BAB XXXVIII

2.7K 303 19
                                    

Kembali Jumpa, 2016. Binar Anjani

Satu tahun berlalu..

Terhitung sudah sejak beberapa bulan yang lalu kami—aku dan ibuku pindah ke Kota Solo untuk memulai lembar kehidupan baru. Membawa semua kenangan almarhum bapak yang selamanya akan kami kenang penuh dengan cinta yang dibalut rasa rindu. Berbicara tentang kerinduan, jangan ditanya! Setiap malam jum'at aku merasa seperti tengah memeluknya kala kukirimkan do'a untuknya yang telah tenang di surga-Nya.

Seperti malam ini, usai menunaikan sholat magrib. Kusegerakan mengirim do'a untuknya. Setidaknya, hanya dalam do'a aku leluasa mencurahkan rasa rinduku padanya yang telah pergi untuk selama-lamanya.

Dalam tenang dan cahaya temaram kamarku ini, aku menengadahkan tangan kepada-Nya. Memohon ampun atas segala dosa-dosa bapak selama di dunia ini. Hingga usai pada lantunan bait terakhir do'aku, samar-samar kudengar di depan ibu tengah berbincang dengan seseorang. Aku segera melipat mukena putih yang kupakai tadi, dan menyambar jilbab instan. Rasa penasaranku akhirnya terjawab. Ternyata tamu yang tengah berbincang dengan ibuku di teras rumah malam-malam seperti ini tak lain dan bukan adalah Mbak Airin—salah satu orang yang berjasa dalam hidupku. Karena Mbak Airin juga aku bisa berkuliah di kota ini dan memulai lembar kehidupan baru di sini.

"Eh kebetulan banget Anjani sudah datang! Baru saja mau Mbak samperin ke kamar kamu. Sudah selesai kirim do'anya?"

Aku mengangguk. Jujur saja aku curiga dengan kedatangannya malam ini. Ada apakah gerangan hingga malam-malam seperti ini bertandang ke rumahku?

"Bu, boleh 'kan?" tanya Mbak Airin pada ibuku yang langsung mendapatkan anggukan dari ibuku.

Drama apalagi kali ini, Mbak Airin?

"Yuk, antarin Mbak beli buku materi kuliah! Kamu ganti baju dulu gih!"

"T—tapi, 'kan Anjani belum bilang IYA, Bu.." kataku memelas pada ibu, karena aku merasakan perasaan yang tak biasa. Satu nama terlintas dibenakku ketika Mbak Airin malam-malam seperti ini tiba-tiba datang menemuiku.

"Sudah, Nduk. Kamu antarkan saja ya? Kasihan, malam-malam seperti ini. Masa kamu tega sama Mbakmu sendiri?"

Baiklah. Kali ini aku berbaik hati pada Mbak Airin dan mengesampingkan perasaan tidak enakku ini. Kuganti baju rumahanku dengan rok plisket panjang dan kemeja yang panjang bermotif bunga. Tak lupa jilbab segiempat yang membalut rambutku.

Syukurlah, Mbak Airin memang benar mengajakku ke toko buku malam ini. Ada untungnya juga mengantarkan Mbak Airin membeli buku. Aku bisa sekalian cuci mata! Toko buku sebesar ini membuatku lelah berkeliling. Untung saja tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Mbak Airin menemukan buku materi kuliah yang dicarinya. Mbak Airin memang selama ini masih sangat gigih memperjuangkan pendidikan S2-nya. Apalagi sekarang ia sudah serumah dengan ayah dan ibunya. Bagaimana semangatnya akan luntur bila setiap hari vitaminnya dekat?

Belum lagi vitamin dari Bang Feri yang kuketahui selama ini hubungan mereka sudah berjalan setengah tahun, setelah Bang Feri memberikan kejelasan pada hubungan mereka berdua.

Tentang manusia menyebalkan—Bang Alwi. Kalian rindukah kabarnya? Aku juga. Eh.

Sejak pertikaian kecil kami melalui panggilan suara kala itu, hingga detik ini aku tak lagi mendengar kabarnya. Entahlah, aku juga tidak berniat bertanya pada Mbak Airin. Takut terjadi salah paham dan membuat Bang Alwi kembali membenciku seperti dahulu. Karena hatiku seakan merasa, meskipun kami sudah berbaikan..nyatanya ia masih belum nyaman denganku.

Lantas bagaimana dengan perasaanku? Aku sendiri juga tidak tahu.

Rahasia terbesar yang hingga detik ini belum kuceritakan pada Mbak Airin adalah tentang suatu hari dimana untuk pertama kalinya aku bertemu lagi dengan Bang Alwi! Bagaimana bisa? Bisa! Saat aku baru saja turun dari ojek online yang mengantarkan aku ke universitas tempatku menuntut ilmu. Di sekitar depan universitasku, kulihat Bang Alwi tengah berbincang akrab dengan salah seorang mahasiswa di sana. Seorang pria! Kuyakin, mereka berdua bersahabat karena sangat akrab. Saat itu juga Bang Alwi tidak sedang mengenakan baju lorengnya. Ia hanya mengenakan celana training panjang berwarna hitam dan kaos berwarna hitam polos. Siapa yang menyangka bahwa pria berbaju sederhana itu menyembunyikan identitasnya? Bahkan hal tersebut sampai membuatku tidak fokus mendengar dosen yang tengah menjelaskan materi kuliah kala itu.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang