BAB XLVIII

3K 293 30
                                    

Keyakinan yang Mengantarkanku, 2016. Binar Anjani

Entah siapa yang lebih dulu memulai. Yang jelas, aku sangat bahagia diajaknya berkeliling kota. Berdua, bersamanya..aku duduk di jok belakang motor yang kini tengah dikendarainya melewati tiap kemerlapnya lampu-lampu kuning perkotaan. Indah. Sangat. Apalagi berdua dengannya. Meskipun belum ada sepatah kata lagi yang mampu kuucapkan padanya, tetapi dengan perbuatan manisnya ini, aku merasa semakin yakin dengan tekadku. Kalau pun nantinya belum mendapatkan balasan, bila ia memberikan peluang untukku berjuang, maka aku akan tetap menunggu. Bagaimana? Caraku mendapatkan hatinya sungguh berkelas bukan?

"Mau arum manis?" tawarnya padaku yang masih setia menikmati hawa dingin yang menerpa sekujur tubuhku malam ini. Padahal aku mengenakan setelan serba panjang, akan tetapi dinginnya masih sangat terasa. Apa kabar orang-orang di sekelilingku yang tampak biasa saja mengenakan setelan minim?

Aku mengangguk dan mengulas senyum manisku di balik helm yang kukenakan ini.

Tak lama kemudian, ia menghentikan laju kendaraan motor yang dikendarainya itu di sebuah pedagang arum manis. Aku suka caranya yang sederhana membahagiakanku. Karena secara tidak langsung, ia sudah benar-benar berdamai dan melupakan segala kenangan buruk yang dahulu sempat kami berdua lalui di ujung perbatasan negeri.

"Ini.." Tangannya memberikanku sebuah arum manis berwarna merah muda yang masih cukup besar bentuknya itu. Aku yakin betul bahwa arum manis ini baru saja dibuat, makanya bentuknya masih tertata apik.

Kami berdua pun kembali mendudukkan diri kami di sebuah kursi yang terdapat di pinggiran taman. Banyak pula di sekeliling kami, muda-mudi yang saling bergurau ria. Aku tahu, tempat kami berdua singgah ini bukanlah tempat yang sunyi. Akan tetapi, bolehkah aku mengukir sejarah di tempat ramai ini? Kuharap, bahagia menyambutku setelah ini.

"Bang?"

"Hm." Ia masih fokus pada arum manis di tangannya. Sementara aku masih tak puas memandang wajahnya yang entah mengapa sangat menggemaskan itu. Sosok prajurit gagah yang duduk di sampingku ini benar-benar terlihat seperti anak muda pada umumnya. Ia masih sangat suka arum manis bahkan. Haha! Benar-benar mungkin tidak akan ada yang tahu bahwa lelaki yang tengah bersamaku ini adalah seorang aggota prajurit yang tengah menikmati liburnya di malam minggu.

"Kenapa kamu lihat saya terus? Terlalu tampan ya?"

Aku terkekeh dibuatnya. "Sejak kapan Bang Alwi sepercaya diri ini? Benar-benar bukan sosok Alwitra Dwitama yang dingin dan kaku," sindirku menjujurkan segala sikapnya padaku selama ini.

Memang benar bukan? Ia sangat dingin dan kaku. Jarang tersenyum, irit bicara, pokoknya semua yang jelek-jelek selalu disuguhkan padaku.

"Penilaianmu itu salah, Anjani. Saya tidak dingin pun juga tidak kaku."

"Oh ya?"

"Hm."

"Tidak ingin bertanya alasan saya mengajak Bang Alwi untuk bertemu? Atau Bang Alwi ingin tahu lebih dulu tentang mengapa saya mengirimkan pesan-pesan kecil itu?" Karena menunggunya bertanya terlalu lama dan sudah pasti akan menghabiskan waktu, maka dari itu akulah yang lebih dulu menawarkan sebuah tanya. Mungkin saja ia tertarik setelahnya untuk bertanya.

Satu detik.

Dua detik.

Hingga satu menit, tak kunjung ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.

Baiklah..

"Kenapa?"

Secerca harapan itu kembali ada. Hanya satu kata, tetapi sangat membangkitkan segala semangatku yang masih tersisa ini.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang