BAB XLII

2.7K 270 16
                                    

Toleransi, 2016. Alwitra Dwitama.

Kesialan malam ini dikarenakan Agung tidak terima karena Dwiki mengejeknya sewaktu di angkringan tadi, berimbas padaku juga. Seandainya tadi aku menolak dimintai tolong oleh Dwiki untuk mengantarkannya pulang ke rumah, sudah pasti sekarang ini aku sudah di rumah. Menonton TV dengan ibu dan bapak, becanda sampai gelud sama Bang Alwan yang juga sudah pasti malam ini pulang ke rumah. Memang pembawa sial Dwiki ini!

"Ya sudahlah, Ki. Mau bagaimana lagi? Bengkel sudah pada tutup malam-malam begini.." kataku menyerah karena aku pun juga lelah mengikuti langkah Dwiki yang tengah menuntun motor sportku itu. Tapi sepertinya ia masih semangat lima-lima! Heran dengan dirinya yang tidak mengenal rasa lelah. Aku jadi teringat beberapa tahun yang lalu saat kami berdua menjalani pendidikan masuk tamtama. Susah senangnya hingga detik ini masih kuingat dengan jelas!

"Kenapa jadi kamu yang capek? Perasaan dari tadi aku terus yang nuntun motornya!"

"Ya 'kan memang salahmu. Agung ternyata nggak beda jauh sama kucing ya, Ki. Padha-padha malatine!" (Sama-sama bikin kualat!)

Dwiki tertawa mendengar perkataanku barusan. Ternyata, menuntun motor yang mogok secara tiba-tiba tidak seburuk yang kukira. Apalagi disaat kami—aku dan rekan yang telah kuanggap saudara ini bersama-sama melalui kesusahan ini. Dengan bersama, kami seperti merasakan manis dan asinnya gula-garam. Dengan bersama pula, aku semakin yakin bahwa memilihnya sebagai sahabat terbaikku tidak seburuk kata orang tentang kami.

"Wi.."

"Hm?"

"Coba hubungi Bang Feri."

"Buat apa!? Cari mati? Besok saja!"

"Bukan itu, Wi. Aku baru ingat kalau daerah sini sepertinya tidak jauh dari tempat tinggal pamannya Bang Feri. Soalnya aku pernah antar Bang Feri waktu itu. Ya, siapa tahu kita dibantu paman Bang Feri, kelihatannya juga orang baik, Wi." Tanpa menunggu lama-lama lagi, segera kuhubungi abang seniorku yang terkenal galak itu. Semoga saja malam ini aku tidak mengganggu kegiatan berkencannya dengan Bu Airin. Bisa digantung di tiang bendera aku kalau sampai mengacaukan kencannya itu!

Ide Dwiki ternyata tidak terlalu buruk. Kini kami berdua tengah berjalan menuju rumah paman Bang Feri yang telah kami ketahui letaknya. Tidak jauh dari sini ternyata. Tidak sia-sia aku mempunyai teman seperti Dwiki. Ingatannya kuat!

"Masih jauh, Wi?" tanyanya. Mungkin ini sudah yang kedua kalinya ia bertanya.

Aku hanya menjawab, "Sebentar lagi sampai!" Guna menyemangatinya aku harus terus berkata seperti itu. Meskipun tidak terlalu benar dengan fakta yang sesungguhnya.

Hingga sampailah kami pada sebuah rumah yang tempatnya sama dengan peta yang kusimak sejak tadi. Dwiki juga mengulas senyum lebarnya. Katanya, benar ini merupakan rumah paman Bang Feri. Sayangnya..

GUKK!! GUUKK!! GUK!!

"Anjing, Wi!! Naik ke atas pohon, Wi!!"

Tidak sia-sia kami belajar kecepatan saat latihan. Buktinya terpakai untuk hal-hal di luar kemiliteran. Seperti menghindari anjing galak penjaga rumah seperti ini. Haha! Sial! Bagaimana bisa kami sampai lupa bahwasannya seluruh keluarga Bang Feri merupakan non-islam?

"Ki, kok kamu nggak bilang kalau ada anjing penjaganya!?" teriakku pada Dwiki yang berada di pohon seberang sana.

"Waktu aku nganter Bang Feri, nggak ada kok anjingnya!!"

"Terus iki piye!? Gek deloken toh! Ilate kudu njilat!" (Terus ini gimana!? Lihat tuh! Lidahnya mau jilat!)

"Jenenge kirek, yo ngono iku! Nek kucing yo ngeong-ngeong!" (Namanya juga anjing, ya seperti itu! Kalau kucing ya mengeong-ngeong!)

Masih sempat-sempatnya kami bedua membanyol di atas pohon yang berseberangan. Sementara anjing galak itu berada di tengah-tengah kami. Disela-sela gonggongan kerasnya, anjing tersebut menatap kami dengan tatapan lapar. Seperti melihat daging segar yang memang disuguhkan padanya sebagai makanan malam ini.

Tetapi, tidak lama kemudian..seorang pria paruh baya keluar dari pintu utama rumahnya. Apakah itu merupakan paman Bang Feri? Semoga saja!

"Sedang apa kalian di atas pohon!? Adik Feri ya?"

"I—iya, Pak. Saya Dwiki, yang waktu itu pernah mengantar keponakan Bapak!"

"Oh iya. Kamu, Cah Bagus!" Aku hanya diam menyimak obrolan mereka berdua sembari sesekali kulirik ke bawah sana. Memastikan agar anjing galak itu tidak sampai mendekat pada pohonku sebelum paman Bang Feri mengendalikan peliharaannya itu.

Setelah memastikan peliharaannya masuk kandangan dan dikunci rapat. Kami pun baru merasa lega dan turun ke bawah dengan wajah yang sudah lemas. Diprank anjing galak malam-malam tidak seindah motor mogok di jalan!

"Selamat malam, Pak. Mohon maaf sebelumnya karena kami merepotkan malam-malam seperti ini."

"Iya tidak apa-apa, tidak merepotkan sama sekali. Mohon maaf ya, anjing peliharaan saya itu memang galak. Jangankan pada kalian, pada saya saja kadang jinak kadang juga seperti itu.."

"Iya, Pak. Tidak apa-apa, hanya terkejut sedikit."

"Mana motor kalian yang mogok. Taruh sini garasi rumah saya saja! Kalian menginap di sini malam ini kalau kalian berkenan.."

"Terima kasih atas tawarannya, Pak. Saya sudah meminta Abang saya untuk menjemput kami di sini. Untuk motornya, besok biar saya kemari lagi. Jam sebelas malam seperti ini, bengkel sudah tidak ada yang buka Pak," jelasku padanya berusaha menolak halus. Meskipun aku baru saja terpikirkan untuk meminta Bang Alwan untuk menjemputku ke lokasi yang sudah kushareloc padanya. Aku sungkan dengan beliau..kurasa Dwiki pun juga akan menolak kalau kami diminta untuk bermalam di sini.

"Iya. Nggak apa-apa. Masukkan saja motornya ke dalam.." Aku dan Dwiki saling bertatapan. Kami berdua seakan ogah-ogahan karena masih trauma bila tiba-tiba anjing galak tadi terlepas begitu saja.

"Tidak perlu takut. Sudah aman anjingnya di dalam kandang. Apa mau saya lepaskan lagi?" tanya beliau mencoba mencairkan suasana yang tengah tegang ini.

"Tidak usah repot-repot, Pak. Kasihan anjingnya kedinginan nanti."

"Betul itu, Pak! Angin malam tidak baik," sahut Dwiki membenarkan ucapanku barusan. Yang benar saja kami hendak dibuat memanjat pohon untuk kedua kalinya malam ini!

"Lha terus kenapa kalian keluyuran sampai malam seperti ini?"

Dwiki terdiam. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Kemudian paman Bang Feri justru terkekeh melihat kami yang tidak bisa menyahuti ucapan beliau. "Ya sudah. Ayo, motornya dimasukkan ke garasi rumah saya! Saya paham, anak muda seperti kalian ini tidak pernah di rumah kalau malam minggu.."

Aku salut dengan kebaikan beliau. Meskipun kami berbeda keyakinan, akan tetapi tak kudapati sama sekali ekspresi terpaksanya membantu kami berdua. Syukurlah..masih banyak orang baik di dunia ini yang menjunjung tinggi nilai toleransi beragama.



***

Semoga bisa diambil pelajaran kecilnya..

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang