraih satu boneka kesayanganku untuk dipeluknya.

Kubiarkan saja ia. Sesukanyalah.

"Anjani?"

"Apa Mbak? Kalau ngomong ya ngomong aja..jangan bikin aku takut." Aku mencoba membiarkan dirinya yang seakan masih ragu-ragu berkata.

Kuambil sebuah buku catatanku. Cokelat warnanya, ada tali penandanya berwarna merah. Sehingga ketika aku membukanya maka langsung menuju halaman terakhir yang kutulis.

Sebuah rangkaian puisi. Baru dua baris, belum kulanjutkan lagi. Inginku melanjutkannya malam ini. Sembari duduk di kursi kayu yang langsung menghadap ke jendela bersekat kayu dan bertirai putih tipis itu.

"Anjani.."

"Mbak...." Aku mencoba menggertakkan gigiku agar Mbak Airin langsung berkata pada intinya saja. Jika ia terus-terusan seperti ini. Aku pasti semakin mati penasaran dibuatnya.

Terdengar helaan napas Mbak Airin yang cukup keras. Hingga membuatku menoleh. Meskipun kami duduk bersebelahan dari tadi. Tapi aku tak menatapnya. Karena teralihkan pada dua baris puisi yang masih kupikirkan kelanjutannya ini.

Mbak Airin berkata, "Kamu masih ingat ketika Mbak bilang tentang mengajukanmu untuk beasiswa kuliah di kota?"

"....." Aku mengangguk. Ingatanku samar-samar. Karena terakhir kali kami membicarakan hal ini beberapa bulan yang lalu.

"Bagus! Kamu keterima Dik." Senyumnya melebar. Lalu kedua tangannya memegangi kedua dagunya sendiri dengan menjadikan boneka kesayanganku sebagai bantalan sikunya.

"Terus?"

"Ya Ampun Anjani! Ya diambillah! Mau kan?"

"Entahlah.."

"Loh kok kamu ragu-ragu!?" Seketika Mbak Airin dengan raut wajah memerahnya menyingkirkan boneka kesayanganku begitu saja.

"Aku-"

"Apa!?" Belum sempat aku melanjutkan ucapanku. Mbak Airin sudah lebih dulu menyemburku. Sepertinya ia tengah marah padaku.

Ia kemudian berucap, "Anjani, ingat ya! Kalau kamu ragu-ragu, mending balik kanan bubar jalan."

Aku menelan ludahku sendiri. Dari mana kata-kata pedas yang diucapkan Mbak Airin ini, hingga membuatku tak dapat menjawabinya.

Dengan ragu-ragu aku mencoba mengalihkan perbincangan tak asyik ini. "N-ngomong-ngomong.. Mbak Airin tahu kata-kata itu dari mana?"

"Bang Feri!" serunya. Seketika ia membungkam bibirnya sendiri. Sedangkan aku cekikian tatkala selepasnya berkata, ia bangkit dari duduknya dan beranjak dari kamarku.

Aku yakin ia masih berada di rumahku. Hingga aku keluar kamar dan mendapatinya yang hendak berpamitan. Baru saja ia selesai menyalimi tangan bapak. Tiba-tiba aku berkata, "Mbak Airin dapat salam dari Bang Feri!"

"Ngawur ya kamu Anjani." Mbak Airin menunjukkan senyum terpaksanya.

Kulihat ibu dan bapak saling berpandangan. Selepasnya ibu bertanya, "Bang Feri itu siapa Anjani?"

Niat hatiku ingin sekali menjahili Mbak Airin. Akan tetapi ibu guru yang satu itu sudah lebih dahulu berteriak pamit dan ngacir dari rumahku. Bak orang kebirit haha..






***

Next? Vote dan komen💚

Saya slow update untuk cerita ini hehe

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang