BAB VI

3.8K 358 2
                                    

2014, Alwitra Dwitama

Tak ada yang spesial malam minggu ini. Bang Feri membuat acara masak-masakkan kecil. Katanya demi merayakan malam mingguan di perbatasan. Padahal kemarin-kemarin baru saja aku diomeli. Katanya, "Kita ke sini bukan untuk berlibur..."

Nah, ini apa? Jama'ah.

"Nih.." Dwiki menyerahkan sepiring nasi goreng yang masih mengebul asapnya itu.

Sudah dapat dipastikan, nasi goreng dengan toping telur ceplok asal-asalan ini baru saja matang dari wajan dan langsung disajikan pada piring. "Nyuri dari acara Bang Feri ya? Bisa kena sikap tobat lhoo nanti.."

Bukannya bermaksud untuk menakut-nakuti Dwiki, tapi memang kenyataannya seperti itu. Bang Feri jika sudah masalah kesopanan dan melanggar aturan, tak akan segan-segan membuat kepala kami yang berambut tipis ini semakin penyet.

"Enak saja! Aku nggak nyuri, Wi. Masa tampang ganteng gini dibilang nyuri. Yang bener aja itu sensoring matamu."

Aku terkekeh kecil dan menerima sepiring nasi goreng itu. "Makasih goodboynya Dedek Lila."

"Apaan sih!?" Dwiki yang baru saja hendak duduk untuk makan di sampingku, tiba-tiba berdiri lagi.

"Hilang mood makanku, Wi."

Lah, salahku apa? Hanya dengan menyebut nama rekanitanya terus marah begitu? Benar-benar aneh. Tingkat keposesifannya bukan kaleng-kaleng si Dwiki.

Baru saja sesuap nasi yang telah kutiup itu masuk ke dalam mulutku. Pikiranku berkelana. Memang sih Dwiki tak lagi menyebut-nyebut nama Lila selama kami bertugas di sini. Ada apakah gerangan? Apakah cinta kandas karena ditinggal tugas ke perbatasan?

Kugelengkan kepalaku berkali-kali. Masa bodo dengan Dwiki. Toh, tampangnya tidak jelek-jelek amat. Bisalah nanti cari pendamping yang pengertian.

"Sendirian aja, Dik. Gimana kakimu? Masih perlu diurut nggak?" tanya Bang Adin yang baru saja memasuki kamar ini.

Kamar yang terdapat tiga buah tempat tidur berukuran kecil. Berisikan si goodboy—Dwiki, aku dan juga Bang Adin.

"Nggak, Bang. Sudah enakan kok. Besok juga saya bisa lari pagi.." Kutunjukkan cengiran khasku. Tak mau aku terlihat menderita karena kesleo di pergelangan kakiku ini. Bisa-bisa kejadian tadi sore terulang. Bagaimana tangan kekarnya Bang Feri mengurut kakiku yang kesleo ini. Beuhhhh.. mantap jiwa!

"Hei bocah! Sini! Ayo main sepakbola."

"Ok!! Siapa takut?"

Kucolek Bang Adin dan berbisik, "Izin, Bang. Namanya Reno. Anak SD yang tadi pagi saya gendong, Bang. Calon Perwira, Bang! Hati-hati."

Bang Adin sontak terkekeh. Semoga tatkala aku menaruh mimpi pada bocah itu dapat tergapai olehnya suatu saat nanti. Aamiin Ya Rabb..

Kamipun saling bermain di panas yang terik siang itu. Demi melepaskan kepenatan.

Lima belas menit permainan berlangsung, skor yang telah tercetak 2-1. Tentu saja timku yang paling unggul dari bocah-bocah ini. Kami memang bermain adil. Toh, Reno dan teman-temannya tak mau jika kami mengalah. Jadi permainanpun benar adanya. Mengandalkan skill masing-masing.

Hingga tiba saat dimana tanpa sengaja Reno membuatku jatuh tersungkur. Awalnya memang hal tersebut lucu. Semua orang tertawa. Termasuk aku sendiri bahkan. Apa salahnya membuat candaan kecil diantara kedua kubu yang saling beradu skill sengit ini?

Akan tetapi, sialnya. Tatkala aku menerima uluran tangan Reno. Kakiku tak dapat dibuat berdiri. Aku mengaduh sejadi-jadinya. Sempat menjadi tertawaan semua orang. Tapi mereka buru-buru sadar. Jika aku benar-benar kesakitan.

Bang Feri menghampiriku saat itu juga, "kesleo ini, Dik. Din, Dwiki! Nih bantuin angkut ke rumah."

Mendengar Bang Feri menyebut kata rumah. Hatiku bergejolak. Mengingat ibuku di rumah. Biasanya jika aku terkena cedera saat bermain, ibu-lah orang pertama yang akan mengomeliku habis-habisan. Lantas dilanjut dengan bujuk rayu bapak yang mengiming-imingiku dengan uang jajan. Tujuannya agar aku berhenti menangis saat itu juga

Ibu, Bapak memang tak pernah absen untuk kurindukan.

Mengingat tadi pagi hujan. Kini PDL-ku basah oleh lumpur yang masih menggenang. Kukibaskan sesaat tatkala Bang Adin dan Dwiki membantuku berjalan menuju rumah yang kami tinggali selama bertugas di sini.

"Om, mending bajunya dilepas. Diganti dengan baju yang baru. Aku ambilin boleh Om?" Reno yang juga ikut mengantarku hingga kamar mencoba inisiatif bertanggung jawab atas kesalahannya. Aku semakin kagum dan suka sekali dengan tingkah bocah yang satu itu.

"Iya. Tolong ambilkan. Lemari sebelah kiri."

"Oke."

Sementara itu, Bang Feri kembali memasuki kamar dengan membawa minyak urut yang entah ia dapat dari mana itu.

"Izin, Bang. D-dapat minyak urut dari mana Bang?" Gugup aku melihat wajah bringas yang hendak mencoba mengurut kakiku yang kesleo ini. Aku tak percaya dengan kemampuan mengurut Bang Feri.

Bang Feri langsung meletakkan kakiku di pahanya. "Sudah kamu diam saja."

"Aaarrggghhhh..I-zin Bang! Pelan-pelan Bang!!"

"Kamu sudah berani yaaa bentak-bentak Abangmu? Main-main kamu.."

1..2..3.. ia kembali mengurut kakiku. Sakit sekali rasanya. Usai menyiksaku, Bang Feri beranjak tatkala ada panggilan telepon dari atasan. Kali ini aku selamat!


***

Next? Vote dan komen yaa :)

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang