BAB XLVII

2.9K 282 28
                                    

Inajna yang Sebenarnya, 2016. Alwitra Dwitama

Rasa penasaranku pada sosok wanita misterius bernama Inajna semakin menjadi saat kubaca sticky note berwarna merah muda yang dikirimkannya tadi pagi. Meskipun lagi-lagi hanya tertempel di depan laci lemariku, aku cukup berhasil dibuatnya semangat menjalani latihanku hari ini. Sore ini kurelakan hujan-hujanan menerobos gerimis yang ternyata tak setenang kenangan, eh. Sukses membasahi jaket yang menutupi seragam lorengku ini. Ya, malam minggu. Belum malam sih, sebut saja sabtu sore.

Seperti biasanya, jangan pernah bosan dengan kata 'malam minggu', karena hanya pada malam itulah aku bisa menghirup udara segar di luar kandang!

Cukup bahagia kulihat diriku di pantulan kaca. Aku telah rapih mengenakan kaos putih yang kulapisi dengan kemeja berwarna hitam yang kulipat lengannya. Tak lupa kupasangkan dengan celana jeans berwarna hitam. Tatanan rambut cukup disisir rapih saja. Lagipula sejak 'dirapihkan' oleh para seniorku—katanya sebagai hadiah, rambutku sudah cukup indah. Saking indahnya aku sampai merasa tatanan kali ini bukanlah gayaku. Baiklah tidak apa-apa, tidak masalah, memang begitulah hidup di kelilingi oleh para senior yang begitu menyayangi adik-adiknya.

"Le, tumben sudah rapih? Mau kemana memangnya?" tanya ibu yang kebetulan melihatku.

"Ya biasalah, Bu! Paling juga Alwi nongkrong!" sahut Bang Alwan yang sudah pasti berada di depan sana mengurusi burung-burung peliharaannya. Ingin sekali kulepaskan semua burung-burung peliharaannya. Saking kesalnya aku pada kakak laki-lakiku itu. Bayangkan, kalian sebagai kaum jomlo..tidak pernah dihargai dan justru diolok-olok oleh saudara kandung kalian sendiri. Menyebalkan.

"Ya enggak apa-apa dong, Bang! Namanya juga usaha mengalihkan hati yang pupus..eh."

Melihat ibu membelaku, meski diakhir beliau sempat mengejekku. Tetapi kekehan beliau sungguh membuatku gemas dan ingin kembali menjadi seorang anak kecil. Yang masih bisa bermanja-manja setiap waktu, dibelai dan ditunggui setiap hendak tidur. Ah semua masa itu sudah lewat.

Memangnya masih ada prajurit gagah yang masih bermanja pada ibunya? Yang ada, negara mencoreng prajurit tersebut dari daftar nama panggilan akan sebuah pengabdian. Haha..

"Sudahlah, kejar kebahagiaanmu sendiri, Le. Mita sudah bahagia. Lalu, kapan kamu mengejar bahagiamu? Pertama, ikhlaskan. Kedua, mencoba membuka hati. Ketiga, atau jalan terakhirmu adalah menerima siapa pun yang bersungguh-sungguh—"

"Sudah ya, Bu. Alwi berangkat. Sudah ditunggu.." potongku kemudian mencium tangan kanannya.

"Ingat pesan ibu! Lupakan yang memang bukan tercipta untukmu! Masa putra ibu gagal move on!" seru beliau yang masih dapat kudengar hingga garasi rumahku. Aku memilih motor sebagai kendaraanku malam ini.

"Ibu tahu istilah move on dari mana!?" Suara abangku menggema, mengalahkan suara motor yang masih kupanaskan mesinnya ini. Entahlah, sepertinya mendengar kelanjutan obrolan mereka akan menghiburku sebelum senam jantung karena deg-deg-an hendak bertemu dengan penggemar rahasiaku.

Ibuku menjawab, "Dari Salma! Katanya, kalau kamu nggak gerak cepat, dia mau move on saja!"

Tawaku meledak. Setelahnya kulajukan motorku ini melewati gerbang rumah terhangatku itu. Begitulah ramainya rumah saat Bang Alwan juga pulang. Kami berdua selalu berharap bahwasannya semoga saja kami selalu bisa berkumpul hingga tua nanti berdinas di daerah yang dekat dengan rumah, agar sesekali dapat menghidupkan suasana rumah seperti sore ini. Semoga saja..

Kutunggu ia di tempat yang telah diberitahukannya padaku. Kali ini aku benar-benar sendirian. Tanpa Dwiki, sudah pasti tak akan renyah tertawaku. Sebelumnya telah kubujuk ia untuk tidak mengikutiku. Aku bosan diikutinya kemana-mana. Akan tetapi, ketika tak bersamanya justru aku merasa kehilangan. Sebenarnya, apakah ini yang dinamakan sebuah pertemanan yang sudah mendarah daging menjadi persaudaraan? Kami tak sekedar letting, akan tetapi sudah seperti saudara sekandung. Kubaca ulang kertas kecil yang kini di tanganku itu. Entahlah, mengapa aku sesenang ini hingga selalu membawa kertas-kertas kecil yang kerap kulipat dan kusimpan di sakuku itu.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang