BAB LII (END)

8.9K 457 111
                                    

Balas, 2016.

Seumur hidup seorang Binar Anjani, tidak pernah sekali pun membayangkan akan menghabiskan waktu berdua dengan pria yang teramat sangat dicintainya setelah almarhum bapak—Alwi. Di atas sebuah gedung yang memang sengaja Alwi sewa untuk sekedar memberikan pemandangan terbaik dari sudut mana pun kota terhangat ini—Kota Solo. Alwi memberikan semuanya untuk sang pujaan hati. Sepertinya sebentar lagi Alwan—sang kakak sudah tidak akan bisa lagi berkata-kata atau bahkan mengejeknya. Tetapi maksud Alwi yang sesungguhnya bukanlah itu, melainkan haluan hatinya yang telah berbalik arah. Berlabuh pada tulus cinta kasih sederhana seorang Binar Anjani.

Gadis yang bahkan dahulunya selalu ingin ia cari-cari kesalahannya, selalu ia hindari hingga dicaci-makinya dari segi kekurangan yang sebenarnya merupakan kelebihan tersembunyinya. Anjani—gadis hebat yang akan tetap bersinar bila di tempatkan di mana pun. Di desanya—ujung negeri pun ia menjadi seorang tenaga pendidik yang cukup mumpuni dengan mengandalkan ijazah SMA-nya. Kini di kota, ia berhasil mendapatkan beasiswa mengenyam pendidikan kuliah hingga lulus nantinya. Hebat bukan gadis pilihan Alwi itu?

"Bang, saya capek. Kenapa tidak menggunakan lift saja sih?"

Bagaimana tidak capek, Bung? Naik via tangga darurat hingga tak terhitung kini keduanya berada di lantai berapa. Anjani bahkan tidak sempat menghitungnya karena terlalu lelah mengikuti langkah tegap dan penuh semangat pria di hadapannya itu.

"Sabar. Sebentar lagi sampai kok. Kalau kita naik lift, kita tidak akan tahu bagaimana lelahnya berjuang bersama. Ayo.." Alwi mengulurkan tangannya pada Anjani. Tentu saja disambut oleh gadis itu. Dengan senyum, ia berusaha yakin dengan ucapan Alwi barusan.

Tak lama kemudian, keduanya sampai di atap gedung yang telah dipersiapkan oleh Alwi sebelumnya. Anjani menganga tidak percaya dengan sepasang kursi di depan sana, di lengkapi pula beberapa pernak-pernik lampu-lampu kuning kecil. Gadis itu jadi teringat akan sesuatu.

"Bang?"

"Hm. Suka?"

"Suka. Jadi mengingatkan kita pada momen tahun baru di atap rumah sakit Jayapura."

Alwi menoleh pada Anjani dengan senyum lebarnya. Syukurlah, Anjani cukup cerdas membaca pesan tersirat yang sebenarnya bertujuan untuk mengingatkan gadis itu pada perdamaian mereka kala itu. Pun juga kala itu merupakan kali pertama bagi keduanya saling berinteraksi lebih dekat. Setelah sebelumnya hanya saling memandang dari kejauhan.

"Saya kira kamu lupa."

"Tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya. Kali pertama di mana saya bisa lebih dekat menatap pria yang selalu saja membangun benteng kokoh diantara kami—aku dan dia. Untuk kali pertamanya juga, saya merasakan jemarinya mengusap air mata kebahagiaan saya atas perdamaian kami—aku dan dia. Sungguh manis, namun setelahnya Tuhan justru memisahkan aku dan dia. Dia adalah pria yang kini berdiri di samping saya—Abang. Masih ingat, Bang?" tanya balik Anjani pada pria di sampingnya. Keduanya masih setia berdiri, mengabaikan sepasang kursi yang ditata saling berdapan dengan meja bundar kecil itu.

Justru mereka berdua lebih senang mengulang momen seperti saat di atap rumah sakit Jayapura. Berdiri bersebelahan sembari bersedekap memeluk diri masing-masing karena ternyata di Solo pun hawa juga dingin kala malam menjelang.

"Ingat. Keesokan harinya bagi saya sangat berat, Anjani. Apalagi tidak ada kamu yang melepaskan kepergian saya purna tugas di sana."

"Saya menjaga Bapak di rumah. Akan tetapi, saya pastikan senyum saya luntur bersama dengan mobil-mobil yang mengantar kepergian para pengabdi negeri yang akan pulang itu. Tapi tak apa, memang sudah saatnya mereka pulang kepada keluarga mereka masing-masing, pasti sudah sangat rindu ya?"

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang