BAB XLVI

2.8K 281 23
                                    

Sticky Note, 2016. Alwitra Dwitama

"Semangat pagi! Semoga manisnya harimu tidak kemanisan seperti kue cokelat-kacang kering ini. Tidak pula keras seperti taburan kacang yang menjadi topping kue yang mungkin sudah kaucicipi. Semoga dapat menjadi penyemangatmu hari ini. Tak banyak pintaku, cukup hargai aku dengan menghabiskan setiap kepingnya dan selalu tersenyum karena kelezatannya."—BATAS, Inajna.

Meski kubaca berulang-ulang, tetap saja tidak kuketahui maksud dari si pemberi kue ini. Terserah apa yang ingin ditulisnya-lah. Yang jelas, kuenya enak. Tidak terlalu kemanisan, dan aku suka. Kue yang kukira merupakan buatan Mbak Elmira—istri Bang Adin, ternyata aku salah. Sejak kemarin-kemarin pun Bang Adin hanya memberikan kue-kue padaku setiap harinya. Mulai dari kue basah hingga kue kering, semua enak-enak. Aku sendiri yang menghabiskannya. Dwiki? Ia sudah kuwanti-wanti untuk tidak menyentuh kotak bekal berwarna hijau di tanganku ini. Karena Bang Adin pun juga telah memperingatkan Dwiki agar tidak merusuhiku, karena memang si pemberi kotak ini hanya menginginkan aku seorang yang menjadi penikmatnya.

Sudah tiga hari aku mendapatkan kotak bekal ini. Akan tetapi baru hari ini ia menuliskan sesuatu di lembar sticky note berwarna biru. Hmm, warnanya sangat kontras dengan kota bekal yang ia berikan padaku ini. Tetapi tak apa, yang penting rasa di dalamnya dapat membuat rekan-rekanku menatapku penuh dengan arti.

"Kenapa, Ki?"

"Enak, Wi?" tanyanya sembari menelan ludah.

"Enaklah! Makanya, tebar pesona biar dapat penggemar rahasia. Hahaha.."

"Sorry, nggak minat! Lila tambah cantik soalnya. Asem, bikin gagal move on saja!"

"Katanya nggak mau move on?"

"Y—ya gimana? Dia keras kepala. Cinta setengah matinya sama aku, jalannya sama cowok lain! Kesel! Ini namanya the real luka hati luka diri, bohongi perasaan dan memeluk duri!"

Dwiki tetaplah Dwiki. Pria humoris juga bisa patah hati. Jangan salah! Kisah cintanya dengan Lila lebih menyakitkan dari pada sekedar kisahku yang ditolak Mita berkali-kali hingga ditinggal menikah. Dwiki lebih parah kisah cintanya. Lila—gadisnya itu tak pernah mau mengerti dengan tugas negaranya. Ditinggal tugas ke Papua dua tahun yang lalu pun Lila meminta putus. Sepulangnya dari Papua kala itu, Dwiki berusaha mendapatkan Lila kembali. Segala perjuangannya—akulah yang menjadi saksi. Akan tetapi, hingga satu tahun berlalu pun Dwiki dan Lila tak kunjung bersatu. Justru tokoh-tokoh baru muncul silih-berganti.

"Ki-Ki..sudahlah. Apa nggak lelah mengejar terus-terusan? Ini beda loh Ki dengan longmars!"

"Lelah? Apa itu 'lelah'? Nggak ada tuh di kamusku. Lelah hanya untuk pria lemah yang membangun benteng gengsi. Wanita itu memang seharusnya dikejar. Bukan disuruh mengejar."

"......" Aku diam. Aku tak mau lagi-lagi Dwiki membawa-bawa nama gadis itu. Karena setiap Dwiki membawa nama gadis itu, setelahnya pasti aku bertengkar dengan Dwiki. Heran. Sekuat itu mantranya..

Kuabaikan Dwiki yang mulai gila dengan bernyanyi karena musik yang mengalun melalui soundsystem itu. Ya, sekarang ini kami sedang melaksanakan korve. Rutinitas pagi ini tidak terlalu berat. Cukup santai sehingga kami masih bisa mengobrol singkat. Aku pun segera menunaikan tugasku ini. Melupakan sejenak sosok inajna yang entahlah kucari-cari namanya di media sosial pun tidak ada. Sebenarnya ia gadis dari planet mana? Apakah saat ini aku benar-benar memiliki penggemar rahasia? Wah, novel-novel karya anak SMA kalah sama jalan hidupku!

"Kenapa kamu senyum-senyum!? Cepat bersihkan itu! Kalau tidak bersih, siap-siap kepalamu gepeng!"

"SIAP BANG!"

Setelah Bang Feri pergi dari hadapanku. Kini ganti Bang Adin yang mendekatiku. Tangan kanannya menepuk bahuku. "Gimana kuenya? Tiga hari dapat makanan gratis terus..enak ya, Wi."

"Izin, Bang. Enak sekali. Sebenarnya Inajna itu siapa, Bang?"

"Adalah..kata dia, nanti kalau kamu sudah mendapat sticky note yang berwarna merah muda. Barulah akan kamu ketahui semua jawaban dari segala rasa penasaranmu. Sekarang, nikmati saja.."

"SIAP BANG!"

Bang Adin tersenyum. Sebelum langkahnya menjauhiku. Kusempatkan berucap, "Izin, Bang. Terima kasih.."

"Sama-sama."

Aku sangat mengenal Bang Adin. Dari dahulu pun, beliau merupakan abang seniorku yang paling baik. Segala ekspresi wajahnya, aku yakin hampir seluruhnya kuhafali. Tetapi, satu senyumnya kali ini yang tak bisa kumengerti. Kali ini benar-benar berbeda. Seperti ada yang disembunyikannya dariku. Tetapi apa?

Malam harinya, aku kembali mendapatkan sticky note yang kudapati tertempel di dalam lemari bajuku. Siapa yang menaruhnya? Dwiki? Tidak mungkin! Kulihat tidurnya sudah sangat pulas. Sebuah pesan membuat sakuku bergetar karena aku mengatur ponselku dengan nada getar—agar tidak mengganggu kegiatanku mengobrol dengan beberapa senior tadi.

Bang Adin

Abang yang tempelkan kalau kamu sudah membuka lemarimu. Maaf lancang. Tengok ke bawah, ada jus apel. Diminum.

Aku lega ketika membaca sebuah pesan dari abang seniorku itu. Syukurlah jika beliau yang ternyata membuka lemariku ini, karena aku sendiri ceroboh dan membiarkan kunci lemariku menggantung di tempatnya begitu saja. Astaga, Alwi-Alwi.. jika ini terjadi di rumah, sudah pasti ibu tidak akan pernah berhenti untuk menasihatiku hingga berjam-jam! Ahh, jadi rindu. Rindu nasihat ibu yang berdurasi lama itu. Rindu peluk mau pun cubitan kecil ibu. Rindu segala yang ada di rumah kecuali Bang Alwan. Tidak ada rasa rindu sama sekali padanya. Ia menyebalkan, sungguh. Selalu saja memojokkanku ketika di rumah. Mentang-mentang sudah mempunyai kekasih, aku yang jomlo ini selalu saja diolok-olok.

Setelah aku mengirim balasan pesanku pada Bang Adin. Aku pun mengambil sebuah botol yang dimaksud Bang Adin berisi jus apel itu. Dan benar saja! Rasanya sangat enak dan segar. Lumayan, pereda haus setelah mengobrol berjam-jam malam ini. Pasalnya, mengobrol dengan senior itu seperti sebuah rapat kecil tidak resmi. Kadang perlu membuatku berpikir untuk menanggapinya. Tetapi adakalanya terkadang aku harus diam, mendengarkan segala ucapannya itu.

"Sebenarnya sticky note-sticky note ini hanya penunda untuk saya meyakinkan diri sendiri. Semoga hari baik itu disegerakan tiba ya.." –BATAS, Inajna.

Meski pun aku sebenarnya masih tidak paham maksudnya. Tetapi tetap saja, kuaamiin-kan semoganya. Aku pun juga tidak pernah berhenti berdo'a untuk orang-orang yang selalu berbuat baik padaku. Semoga oleh Tuhan dibalas segala kebaikannya nanti. Termasuk kamu, Inajna..


***

Masih edisi flu ya. Hmmm :(

Ya wajar kalau dia nggak kepikiran sampai Anjani. Soalnya seperti yang sudah kalian baca di bab sebelumnya, sejak kejadian candaan Dwiki yang kelewatan 'kan Anjani bilang menjalani hari-hari seperti biasanya (seolah-olah sudah masing-masing/jarang berinteraksi lagi). Tapi karena curhat sama ibunya & dinasehati, jadilah semangat Anjani muncul. Hmmmm semoga kalian tetap suka alurnya..

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang