BAB VIII

3.7K 339 14
                                    

2014, Binar Anjani

Aku duduk termenung di bawah sinar rembulan malam ini. Mencoba melupakan sosok lelaki yang entah mengapa selalu menatapku datar dan penuh dengan kebencian. Memangnya apa salahku? Aku merasa tak pernah berbuat salah terhadapnya. Sebaliknya, sikapku padanya selalu baik. Astaghfirullah... mengapa aku seolah mengungkit-ungkit kebaikanku pada orang lain?

Kutatap lagi buku catatanku. Satu halaman yang kugunakan untuk menulis puisi tentang kehidupanku di ujung negeri ini, belum juga usai.

Ratapan sendu, tak pernah lengah tersuarakan

Begitu merdu.. mengusik telinga para petinggi jabatan

*(By : Serinai Aksara / KerinAyyu)

"Ayo, Anjani! Berpikir untuk menulis puisi. Sebentar lagi memasuki minggu dimana Indonesia merdeka," ucapku pada diri sendiri. Kegiatan menulisku seperti ini memang kerap kujadikan ajang memaki diri sendiri. Terlebih lagi jika pikiran dan ideku buntu. Sudahlah.. ingin kubuang saja buku catatan di tanganku ini.

Srekk...srekkk..

Mendengar suara dari sebelah kiri semak-semak, membuat bulu kuduku merinding seketika. Meskipun aku tengah berada di depan rumah, namun suasana malam di sini berbeda dengan di tempat lain. Area depanku tepat menghadap pada gunung besar. Cukup gelap karena penerangan hanya ada di teras kecil rumahku saja.

Sreek..sreeekk..srekk..

Lagi!? Suaranya semakin menjadi. Aku yang tengah duduk di teras rumah dengan melipat kedua kakiku pun, kini mulai was-was. Kukenakan sandal rumahku. Mencoba melongok ke area depan. Siapa tahu ada hewan musang atau pun hewan-hewan lainnya yang menimbulkan suara di semak-semak.

Srreekkk...sreeekk..

"Siapa!?" teriakku. Bodohnya aku yang berteriak di dekat semak-semak. Memangnya hewan bisa menyahutiku. Ada-ada saja!

Ketika aku baru saja membalikkan badan dan berniat untuk masuk ke dalam rumah. Kulihat di lantai teras rumahku yang remang-remang cahayanya itu terdapat sebuah bayangan seseorang yang baru saja melintas menghadap ke arah gunung besar di depan sana. Astaga! Semakin ngeri saja..

"Anjani! Kenapa kamu berlarian di dalam rumah?" tegur bapak yang melihatku setengah berlari menuju kamar. Wajar jika bapak mengetahui gerak-gerikku, karena jalan menuju kamarku harus melewati ruang tengah. Dan, di ruang tengah itu juga bapak tengah duduk sembari menyesap kopi hitam buatan ibu. Tentu saja lengkap dengan acara TV berupa berita itu.

"Bapak.." Aku mengusap dadaku sendiri. Untungnya bapak ada di sini. Segera aku mendekat padanya. Kuapit lengan bapak. Seakan aku tengah bersembunyi dari sesuatu.

"Kamu ini kenapa?" tanya ibu yang baru saja menginjakkan kakinya di ruang tengah ini.

"Bapak..Ibu.. ada h-hantu di depan!"

Kedua orang tuaku terdiam. Kemudian kudengar tawa bapak meledak. Beliau pun beranjak dari ruangan ini untuk keluar. Tentu saja mengecek apa yang kuadukan barusan. Ibu mencubitku pelan, "sejak kapan ada hantu? Hmm? Biasanya malam-malam Ibu ajak kamu ke ladang pun, kamu ayo-ayo saja! Tidak ada begituan di sini, Anjani."

"Anjani tidak mengada-ngada Ibu! Tadi ada bayangan! Wujudnya seperti manusia.." Aku mengadukan apa yang masih kuingat dengan jelas. Perihal bayangan yang kulihat di lantai rumahku, tentu saja berkat adanya cahaya remang-remang itu.

Lamanya bapak tidak kembali. Aku khawatir. Ibu justru santai duduk sembari mengganti channel TV. Bagaimana sih ibuku ini?

Belum sempat aku menginjakkan kakiku hingga teras. Kulihat bapak tengah mengobrol dengan seseorang lelaki di teras. Aku mencoba mengintipnya. Takut-takut jika hantu itu tengah bernegosiasi dengan bapakku. Kutajamkan telingaku agar aku bisa mendengar meski terhalang kaca jendelaku ini.

