Suara, 2015. Alwitra Dwitama
Kekesalanku benar-benar memuncak. Sehingga aku lupa bila ia tengah berduka. Kubaca sederet pesan terakhirku padanya. Yang tak bisa kutarik, ini bukan pesan modern yang bisa ditarik! Dasarnya gadis desa. HP jadul pun masih dipertahankan hingga kini. Masyaallah sekali Anjani itu!
Sent to ANJANI : Tombol angkat telepon kamu rusak? Lembiru, Anjani!
Aku juga tidak tahu mengapa memberi nama kontak Anjani menggunakan huruf kapital semuanya. Sebenarnya apa masih ada dendam yang tertinggal di hatiku?
"Wi, kamu sudah kelewatan ya? Dia sedang bersedih hloo...bukannya menghibur malah menyinggung!"
"Ya mau gimana lagi? Nggak bisa ditarik, Ki. Ini 'kan pesan biasa, yang cuman ada pilihan hapus pesan dan kembali!" jawabku memberikan juga beberapa alasan yang memang benar adanya.
Dwiki hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Ia sudah hapal bagaimana sikapku selama ini kepada Anjani. Tapi, satu hal yang selama ini masih kusembunyikan dari Dwiki. Tentang malam tahun baruku bersama gadis itu. Tentang genggaman tangan dan perdamaian kami di atap rumah sakit di Jayapura kala itu.
Baru saja aku hendak memulai bermain game online. Dwiki dengan seenaknya justru merebut ponselku. "Ki!?"
"Kamu belum coba telepon Anjani hari ini 'kan? Apa kamu tidak khawatir dengan dia? Kasihan, Wi..dia sedang berduka. Tunjukkan sikap kemanusiaanmu, Wi."
"Kita nggak lagi dalam acara bansos, Ki."
"Nggak ada otak memang kamu, Wi."
Setelah perdebatan kecil itu. Terdengar nada sambung dari ponsel milikku. Jadi, Dwiki benar menghubungi gadis itu? Seketika aku berseru, "Kenapa nggak kamu sendiri aja yang telepon dia? Kamu juga punya nomor pribadi 'kan, Ki!?"
"Nggak bisa! Aku lagi dalam masa kembali sama Lila. Kalau dia tahu aku macam-macam. Kandas sudah Wi kisah cintaku.."
"Halo Assalamu'alaikum.."
Suara itu milik Anjani. Aku hendak melarikan diri dari kamar ini. Namun, kulihat Bang Feri baru saja tiba. Saat itu kulirik Dwiki berbisik dengan Anjani, untuk memberitahukan bahwa jangan bersuara. Baiklah.. niatku kabur tertunda.
Seperti biasa, Bang Feri mengecek kamar kami--para bujang. Memastikan seluruh anggota lengkap. Tidak ada yang melarikan diri. Dan, memberikan perintah yang tidak bisa dibantah yakni istirahat. Mengingat besok kami masih harus melakukan berbagai kegiatan. Apalagi melakukan pelepasan senior kami beserta keluarganya yang akan pindah kesatuan.
Selepas kepergian Bang Feri. Langkah kakiku yang baru saja dua langkah itu harus terhenti karena Dwiki dengan sialnya membuka suara. "Mau kemana, Wi? Nggak dengar tadi Bang Feri bilang apa? Nih, ponselmu! Aku mau tidur."
Kuterima ponselku yang diulurkan oleh Dwiki. Awalnya biasa saja. Tetapi ketika aku menata bantal dan hendak memposisikan tubuhku untuk tidur. Tak sengaja jariku menyentuh layar ponsel yang baru saja kuletakkan di samping bantal. Jadilah layar tersebut menyala.
Betapa terkejutnya aku ketika masih berada dalam panggilan suara bersama ANJANI!
Hendak kumatikan tetapi di seberang sana ia lebih dulu berujar, "Bang? Masih di sana?"
Akhirnya aku yang harus mempertanggung jawabkan panggilan suara malam ini. Ya, beginilah. Dwiki yang berulah, aku yang kena getah!
"Halo, ini saya."
"S-saya siapa?"
"Ya kamu Anjani. Saya Alwi."
Dan kita sudah damai.
Kucoba menghela napas sembari mengingat-ingat momen dimana aku dan Anjani berbaikan. Ahh.. bukan. Akulah yang mengakui sebuah kebenaran. Dan, aku tak lagi memandangnya dengan kebencian. Kala itu di atap rumah sakit Jayapura. Kenapa aku justru mengingat momen itu?
Sudahlah..
"Oh Bang Alwi. A-ada apa?" Aku membayangkan wajah Anjani ketika gugup. Bahkan setelah berbaikan denganku pun ia masih saja gugup berbincang denganku. Apa kukerjai saja ya?
"Kenapa kamu tanya saya!? Ya saya yang seharusnya tanya kamu. Kenapa bisa ada panggilan suara di ponsel saya? Kamu telfon saya Anjani? Ada perlu apa?"
"Wi, bisa nggak telfonannya di luar? Berisik," tegur salah seorang lettingku yang merasa terganggu. Dengan segera aku bangkit dari kasur bujang ini. Lalu, berjalan keluar kamar. Kuabaikan tentang perintah Bang Feri tadi. Maaf Bang, mengerjai Anjani tidak bisa ditunda. Tapi kupastikan besok siap.
Di luar, aku mencari tempat duduk yang nyaman. Semoga nyamuk anti dengan darah prajurit sepertiku.
"Halo?"
Tak mendapati jawaban dari Anjani. Kulihat ponselku sejenak guna memastikan panggilan suara ini belum berakhir.
Ternyata memang belum berakhir. Tapi orang di seberang sana memilih diam. "Halo, Anjani!?" lantangku bersuara hingga terdengar suara helaan napas orang di sana.
"Ya Bang?"
"Jadi.."
"Saya tidak menghubungi Bang Alwi. Tadi nomor Bang Alwi yang memanggil. Kalau memang tidak ada yang perlu dibicarakan, saya tutup. Selamat malam--"
"Nggak bisa gitu dong! Saya sudah mempertaruhkan diri saya dan juga letting saya. Lalu, kamu mau menutup panggilan suara ini begitu saja? Sungguh terlalu kalau kata Bang Rhoma, Anjani.."
Kekehan kecil di seberang sana nyatanya juga mampu membuatku tersenyum kecil di sini. Anjani, untuk pertama kalinya ia terkekeh setelah aku mengetahui kabar berpulangnya bapak tiri gadis itu. Syukurlah bila ia bisa sedikit terhibur dengan candaan yang sama sekali tidak pernah ada skripnya ini.
"Bang Alwi tumben banyak bicara."
"Kalau saya nggak banyak bicara, kamu menganggap saya masih musuhin kamu. Kalau saya banyak diamnya berarti tidak se-frekuensi. Paham?"
"Oh oke. Berarti sekarang kita satu frekuensi Bang?"
Aku mendelik seketika. Sepertinya aku sudah salah berucap tadi. Aku dan Anjani? Satu frekuensi? Astaga..
"Nggak. Kata siapa!?"
"Kata Bang Alwi barusan. Salah lagi?"
Tak mampu berkata-kata lagi. Aku hanya terdiam sembari mendengar ocehan selanjutnya dari Anjani. "Memang Bang Alwi itu 'selalu benar'-nya sejajar dengan wanita. Ya sudah. Selamat malam, Assalamu'alaikum.."
Kujawab, "Waalaikumsallam."
Anjani marah?
Ya terus kenapa kalau dia marah? Toh, tidak ada urusannya denganku. Lebih baik aku kembali ke kamar dan beristirahat sebelum tertangkap basah oleh Bang Feri. Satu kena, semua kena getahnya! Itulah kehidupan nyata kami, prajurit.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]
RomanceKisah Binar Anjani yang tanpa sadar mengagumi sosok Alwitra Dwitama. Kekagumannya tersebut lantas berujung pada rasa cinta dalam diam. Keduanya terpisahkan karena tugas Alwi telah usai. Hingga Tuhan kembali mempertemukan lagi keduanya di kondisi y...