BAB XII

3.5K 314 23
                                    

16 Agustus, 2014. Binar Anjani

Perasaanku tak enak ketika Mbak Airin dengan gamblangnya membahas perihal obrolannya yang cukup lama kemarin bersama Bang Feri. Ya, komandan yang kujuluki pecinta wanita itu ternyata meminta Mbak Airin untuk mengikut sertakan para anggotanya. Bergabung dalam rangkaian meramaikan perlombaan agustusan.

"Mbak Airin, kenapa mereka mau ikut sih? Terus Mbak ngizinin begitu?" kesalku sembari menunjukkan bibirku yang cemberut bebek.

Dengan santainya Mbak Airin yang sore ini tengah duduk membersamaiku di halaman rumah, mengangguk. Seraya menunjukkan senyum berdosanya kepadaku, "salah ya, Anjani? Bukannya malah bagus. Mereka bisa berbaur dengan kita."

"Ya berbaur sih berbaur, Mbak. Cuman.." tanggapanku yang menggantung seketika mengundang rasa penasaran Mbak Airin. Gadis bergamis cokelat itu memandangiku tanpa berkedip.

"Cuman apa?" Tatapan Mbak Airin menyipit kepadaku. Menyelidik, sudah pasti.

Aku berusaha mengembalikan raut wajahku seperti semula, "cuman nggak enak saja. Sungkan, Mbak. Takutnya dikira kita yang merepotkan mereka."

Mbak Airin mengibaskan salah satu tangannya di depan, "aah ya nggaklah, Anjani. Ini yang menawarkan diri langsung Komandannya. Mbak sungkan malahan kalau menolak."

Ya jelas. Bang Feri uhuk-uhuknya sama Mbak Airin!

Dalam hati aku mendumel tentang sosok Bang Alwi yang sudah jelas-jelas tidak pernah menyukaiku. Bukannya aku terlalu percaya diri. Hanya saja, semua tingkah yang ditunjukkan oleh lelaki itu kepadaku tidak pernah ada bagusnya!

Bukan maksudku membenci balik. Bukan. Aku hanya tidak ingin mempunyai urusan dengannya. Apalagi mendengar bahwa mereka mungkin juga beberapa akan membantu menjadi panitia. Perasaanku semakin tidak enak saja. Mengingat Bang Feri juga merupakan salah satu bagian dari grup empat serangkainya itu. Sudah dapat dipastikan bahwa Bang Feri akan menggeret Bang Adin, Bang Dwiki dan terakhir yang paling aku hindari. Bang Alwi!

Rupanya, perkataan Mbak Airin tadi sore bukanlah sebatas bercandaan semata. Pukul tujuh malam ini, aku dan kedua rekanku yang merupakan tenaga pengajar di desa ini berkumpul dengan dua perwakilan dari anggota tentara yang bertugas di sini. Salah satunya Bang Feri, selaku komandan yang aku ketahui. Serta salah seorang temannya.

Memanfaatkan ruangan balai desa yang disediakan oleh bapak kepala desa langsung. Letaknya yang berada di tengah-tengah membuat tempat ini dinilai selalu adil apabila dijadikan tempat berkumpul. Kami semua cukup lega dapat menggunakan ruangan kecil ini sebagai tempat untuk melangsungkan rapat kecil tentang peringatan hari kemerdekaan ini. Rapat kali ini memang tidak dihadiri oleh bapak kepala desa, karena beliau berhalangan hadir. Sebagai gantinya, beliau menitipkan pesan kepada keponakannya. Mbak Airin.

"....Bapak kepala desa menyampaikan permohonan maafnya karena beliau berhalangan hadir. Saat ini beliau tengah menghadiri rapat di desa sebelah."

Semua orang mengangguk. Aku cukup lega ketika melihat di sekitar tempat Bang Feri duduk, tidak kudapati wajah Bang Alwi. Untung saja anggota yang satu itu tidak mengikuti rapat kali ini. Mungkin ia menghindariku. Terserah.. aku tak mengharapkan kehadirannya juga di sini.

Bang Feri mulai membuka rapat malam hari ini. Hingga tiba pada pembahasan mengenai hari esok. "Jadi, apakah tidak keberatan apabila upacara dilaksanakan di satu tempat? Maksud saya, saya ingin upacara anak-anak sekolah nanti dijadikan satu dengan upacara kami bersama beberapa warga."

Mbak Airin mengulas senyumnya. Lalu menatapku sebentar. Aku masih tidak mengerti. Maka cukup diam saja menyimak kedua orang yang patut kusebut pemimpin dalam bidang masing-masing itu saling bertukar pendapat. Tentu saja demi kebaikan bersama. Aku sangat tahu sikap Mbak Airin. Wanita itu selalu bijak. Mungkin juga karena Mbak Airin telah resmi menyandang gelar sarjana.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang