BAB XVIII

3.2K 313 32
                                    

Kopi, 2014. Binar Anjani

Makan malam yang dihadiri oleh beberapa abang-abang tentara itu memang telah usai. Namun kulihat di sana, bapak-ibu Kak Devaryo masih asyik berbincang dengan Bang Feri dan rekan-rekannya. Kemudian tatapanku tertuju pada sosok lelaki yang duduk menyendiri di kejauhan sana. Ia menduduki tempat favoritku, tempat duduk kayu yang dibuat oleh bapak Kak Devaryo. Spesial untukku dan ibu Kak Devaryo, yang kadang memintaku membantunya mencari berkas-berkas penting.

Ya, bapak Kepala Desaku itu memang kerap kebingungan mencari berkas-berkas penting. Alhasil.. aku yang disuruh membantu oleh ibu Kak Devaryo.

"Ade, ko kenapa melamun?"

"Tidak.." Aku mencoba mengalihkan tatapanku dari lelaki yang duduk sendirian di sana itu. Mungkin aksiku tadi dipergoki oleh Kak Devaryo. Meskipun begitu, syukurlah ia tak berusaha menggodaiku karena diam-diam memperhatikan Bang Alwi dari kejauhan.

Kak Devaryo memerintahku, "Ko buatkan kopi untuk sa e!"

Ketika aku mulai beranjak dari dudukku. Kak Devaryo menahan tanganku. Aku menaikkan sebelah alisku, apalagi permintaannya kali ini? Terakhir kali ia minta dibuatkan kopi padaku adalah beberapa bulan yang lalu. Ia memintaku membuatkan kopi pahit. Lalu setelahnya mengumpatiku. Apa coba maksudnya?

"Mau dibuatkan kopi pahit lagi? Nggak! Nanti Kaka mengumpatku lagi.."

"Tra. Buatkan dua kopi e!"

"Mau minum dua-duanya? Jangan! Nanti kembung perut Kaka," ujarku mengingatkannya. Itu semua kulakukan karena aku peduli. Mengingat besok Kak Devaryo akan melakukan perjalan dari desa ke kota. Yang cukup memakan waktu dan tenaga pastinya.

Lelaki yang berdiri di hadapanku itu mengayunkan tangannya di depan wajah. "Sa mo ngopi deng de.." (Saya mau ngopi dengan dia) Telunjuknya mengarah pada Bang Alwi yang tengah duduk seorang diri.

Sempat aku terkejut sejenak. Untuk apa pula Kak Devaryo mengajak triplek hidup itu mengopi bersama? Aku tak yakin mereka akan akrab. Tetapi aku tetap mengangguk. Kubuatkan dua cangkir kopi dengan takaran kopi dan gula yang pas. Manis untuk kedua cangkir tersebut.

Sebelum meninggalkanku seorang diri untuk menghampiri Bang Alwi. Kedipan mata Kak Devaryo membuatku mengulas senyum. Begitulah caranya berucap terima kasih secara manis. Cih!

Tak lama larut dalam kesendirian, Bang Adin tiba-tiba menghampiriku. Ia mendudukkan dirinya di sebelahku--tempat yang diduduki oleh Kak Devaryo tadi.

"Sendirian saja," sapanya sembari mengeratkan jaket merah maroon yang ia kenakan malam ini.

"Iya ini sudah berdua, dengan Bang Adin.." Aku tersenyum manis. Lelaki yang kukagumi karena keramahannya ini memang selalu menjadi hiburanku tersendiri. Tetapi aku tetap ingat batasanku. Ia sudah bertunangan jauh sebelum keberangkatannya kemari.

"Yaahh.. Mira bisa ngamuk dengar ucapanmu barusan, Dik."

"Oh ya, Mbak Mira masih suka cemburuan kalau Abang dekat-dekat dengan saya?"

Bang Adin menggeleng. "Dulu. Sekarang dia malah kepengin berteman sama kamu. Kapan-kapan Abang main ke rumahmu ya, Dik. Mau cari sinyal."

"Hmm boleh. Tapi jangan panas-panasin Mbak Mira ya, Bang! Emangnya Anjani sales kompor apa," peringatku pada lelaki itu.

Dahulu pernah, kedekatanku dengan Bang Adin disalahartikan oleh Mbak Mira. Bukannya bingung bagaimana cara menjelaskan pada kekasihnya, Bang Adin justru memberikan bumbu-bumbu lainnya. Alhasil, marah besarlah Mbak Mira. Namun setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak. Seperlunya saja bila berinteraksi dengan Bang Adin.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang