Empat Puluh

665 66 10
                                    

Pintu unit apartemen Kaelyn dibuka tergesa-gesa oleh Aero. Laki-laki itu bergegas mencari keberadaan Kaelyn. Begitu mendapati Kaelyn yang sedang duduk berdampingan dengan Ghiana, Aero melangkah besar lalu menarik Kaelyn masuk dalam pelukannya.

"What's going on, Babe?" tanyanya kebingungan. Kaelyn menangis saat meneleponnya tadi dan kini masih menangis padahal sudah memakan waktu hampir satu jam.

"Takut," isak Kaelyn. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Aero, tangannya meremas kuat sisi-sisi baju Aero hingga kainnya kusut.

"Kenapa? Apa yang terjadi?"

Kaelyn tidak menjawab lagi. Isakannya makin mengeras padahal ia sudah banyak menangis dari tadi. Merasa tidak akan mendapat jawaban dari Kaelyn, Aero beralih menatap ibunya. Bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, bertanya kenapa pada Ghiana.

"Kalian bicarakan berdua, ya. Mom balik ke unit kamu dulu." Ghiana tersenyum sendu. Ia mengusap pelan rambut Aero lalu beralih ke pundak Kaelyn. Ia tidak bisa melakukan banyak hal untuk masalah yang sedang terjadi.

Sepeninggal Ghiana, Kaelyn masih belum mau angkat bicara. Yang dilakukan gadis itu hanya terus menangis dan menangis. Sudah lelah Aero bertanya hingga laki-laki itu membiarkan Kaelyn menuntaskan tangisnya terlebih dahulu. Mungkin jika tangisnya sudah reda, kekasihnya itu mau memberi tahu kenapa dirinya menangis.

Gerakan tangan Aero yang konstan mengelus punggung Kaelyn membuat isakan itu perlahan mereda. Sepertinya ketenangan inilah yang dibutuhkan Kaelyn dari tadi. Hingga akhirnya hanya tersisa sesegukan kecil, Aero mencoba bertanya sekali lagi.

"Kamu kenapa nangis? Did something bad happened to you? Kamu nangis kayak gini bikin aku khawatir, Babe. Please, tell me what happened."

"Tadi pagi ... aku ketemu Teddy," kata Kaelyn tersendat-sendat. "Aku jelasin semuanya ke dia. Aku juga minta maaf karena ngecewain dia. Tapi respons Teddy ... dia marah, dia kecewa. Dia nggak mau maafin aku. Dia bahkan lihat aku kayak lihat orang paling jahat di bumi. Aku ... aku salah ke dia, Ro."

Pecah lagi tangis Kaelyn. Aero sebenarnya cemburu melihat Kaelyn menangisi laki-laki lain. Tapi kali ini ia harus menyampingkan cemburunya sejenak. Aero mengerti perasaan Kaelyn. Gadis itu sedih bukan berarti menyukai Teddy, tapi sedih karena mengecewakan seseorang yang sudah begitu baik padanya. Hal yang tidak jauh berbeda Aero rasakan pada Chlava, sekalipun Chlava berubah tidak seperti dulu lagi.

"Don't cry, Babe. Wajar Teddy kecewa karena dia berharap banyak ke kamu. Kita memang salah dan sudah mengakui kesalahan kita. Sisanya biar waktu yang bekerja menyembuhkan luka yang kita buat di hati mereka. Kita nggak bisa berbuat banyak selain mendoakan kebahagiaan mereka tanpa kita," bisik Aero teduh. Beberapa kecupan ia tanamkan di puncak kepala Kaelyn.

"Aku nggak pernah lihat Teddy kayak gitu. Dia terlihat hancur tapi berusaha tegar. Sejahat itu aku udah nyakitin dia. Padahal selama ini ... selama ini dia selalu ada untuk aku. Aku nggak tahu balas budi atas kebaikan dia selama ini."

"Hei, dengar aku. Dia bersikap baik ke kamu, itu kemauan dia. Kamu nggak pernah minta, kan? Kamu juga udah berusaha ngasih yang terbaik ke dia, berusaha nerima dia dan buka hati kamu buat dia meskipun gagal. Cara kita memperjuangkan hubungan ini emang salah, tapi perasaan yang kita punya nggak salah sama sekali. Bukan kemauan kita kalau kita masih berkait satu sama lain sampai saat ini. Semua udah diatur Tuhan dan ini jalan yang harus kita hadapi berdua."

Kaelyn diam meresapi yang Aero katakan. Perlahan, setiap kalimat yang Aero sampaikan berhasil menguatkannya dan mengusir pemikiran buruk yang bersarang dari tadi.

"Hm, iya."

"Kamu nangis kejer kayak gini karena Teddy?"

Kepala Kaelyn menggeleng. Gelengan tersebut memancing rasa penasaran Aero. Aero hendak menguraikan pelukan mereka tapi tidak bisa karena Kaelyn menahannya.

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang