BAB XXXVI

3K 304 27
                                    

Mei Mendung, 2015. Binar Anjani

Sejak satu minggu yang lalu, rasanya setiap suapan nasi yang masuk ke dalam mulutku terasa tak enak. Ini semua karena aku merasa tidak nyaman dan selalu khawatir. Bapak terpaksa dirawat inap kembali di rumah sakit Jayapura. Aku merasa kali ini semakin hari, kondisi bapak bukannya semakin membaik. Bapak yang semula masih bisa diajak mengobrol, kini mulai meracau.

Ya Allah.. bila memang engkau hendak membawa beliau ke surga-Mu. Maka bawalah segera. Kami telah ikhlas. Lebih baik bapak pergi dengan tenang dari pada harus merasakan kesakitan setiap harinya.

Ibu tak pernah berhenti mengadukan segalanya kepada Allah. Sholat pun beliau selalu di sisi bapakku. Menengadahkan tangannya. Do'a utama ibuku akhir-akhir ini tentang bapak. Cinta tulus ibu begitu terasa. Hingga aku kerap menitikkan air mata ketika mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an disela-sela kegiatan ibu menunggui bapak.

Pagi pun kembali menyapa. Kegiatan pagiku dengan ibu tidak jauh-jauh dari membersihkan tubuh bapak. Setidaknya orang sakit harus dijaga kebersihannya. Sumber penyakit bisa berasal dari kuman yang menempel pada tubuh. Meski kami kerap kesusahan karena tak jarang bapak melawan, tapi kami terus berusaha.

Aku memang tidak merasakan sesakit apa yang bapak rasakan. Tapi aku yakin, Allah tengah menggugurkan dosa-dosa bapak. Aamiin..

Pukul sembilan pagi, bapak mengeluh sakit pada jantungnya. Kali ini racauan tidak terdengar. Yang ada hanyalah hembusan nafas beliau yang tersengal-sengal. Dengan segera ibuku mendekat padanya. Membisikkan kalimat syahadat. Entah apa yang ada dipikiran beliau. Rasanya air mataku meluruh terus menerus. Bahkan ketika aku lari keluar ruangan ini untuk memanggil tenaga medis.

Sekembalinya aku bersama dokter dan dua perawat. Ibu duduk dengan tatapan kosongnya. Bapak? Beliau tidur..

Kubawa ibuku keluar ruangan agar dokter dan perawat lebih leluasa untuk menangani pasiennya. Di luar, ibu langsung memelukku. Kami berpelukan di kursi ruang tunggu. Ibu menangis sejadi-jadinya.

Tak lama kemudian, dokter pun keluar. Membawa kabar yang harus siap kudengarkan. Tentang bapak, beliau telah berpulang. Jadi, beliau tidak tidur. Akan tetapi pergi ke surga-Nya.

Tangisku dan ibu tak terbendung lagi. Kami berdua kembali masuk ke dalam ruangan tersebut. Selimut putih telah menutupi sekujur tubuh bapak.

"Ibu, cinta pertamaku sudah berangkat ke surga Allah. Do'akan putrimu agar ikhlas, Ibu.." Entah apa yang ada dipikiranku hingga bisa meracau padahal ibu sendiri tengah menangis dan enggan melepaskan pelukannya pada bapak.

Hari demi hari terlewati begitu saja. Sejak kepergian bapak, ibu memang masih terlihat murung. Masih belum terbiasa hidup tanpa cintanya. Bapak, cinta mati Ibuku. Beliau telah tiada lagi di sisi kami. Itu artinya, segala tugas bapak pun berpindah kepadaku. Termasuk menjaga dan membahagiakan ibu.

Meski bapak bukanlah bapak kandungku, tetapi aku merasa kehilangan lagi. Ya, lagi. Untuk kedua kalinya aku merelakan cinta pertamaku. Kata orang, cinta pertama hanya diperuntukkan untuk satu orang saja. Tapi bagiku, keduanya tak bisa menyandang nomor dua, bagiku--seorang putri.

"Ade, ko su makan?" (Adik, kamu sudah makan?)

Aku mendongak, kudapati sosok lelaki dengan membawa rantang makanan. Siapa lagi jika bukan Kak Devaryo. Aku mengulas senyumku, menggeleng. Tak napsu makan bila melihat ibuku yang berlarut-larut dalam kesedihan karena kehilangan bapakku.

Aku tahu, ini sungguh berat. Ibuku kehilangan cintanya untuk kedua kalinya. Pun juga aku. Sama.

"Ade, ko jang banyak melamun! Makan bersama e!" (Adik, kamu jangan banyak melamun! Makan bersama ya!)

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang