Kamu tidak menyadari apa yang kamu punya sampai kamu kehilangannya.
***
Sebuah gedung tingkat dua yang didominasi perpaduan warna putih dan kuning terlihat ramai. Padahal hampir pukul sembilan malam, sudah mendekati jam tutup klinik tersebut. Namun, belum terlihat aktivitas berobat-mengobati tersebut akan berhenti.
Di salah satu ruang praktek yang berada di gedung tersebut, tampak seorang gadis yang menggunakan sneli sedang membuang handscoon yang terciprat darah ke tempat sampah khusus medis. Lalu ia menuju wastafel untuk mencuci tangannya.
"Dok, dua pasien terakhir hari ini pasien PSA-nya Dokter Surya. Mereka balik besok aja katanya, Dok, nunggu Dokter Surya," berita Tora—perawat gigi yang merangkap sebagai asisten.
"Oke, deh. Berarti jadwal kita malam ini selesai, ya?" Tora mengangguk. Laki-laki yang baru saja wisuda tiga bulan yang lalu itu bergerak cepat membersihkan alat-alat yang digunakan untuk melakukan ektraksi seperti tang dan bein.
"Kalau Dokter mau pulang duluan, nggak apa-apa, Dok. Ntar kemaleman banget pulangnya kalau ikutan bersihin alat." Gadis itu menggeleng. Ia melepas snelinya lalu digantung di dekat meja kerjanya.
"Aku bantuin, Tor. Biar cepet selesainya. Kamu pasti juga capek hari ini full day. Masih ngegantiin Mbak Vero yang cuti melahirkan, kan?" Tora meringis malu. Apa sangat terlihat jika ia kelelahan?
Pada dasarnya, asisten di klinik tersebut dibagi dua shift. Shift pagi sampai siang, dan shift sore sampai malam. Begitupun shift dokter umum dan dokter gigi umum. Hanya dokter spesialias dan dokter gigi spesialis yang memiliki satu shift, dari sore sampai malam.
Biasanya Tora hanya bekerja selama lima jam sehari di klinik, namum beberapa hari ini jadi sepuluh jam karena menggantikan seniornya yang cuti melahirkan. Tapi, pihak klinik sudah berjanji akan segera mencari pengganti sementara agar Tora tidak kerja keras bagai kuda terus.
Lima belas menit kemudian, urusan bersih-membersihkan sudah selesai. Tora pamit pulang dengan motornya sedangkan gadis yang berprofesi sebagai dokter gigi itu menuju mobilnya. Ponsel gadis itu berbunyi ketika ia hendak menurunkan tuas rem. Telepon dari ayahnya.
"Halo, Yah."
"Udah pulang, Kae?"
"Baru aja mau pulang. Nih, udah di mobil."
"Ya udah, hati-hati nyetirnya. Telepon Ayah kalau udah sampai apartemen, ya."
Meski sudah berumur dua puluh tujuh tahun, Kaelyn masih sering dianggap sebagai anak kecil oleh kedua orang tuanya. Sering ditanya sedang di mana, lagi apa, sudah makan atau belum, ada masalah atau tidak, dan pertanyaan-pertanyaan kasual lainnya yang setiap hari Kaelyn dapati. Apalagi sejak ia memutuskan pindah ke Nusa Dua dua bulan yang lalu untuk mencari pengalaman kerja, orang tuanya makin protektif dan menelepon dua kali sehari. Kaelyn tidak pernah risih diperhatikan terlalu berlebihan oleh orang tuanya. Ia senang, meskipun sering diledek baby girl oleh teman-temannya.
Kaelyn sampai di apartemennya pukul setengah sebelas malam. Tadi ia mengisi perut dulu di salah satu restoran cepat saji. Kenapa tidak drive thru saja? Gadis berambut panjang itu sudah keburu kelaparan dan tidak bisa lagi menahan hasrat ingin makannya.
Kaelyn menyapa resepsionis sebelum naik lift menuju lantai kamarnya berada, lantai sepuluh.
"Baru pulang kerja, Mbak?" sapa resepsionis itu ramah.
"Iya, Bli. Tadi sempat makan dulu makanya agak telat pulangnya."
"Pantesan. Biasanya jam sepuluh Mbak Kaelyn udah naik ke kamar. Selamat beristirahat, Mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Voltar
Romance[Sequel of Amare] Biasanya di cerita romance novel, tokoh utama yang menjadi pihak tersakiti saat pasangannya masih bertaut dengan masa lalunya. Sayangnya di kisah hidupnya, Kaelyn tidak berada di posisi si tokoh utama yang tersakiti, melainkan sang...