Lelaki itu mengenakan jaket berwarna hitam. Potongan rambutnya.. sepertinya aku mengenal betul! Tidak asing. Siapa dia sebenarnya?

"..Anjani tadi mengadu pada Bapak. Katanya ada hantu! Hhhh anak gadis bapak itu. Selama hidup bertahun-tahun di belantara hutan seperti ini. Baru kali ini lhoo Bapak mendengarnya mengadu demikian, Pak Tentara."

Pak Tentara?

Siapa sebenarnya yang tengah duduk di sebelah bapakku itu?

Berarti bukan hantu? Mana mungkin bapakku memanggil hantu dengan sebutan "Pak Tentara".

Dan, kali ini sosok yang diajak berbicara oleh bapakku menoleh. Dari sinilah aku bisa sedikit lagi memaksakan mataku untuk menatapnya lebih jeli di bawah cahaya remang-remang yang ada di teras rumah.

"Mungkin dia terkejut. Saya pun tidak permisi dan mengucapkan salam atau sapaan, Pak. Saya meminta maaf apabila menimbulkan kegaduhan di rumah Bapak.."

Tidak salah lagi! Bang Alwi! Lelaki itu tampak menunjukkan raut wajah bersalahnya. Ya benar! Memang dia bersalah. Baru kali ini aku melihatnya menunjukkan raut wajah bersalah. Langka!

Andai kubawa ponselku tadi. Sayangnya, benda butut nan mahal itu masih tenang di kamarku. Mengisi dayanya!

Kulihat bapak mengibaskan tangan kanannya, "ahh..jangan meminta maaf Pak Tentara. Tidak ada kegaduhan di rumah Bapak. Oh ya, jika hendak mencari sinyal, di dalam juga masih lancar. Mari masuk.." tawar bapakku. Seketika itu juga aku meninggalkan tempat persembunyianku.

Bukannya apa-apa. Takut Bang Alwi menolak ajakan bapakku. Tahu sendiri bukan? Jika lelaki yang satu itu sangat anti denganku. Pantas saja tadi ia mengendap-endap layaknya hantu. Ternyata agar ia bisa mendapatkan sinyal..

Bang Alwi-Bang Alwi, kugelengkan kepalaku berkali-kali.

"Kamu kenapa, Anjani? Kesurupan?"

"Ibu.." geramku pada wanita yang santai duduk di depan TV tersebut.

Aku berjalan menuju kamar. Sengaja kututup saja pintunya. Aku tak mau menimbulkan suara. Biar dikiranya aku tidur saja.

"Anjani! Ambilkan minuman, Nak!" teriak bapak. Maafkan anak gadismu, Pak. Aku ingin membangkang kali ini.

Bukannya segera keluar kamar dan melaksanakan titah bapak. Aku justru menutupi seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Lalu, berpura-pura tertidur. Ajaib! Baru lima menit sudah tertidur, mungkin begitulah pikir ibu yang baru saja mengecek kamarku.

Sengaja tidak kukunci. Demi melancarkan aksi sandiwara dadakanku.

Dan, berhasil. Kudengar samar-samar.. Ibu-lah yang mengantarkan minuman kepada Bang Alwi dan juga bapak yang masih betah berbincang dengan lelaki itu. Aku diam dengan posisi yang sama, dibalik selimut.

Hingga aku tertidur pulas..

Sejenak.

Tak lama acara tertidurku itu. Aku lupa belum menunaikan ibadah sholat isya'. Kubangun dari tempat tidurku. Ketika aku menoleh ke arah jendela kamarku, di sana aku begitu terkejut ketika mendapati seorang lelaki tengah menatapku dingin. Ia berdiri tegap. Tangan kanannya memegang ponsel yang ia dekatkan di telinga. Sementara tangan yang satunya dimasukkan ke dalam saku jaket.

Bang Alwi.

Dia berdiri di sana.

Menatapku dengan tatapan dinginnya.

Tentu saja aku percaya diri ia menatapku! Lantas, apa yang ia tatap selain wajah cantikku bangun tidur? Memang jendela bisa mencuri perhatiannya! Salah apa jendela kamarku hingga ditatapnya dingin..

Tidak masuk akal.

Aku mencoba berkedip. Lalu beranjak dari posisiku berdiri. Sebelum itu, kututup tirai jendela kamarku. Aku tak mau ia melihat setiap kegiatanku di kamar kecilku ini. Enak saja!




***

Jangan lupa vote dan komen ya💚

Kira-kira gimana ya sudut pandang dari Bang Alwi?

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang