BAB XXXV

2.7K 256 22
                                    

Keputusan Terbaik, 2015. Alwitra Dwitama

Bertemu di luar kesatuan. Duduk semeja bersama sepasang kekasih, aku seperti orang ketiga. Waktuku untuk menjawabi segala pertanyaan Bang Feri. Untung saja ia tidak menghajarku. Mungkin karena Airin sudah menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

"Jadi, masih tetap mau melanjutkan perkenalan dengan pacar Abang?" tanyanya santai. Ia bahkan hanya sesekali melirikku, karena kulihat tangannya memainkan jari-jari mungil Airin. Sementara Airin sendiri asyik dengan ponse milik kekasihnya. Adegan romantis yang tidak tahu tempat. Tidak menghargaiku yang seorang diri ini. Seorang diri.

"Izin Bang. Tentu saja tidak."

"Kenapa?"

"Izin Bang. Kenapa apanya? Bukankah jawabannya sudah jelas. Mbak Airin kekasih Abang--"

"Kamu takut dengan saya, Wi? Jangan begitulah! Kita bisa bersaing sehat." Kali ini senyum Bang Feri mengerikan. Kedua alisnya bergerak naik turun. Napasku sempat tercekat sejenak karena ekspresi seniorku. Aku tahu, dia tenang saat ini. Tetapi di batalyon nanti, waallahualam..

"Izin Bang. Saya sama sekali tidak terpikirkan untuk mengenal Mbak Airin lebih dekat, seperti yang kedua belah pihak keluarga kami inginkan. Terpikirkan saja tidak, bagaimana bisa saya melanjutkan pengenalan ini? Jadi, jangan salah paham dengan saya. Begini singkatnya. Pertama, saya tidak tahu bila putri Budhe Ami itu Mbak Airin, kekasih Abang. Kedua, jelas saya mempunyai kriteria wanita sendiri. Ketiga, saya masih cukup waras untuk tidak merebut kekasih senior terbaik yang saya kenal." Aku mengulas senyum lebar sehingga menunjukkan gigi-gigiku.

Mendengar pujianku di akhir kalimat, baik Bang Feri maupun Mbak Airin sama-sama terkekeh. Bang Feri kemudian berkata, "Wahh.. mimpi apa Abang ini, Dik? Tak ada angin tak ada hujan, dipuji adik Abang.."

"Alwi, kamu yakin? Saya bisa loh memenuhi kriteria kamu?"

"Jangan cari penyakit, Mbak."

Lagi, keduanya terkekeh. Aku tahu, kedua orang di hadapanku ini tengah menggodaku. Sial! Sepasang kekasih ini senang membuatku kesal. Aku menghela napas kasar. Dengan raut wajah cemberut, kuseruput kopi susu yang telah dipesankan sebelum aku sampai di kafe ini tadi.

"Jadi, selain Mita. Apa ada bidikan lain, Wi?"

"Izin petunjuk, Bang."

"Abang nggak percaya kalau kamu cuman punya satu gebetan, Wi."

"Ya memang itu adanya Bang!" Spontan kujawab tanpa menggunakan tata cara berbicara dengan senior. Setelahnya aku langsung diam seribu bahasa.

Kudengar dengan kedua telingaku sendiri. Mbak Airin bergumam, "Anjani--"

"Apa!? Saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia Mbak."

"Ssssttt! Kamu berisik sekali, Wi! Ini saya mau menulis pesan untuk Anjani. Bukan mau menuduh kamu ada hubungan sama adik saya itu. Lagipula, mana mau juga Anjani sama kamu."

Ya sudah pasti maulah! Saya tampan! Berprestasi, baik hati, tidak sombong dan pintar pastinya.

"Makanya, jangan GR Wi! Kamu sih.. jadi ngambek 'kan pacar Abang."

"Siap salah, Bang."

"Ya sudah. Jangan melas gitu wajahmu, Wi! Nanti Abang kenalkan dengan cewek lain. Pramugari, Guru, Polisi, atau Kowad? Pilih, Wi."

"Yang penting sayang dan cinta dengan saya apa adanya Bang.." jawabku.

Benar bukan? Untuk apa memilih-milih wanita dengan berbagai kriteria? Sementara kita sendiri belum tentu dicintainya dengan tulus dan apa adanya. Zaman sekarang, maklum saja bila mencintai harus berbuntut. Maksudku.. aku hanya tidak ingin salah pilih wanita. Mereka bisa saja berucap mencintaiku. Namun apa aku tahu bila mereka hanya mencintai sesuatu yang melekat pada diriku? Misalnya, seragam, jabatan, pangkat, kekayaan. Sungguh.. semua itu tidak ada yang abadi.

Hari-hari berikutnya. Seusai pertemuan malam itu. Ternyata ibu mengetahui semuanya. Dari mana ibuku tahu? Tentu saja dari Airin. Wanita itu menjujurkan segalanya kepada ibuku. Sesama wanita mungkin akan lebih mengerti perasaan satu sama lain. Ibu paham, cinta tak bisa dipaksakan. Meski kedua belah pihak keluarga menginginkan kami untuk mengenal lebih jauh satu sama lain. Tapi kami cukup paham dengan apa yang terjadi selanjutnya. Pasti tidak jauh dari perjodohan.

Maka sebelum semuanya runyam. Keputusan yang dipilih oleh Airin sudah tepat. Meski aku dengar, setelah ia mencurahkan segala isi hatinya kepada ibuku. Ia ditegur habis-habisan oleh kedua orang tuanya. Tak apa katanya, sudah biasa. Apalagi ketika kedua orang tuanya lagi-lagi menyinggung tentang hubungan Airin dengan Bang Feri yang tidak akan mungkin bisa bersatu, karena keduanya berbeda keyakinan.

Aku diperintahkan ibu untuk mengantarkan pulang Airin sebelum kembali ke batalyon. Sehingga aku mendengar semuanya di teras. Cukuplah di sini batasanku.

Tak bisa kubayangkan seberapa kuat cinta mereka berdua. Sama-sama bisa bertahan meski berkali-kali kuyakin badai telah menerjang. Bang Feri dan Airin.

"Sudah, kamu pulang saja Wi.." kata Airin yang baru saja keluar dari rumah. Kulihat kedua matanya sembab.

"Mbak nggak apa-apa? Perlu saya panggilkan Bang Feri?" tawarku padanya. Mungkin disaat-saat seperti ini hanya Bang Feri yang bisa menenangkan wanita itu. Saat rumah bukan tempat ternyamannya. Pun kedua orang tua menekannya terus-menerus.

"Nggak usah, Wi. Saya baik-baik saja.." ucap Airin sembari tersenyum lebar.

Aku benci dengan topeng wanita. Selalu pandai menutupi segala laranya. Bila kedua orang yang di dalam rumah Airin itu bukan kedua orang tua Airin, sudah kupastikan malam ini juga terjadi pergulatan hebat. Aku juga tidak terima tatkala mendengar seniorku dihina. Padahal mereka belum mengenal baik siapa Bang Feri yang sebenarnya. Meski seringkali galak, tapi nyatanya Bang Feri adalah Abangku yang kerap menuntunku pada hal kebaikan.

Belum sempat aku melangkah pergi meninggalkan rumah Airin. Wanita itu bersuara kembali. "Bila kamu mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuaku tadi, tolong lupakan. Jangan beritahu Bang Feri ya, Wi.."

"Kenapa Mbak?" Aku penasaran dengannya. Meski aku sendiri pun juga sama sekali tak ada niat untuk mengadukan segala hal yang kudengar malam ini kepada abangku. Untuk apa? Tidak ada untungnya bagiku.

Airin tersenyum lagi. Senyum penuh luka pastinya. "Bang Feri bukan seorang lelaki seperti yang dikatakan oleh kedua orang tua saya. Saya yakin, dia orang baik. Disini masalahnya hanyalah tentang saya dan dia, kami yang berbeda keyakinan."

Aku hanya manggut-manggut. Tentu aku mengerti. "Ya sudah, Mbak. Saya pamit. Terima kasih.."

"Saya juga. Terima kasih sudah mengantar saya pulang. Maaf tidak mempersilahkan kamu masuk padahal kamu tamu di sini. Sampaikan perminta-maafan saya kepada kedua orang tua kamu."

"Tidak apa-apa, Mbak. Pasti saya sampaikan.." Kuulas senyumku untuk melegakan hatinya.

Malam itu pun menjadi malam yang cukup mengharukan. Aku dan Airin sama-sama merasa gagal menjadi seorang anak yang hendak membahagiakan kedua orang tua. Namun, baik aku maupun Airin. Kami sama-sama tidak ingin berlarut-larut menyalahkan diri sendiri.

Untuk apa membuang-buang waktu untuk menyalahkan diri sendiri, bila kita bisa memanfaatkan waktu untuk membahagiakan lagi.

Bila masanya tiba, aku akan bahagia. Penolakan bukanlah akhir dari sebuah harapan. Setelah mendung datang, tidak menutup kemungkinan ada pelangi dikemudian.

Melangkahkan kakiku meninggalkan pelataran rumah Airin. Hanya satu harapku, semoga hubungan ibu dan juga Budhe Ami tetap terjaga. Meski kami, putra-putrinya telah menolak untuk bersama.





***

Jangan lupa vote dan komen yaa💚

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang