BAB XXV

2.8K 300 16
                                    

Atas Dasar Ikhlas, 2014.  Alwitra Dwitama

Rupanya tinggal menghitung dua minggu dari sekarang. Maka aku beserta rekan tugasku akan meninggalkan tanah papua ini. Ya, tugasku purna di sini. Akhirnya.. penantianku selama ini pun sampai di titik ujung juga. Aku rindu keluargaku di Solo. Terutama Ibu dan bapak. Tak terlupakan juga Abangku, Bang Alwan. Meskipun kerap membuatku kesal sejatinya ia tetaplah saudara kandung, kakak terbaikku. 

Mengesampingkan kebahagiaanku yang sebentar lagi akan usai menjalankan tugas di papua dan kembali ke pelukan ibu, ah maksudku kembali pada tempatku bertugas yakni di Solo. Pagi yang sudah agak kesiangan ini, aku beserta lettingku dikawal oleh Bang Anam diutus pergi ke kota untuk berbelanja bahan-bahan makanan. Jika ditanya untuk apa, maka jawabannya jelas untuk merayakan malam tahun baru di sini. Kami semua akan melewati pergantian tahun dengan agenda makan-makan besar bersama. Hitung-hitung juga untuk mensyukuri segala hal yang sudah terlewati selama setahun di sini. 

Pasar di kota sini cukup ramai. Sudah pasti, menjelang tahun baru. Harga bahan-bahan pun juag ikut naik. Sesekali kudengar Bang Anam menggerutu karena Bang Feri menyuruhnya untuk berkendara jauh-jauh ke kota hanya untuk mengantarkan kami, juniornya. Bukannya apa-apa, komandanku itu terlalu takut bila tiba-tiba nyali kami membesar dan berani kabur untuk merayakan tahun baru di kota ini dengan cara kami sendiri. 

"Ayo-ayo buruan, panas nih!" 

"Siap, Bang!"

Dalam hati aku pun juga menggerutu, mengapa Dwiki tidak diperbolehkan ikut denganku? Bang Feri terlalu takut bila aku akan bersekongkol dengan Dwiki untuk mengacaukan acara tahun baruan ini dengan kabur entah kemana. Haha! Bukan Bang Feri namanya bila tidak pandai mengatur segalanya.

Kulihat mobil tak kunjung dijalankan, padahal sedari tadi Bang Anam sudah meminta kami untuk cepat. Ternyata lelaki itu tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Untung saja ia seniorku, panas-panas begini aku pun juga ingin menyindirnya dengan kalimat 'ayo cepat! panas!'. Keesokan harinya kepalaku jadi korbannya. 

Tak lama kemudian, Bang Anam menatapku yang baru saja hendak membuka pintu depan mobil ini. "Izin, Bang. A-ada apa, Bang?"

"Kamu nggak usah ikut balik, Wi."

"Apa!?" Kedua mataku melotot seketika. 

"Izin, Bang.. lha terus saya gimana Bang?"

"Bang Adin baru saja telpon Abang. Dia bilang, bapaknya Anjani dibawa ke rumah sakit tadi pagi-pagi sekali. Bang Adin khawatir Anjani kesusahan mengurus administrasi-"

"Izin, Bang. Ini maksudnya saya suruh bayar?"

"Bukan gitu! Dengar Abang dulu. Kalau ada orang lagi ngomong, jangan disela! Kebiasaan kamu Dik!"

"Siap salah.." Salah lagi. Ya jelas aku langsung menyela. Dapat uang dari mana aku. Meskipun aku punya kartu atm, untuk apa aku sibuk-sibuk mengurusi urusan gadis itu?

Bang Anam pun menjelaskan bahwa tadi pagi-pagi sekali bapak Anjani dibawa ke rumah sakit atas bantuan Bang Adin yang meminta bantuan transportasi yang sama seperti kejadian Reno waktu itu. Sakit jantungnya kumat. Namun bantuan Bang Adin hanya sampai disitu saja. Ia tidak bisa turut membantu administrasi bapak Anjani karena ada beberapa surat yang harus segera ia urus berkaitan dengan tugas kami yang sudah hampir usai di sini. 

Demi memperlancar kerja Bang Adin, aku haruslah mengambil alih tugasnya yakni.. memastikan bapak Anjani mendapatkan perawatan dengan mengurus administrasi yang dibutuhkan. Bang Anam juga mengutip cerita dari Bang Adin bahwasannya Anjani tengah panik. Mungkin sekarang ini gadis itu memerlukan bantuan. Baiklah.. akan kulakukan. Kali ini kuperuntukkan bapak Anjani yang selama ini sangat baik terhadapku. Kasihan beliau. 

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang