Empat

887 50 5
                                    

Nissan march putih milik Kaelyn berhenti di parkiran salah satu toko mainan. Ia hendak menuju klinik siang itu dan melihat toko mainan yang sepertinya baru saja dibuka. Kaelyn memutuskan singgah sebentar di sana, membeli hadiah ulang tahun untuk anak Elisa. Masih ada setengah jam lagi sebelum jam prakteknya di mulai. Seminggu lagi Kaelyn akan terbang ke Surabaya untuk memenuhi undangan perayaan ulang tahun dari anak sahabatnya tersebut. Vico akan marah jika ia datang dengan tangan kosong.

Toko mainan itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang sepertinya karyawan di sana. Kaelyn menuju bagian khusus mainan anak laki-laki setelah bertanya pada salah satu karyawan. Mata Kaelyn menelusuri rak yang penuh dengan mainan khusus anak laki-laki. Saat melihat sepaket mobil-mobilan beserta track-nya, Kaelyn memutuskan mengambil itu. Si kecil Vico sangat suka sekali dengan mobil-mobilan dan kawan-kawannya.

Kaelyn beralih ke rak lainnya. Ia juga ingin membeli mainan untuk Kiano. Mata Kaelyn menelusuri berbagai macam lego yang ada di sana. Mengingat sebentar lego mana saja yang sudah dipunya oleh keponakannya. Keponakannya itu lebih tertarik menyusun lego daripada menggerakkan mobil. Setelah berpikir dan memilih, Kaelyn hendak mengambil lego di ujung rak. Sayangnya ketika tangannya sudah menyentuh lego tersebut, ada  seorang gadis yang juga melakukan hal yang sama. Tangan mereka berada di dua sisi kotak lego tersebut.

"Sorry," kata mereka bersamaan. Dahi Kaelyn sedikit mengerut, wajah gadis di depannya itu terlihat familiar.

"Silahkan lo aja yang ambil," kata gadis itu. Kaelyn mengangguk canggung lalu mengambil kotak lego tersebut. "Lo keliatan familiar. Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"

Kaelyn meringis kecil. Gadis ini benar-benar frontal, langsung menyampaikan apa yang ada di kepalanya. Padahal Kaelyn hanya memikirkannya di kepalanya tanpa berniat bertanya langsung. "Gue nggak ingat."

"Bentar." Gadis itu menatap Kaelyn lama. Tidak sampai semenit wajah gadis itu berubah ceria seperti mengingat sesuatu. "Lo yang–"

Suara ponsel berbunyi nyaring dari tas kecil yang dibawa gadis itu memotong kalimatnya. Gadis itu merogoh tasnya lalu mengangkat panggilan ntah dari siapa.

"Bentar. Aku masih nyari legonya."

"...."

"Iya, nggak lama kok."

"...."

"Bye." Panggilan telepon gadis itu terputus. Gadis itu mengambil asal lego di hadapannya lalu tergesa-gesa pamit pada Kaelyn. "Gue duluan, ya."

Kaelyn tidak sempat membalas ketika gadis itu berlalu dari hadapannya. Wajah Kaelyn melongo bingung dengan tingkah ajaib gadis itu.

"Ajaib banget tingkahnya."

***

"Kae, makan yuk." Ruangan praktek Kaelyn dibuka tanpa permisi oleh seorang laki-laki berkemeja yang lengannya digulung hingga siku. Heru—laki-laki berdarah Bali—yang menjadi teman pertama Kaelyn di klinik Columbi. "Atau lo mau solat dulu?"

"Lagi nggak," sahut Kaelyn. Gadis itu melepas snelinya lalu mencuci tangan di wastafel. "Makan di cafetaria aja?" Kaelyn menatap temannya yang berprofesi sebagai dokter umum itu dari cermin.

"Iya. Lagi nggak tahu mau delivery apa."

Kaelyn mengeringkan tangannya lalu menutup ruang prakteknya yang kosong. Tora sedang solat magrib. Sebelum pergi, ia menitip pesan pada salah satu office boy yang sedang istirahat di ruang tunggu agar memberitahukan pada Tora bahwa ia ke cafetaria jika Tora sudah kembali nanti.

"Sepi pasien lo?" tanya Heru basa-basi.

"Nggak juga, sih. Tapi pasien baru emang belum ada yang datang. Palingan lewat jam tujuh nanti rame lagi. Lo sendiri emang nggak ada pasien? Praktek umum biasanya rame terus."

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang