BAB L

3.4K 310 40
                                    

Rumah, 2016. Binar Anjani

Di hari libur seorang Prada Alwi berikutnya-waktunya untukku. Ya, sebut saja seperti itu. Dikirimi sebuah pesan singkat olehnya seakan baru saja memenangkan sebuah doorprize! Terkejut. Ini kali pertamanya bagiku bertemu kembali dengannya saat ia mengajakku untuk menjalani semua ini. Menjalani.. Hanya itulah kata yang tepat yang bisa menggambarkan hubungan kami berdua. Tidak digantung pun juga diyakinkan sepenuhnya. Entahlah..

Ia menjemputku, tak lupa juga berpamitan baik-baik pada ibuku untuk mengajakku makan malam di rumahnya. Bilangnya makan malam, tetapi menjemputku sore hari. Ini pasti karena keantusiasan ibu Bang Alwi-Bu Wika. Aku suka dengan sosoknya yang ramah dan membaur begitu saja. Tak ada rasa canggung antara aku dengan beliau. Berbeda cerita bila antara aku dengan putranya ini.

"Cantik banget, mau kemana sih!?" tanyanya sedikit mengeraskan suara karena kami ini sama-sama mengenakan sebuah helm.

Jujur. Meskipun tidak langsung terang-terangan memujiku, ia mengatakan bahwa aku cantik. Ya Rabb, sepertinya aku membutuhkan dokter telinga.

Kuulas senyum lebarku dibalik helm yang kukenakan. Tentu saja ia tak akan pernah melihatnya.

"Pasti kamu senyum-senyum." Lagi. Ia menebak ekspresiku yang benar begitu adanya. Memang susah ya bila sudah berhadapan dengan pria yang hidupnya selalu penuh dengan sebuah kebenaran. Sepertinya sia-sia saja aku mengungkapkan perasaanku padanya, karena pada kenyataannya ia sudah lebih dulu tahu semuanya.

Cenayang lewat.

"Nggak! Biasa saja!"

"Aku nggak lagi tebar gombalan ya, Anjani! Fakta."

"F-fakta apa!?"

Kami berdua masih saling mengobrol di atas motor dan juga bersoundtrack kendaraan di samping kiri dan kanan, maka mengeraskan suara merupakan cara satu-satunya agar kami berdua saling mendengar satu sama lain.

"Kamu cantik sore ini!"

Aku iseng bertanya, "Hanya sore ini saja!? Rugi dong dandannya nggak sampai malam! Tahu gini, aku bawa seperangkat alat makeupku tadi!"

"Nggak usah! Kayak mau lamaran aja!" Kulihat dari spion yang tepat memantulkan bayangan wajahnya di balik helm berwarna hitam itu, wajahnya datar kembali. Ah, belum puas rasanya bila belum memancing emosi seorang Alwitra Dwitama sore ini. Apalagi setelah satu minggu lamanya kami berdua tidak berjumpa dan jarang sekali bertukar pesan.

Sibuk dengan urusan negara prioritasnya-aku ingatkan kalau kalian lupa.

"Besok-besok saya bawa tas yang lebih besar ya, Bang!?"

"Buat apa!?"

"Buat bontot lipstick, bedak-"

"MAU PENTAS TARI!? NGGAK USAH MACAM-MACAM DAN BANYAK DANDAN! SAYA NGGAK SUKA, ANJANI!"

Lunas. Terbayar sudah rasa rinduku selama satu minggu ini. Haha! Ia masih sosok yang sama. Tidak ada yang kurang maupun lebih, tetap pada takarannya. Meskipun jarakku dengannya sudah sedikit mengikis. Tuhan, izinkan aku bersama pria ini selamanya..

Lama aku hanya menatapnya dari spion. Aku terkejut dengan salah satu tangannya yang tiba-tiba mengarahkan tanganku untuk memeluk pinggangnya. "Pegangan! Saya mau ngebut!"

"Jangan! Saya takut, Bang!"

"AMAN, SAYANG!"

Apa barusan?

Lupakan. Aku sering mendengar di warung saat orang makan gorengan-lalu terjatuh.

Sampai di rumah masih belum menunjukkan tanda-tanda akan datang magrib. Sepertinya ia memang memintaku untuk membantu ibu memasak makan malam. Tanpa disuruh pun, aku akan melakukannya. Segera setelah salam dan menyapa bapak, aku menuju dapur dan menemukan ibu yang sedang asyik menguasai dapur-memasak makanan yang menurutku cukup banyak. Terlihat dari beberapa sayuran yang sudah dipotong-potongnya sangat banyak itu.

BERBATAS (Bertanya Balas atau Lepas) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang