BAB XIII

3.2K 308 16
                                    

Hukuman, 2014. Alwitra Dwitama

Atas ketidaksopanan yang aku buat. Akhirnya aku dihukum atas kesalahan yang sebenarnya aku sendiri tidak merasa. Sarkasmeku mungkin keterlaluan, tetapi aku benar bukan? Aku tidak salah ketika menegur gadis itu di sebuah forum musyawarah. Demi mementingkan kepentingan bersama, apa yang aku lakukan ini benar adanya!

Tetapi nahasnya, sesampainya di markas. Bang Feri langsung menghukumku untuk sikap tobat di lantai yang cukup keras materialnya itu. Kepalaku menjadi korban karena gadis itu!

"Abang bisa saja meringankan hukuman kamu. Sikap tobat satu jam saja, Abang rasa sudah membuat kepala kamu nyeri!"

"Siap salah, Bang!"

"Jelaskan sama Abang. Kenapa kamu membenci gadis itu? Abang rasa kata-kata pedasmu tadi tidak semata-mata karena ia melamun ketika kita semua tengah berunding. Ada hal lain bukan yang membuat kamu membencinya?" Kulihat dari posisiku yang kini telah bertumpu pada kepalaku. Bang Feri menyipitkan matanya, menyelidikku rupanya.

Dengan tegas kujawab, "Izin, Bang. Tidak ada alasan apapun membenci gadis itu! Saya hanya menegurnya. Wajar bukan? Dia bersalah!"

"Bangun!"

"Siap salah!" Aku masih mempertahankan posisiku. Mungkin titah Bang Feri barusan hanya sebuah jebakan maut. Gara-gara gadis itu, aku yang harus menanggung hukuman! Sial..

"Abang bilang apa!? Bangun! Kamu tuli!"

Akhirnya aku mengubah posisi sikap tobatku dengan sikap siap sempurna. Kedua tangan kuletakkan merapat pada sisi kanan dan kiri pahaku. Tatapanku lurus ke depan. Mencoba mengencangkan wajahku, biar nantinya aku tak terkejut ketika mendapat hadiah bogeman dari Bang Feri.

Tak kuhiraukan rasa sakit di kepalaku. Sungguh luar biasa. Tetapi sudah biasa kami (anggota) lakukan. Seperti ini salah satu konsekuensi apabila melanggar. Harus siap dihukum.

PLAK!!

Benar bukan? Tamparan tangan kokoh Bang Feri mengenai pipi kananku. Aku tak bergerak sedikitpun. Tetap berdiri dengan sikap siap sempurna. Kulirik di ujung sana, Bang Adin hanya geleng-geleng melihatku. Kuyakin, dia telah mengetahui alasan mengapa aku mendapatkan hukuman malam ini. Dari siapa lagi jika bukan dari Bang Anam--rekan Bang Feri yang tadi juga turut mengikuti rapat kecil itu.

Dwiki tak berani menjadi penonton. Takut mungkin bila akan disangkut-sangkutkan denganku. Dasar goodboy yang telah bertransformasi menjadi sadboy!

"Abang tidak bermaksud mengulik hal pribadimu. Terserah mau kau benci atau kau cintai gadis itu. Tidak penting juga bagi Abang! Tetapi, rubahlah sikapmu. Kita dan mereka juga sama, Dik. Sama-sama mengabdi di sini. Sikap saling menghormatimu dimana!? Tunjukkan! Jangan pernah sesekali memandang sebelah mata seseorang! Karena kamu tidak akan pernah tahu bagaimana seseorang itu di masa depan."

"Siap salah, Bang!"

Sedikit merinding mendengar perkataan Bang Feri yang menyinggungku tentang cinta dan benci. Apa-apaan ini? Jika benci sudah pasti. Tetapi cinta? Sungguh tidak masuk akal bagiku! Masih banyak wanita-wanita di luaran sana yang siap mengantri untuk bisa bersanding denganku. Jika aku bisa dengan mudah mendapatkan hati mereka, mengapa aku harus melirik gadis itu?

"Abang malu, Dik. Bagaimana bisa junior Abang sarkasme seperti itu? Apa yang Abang ajarkan selama ini tidak ada artinya!? Hah? Jawab!"

"Siap salah, Bang.." Kali ini nada yang kutunjukkan tidak sesemangat tadi. Aku merasa bersalah pada Bang Feri. Jarang-jarang sekali ia menghukumku karena sikapku ini. Biasanya ia hanya menghukum aku dan para lettingku karena sering kabur-kaburan. Kali ini sungguh berbeda rasanya..

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang