Kaelyn tidak bisa menahan laju air matanya saat netranya melihat Aero dan Chlava saling bertukar cincin di depan sana. Gadis itu menunduk, menyeka ringan air matanya. Ia takut ketahuan sedang menangis oleh Abi dan Haikal yang berdiri di samping kanan dan kirinya. Kesalahan Kaelyn memilih bersama tiga sahabat Aero itu. Awalnya ia ingin bersama Mikaela, tapi Mikaela berada di kursi khusus untuk keluarga. Ia tidak mungkin mengikuti Mikaela ke sana. Ia bukan bagian dari keluarga. Ia hanya seorang teman dan ... mantan.
Kepala Kaelyn kembali tegak setelah air matanya dipastikan sudah hilang. Ia yakin matanya pasti merah, meskipun terlihat samar—matanya selalu menyisakan jejak meskipun hanya meneteskan setitik air mata. Oleh karena itu, ia pura-pura mengucek mata—sebagai alibi jika Abi, Haikal, ataupun Revan bertanya. Ia tidak mungkin memperlihatkan kehancurannya pada tiga laki-laki itu. Itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Gue nggak nyangka berdiri di sini, nyaksiin Aero nyematin cincin di jari manis cewek lain."
Kaelyn tidak tahu Abi berbicara pada siapa. Mata Abi menatap lurus pada Aero dan Chlava. Suara laki-laki itu terdengar pelan, hanya Kaelyn yang tepat berdiri di sampingnya saja yang bisa mendengar—terbukti dengan Haikal dan Revan yang masih fokus memerhatikan jalannya acara. Kaelyn diam, tidak menyahuti. Siapa tahu Abi sedang bermonolog dengan dirinya sendiri. Ia tidak sepercaya diri itu kalau diajak bicara oleh Abi.
"Lo juga kan?" Kali ini Abi menolehkan wajahnya ke arah Kaelyn. Senyum miring tercetak di wajah tampan itu. Ternyata Abi berbicara pada Kaelyn, bukan dengan yang lain ataupun diri sendiri.
"Maksud lo?" Dahi Kaelyn berkerut bingung. Apa hubungannya dengan dirinya?
"Lo pasti juga nggak nyangka berdiri di sini, saat ini, menyaksikan cowok yang dulunya cinta banget sama lo berdiri di depan sana dengan cewek yang bukan lo. How does it feels, Kaelyn? Cowok yang pernah sebucin itu sama lo, sekarang milih cewek lain buat dijadiin istri."
Wajah Kaelyn mendadak pias. Tenggorokannga tercekat. Ia sudah mengerti maksud dan arah pembicaraan Abi. Abi mengungkit masa lalu mereka lalu dihubungkan dengan kejadian saat ini.
"I'm happy for them." Kaelyn memalingkan wajahnya. Ia enggan menatap Abi ketika menjawab. Ia takut ketahuan sedang berbohong.
"Kenapa lo nggak mau tatap mata gue kalau lo emang bahagia buat mereka? Lo takut ketahuan ... bohong?"
Kaelyn menalan salivanya dengan susah payah. Ia mengepalkan kedua tangannya yang tremor ringan. Apa-apaan yang dilakukan sahabat Aero ini?
"Gue nggak nyaman ditatap kayak gitu makanya gue nggak mau ngelihat lo," alibi Kaelyn. Ia berharap Abi percaya walaupun ia sendiri tidak yakin. Kemampuan berbohongnya mendadak turun drastis.
"Oh ya? Bukan karena lagi bohong?" Suara Abi makin pelan dan berat, makin mengintimidasi Kaelyn.
"Lo mengintimidasi gue. Gue nggak nyaman. Tolong berhenti," pinta Kaelyn masih dengan wajah yang dipalingkan ke arah lain.
"Gue cuma berta–"
"Lagi ngomongin apa, sih, kalian?" Baru kali ini rasanya Kaelyn ingin berterima kasih pada Haikal karena laki-laki itu menyerobot masuk begitu saja ke dalam pembicaraan orang lain. Ternyata ada gunanya, meskipun bisa dihitung jari. Sering kali tingkah jebe-jebe laki-laki itu berakhir mengesalkan orang lain.
"Nothing." Abi menjawab singkat. Laki-laki itu memasukkan tangannya ke saku celana, kembali fokus melihat acara di depan.
"Abi ngomong apa?" Haikal yang tidak puas dengan jawaban Abi bertanya pada Kaelyn. Sifat ingin tahunya kumat.
"Nggak kedengeran. Suara Abi kecil banget. Mungkin dia cuma mau muji Aero sama Chlava yang keliatan serasi." Alasannya sedikit konyol, tapi semoga Haikal percaya.
"Makin diliatin mereka emang keliatan makin serasi, sih. Apalagi pakai pakaian couple gitu." Pakaian couple yang dimaksud Haikal adalah motif kemeja batik yang dipakai Aero sama dengan motif rok batik yang dipakai Chlava, didominasi warna coklat muda.
"Hm, ya," gumam Kaelyn. Ia mencuri lirik sebentar pada Abi. Kalau lama nanti ketahuan dan ia malah diintimidasi lagi. Jangan sampai terjadi.
Wajah laki-laki itu terlihat datar lagi. Kaelyn tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh sahabat Aero itu. Seperti menyimpan sesuatu yang hanya dirinya yang tahu.
***
Tepat pada pukul sepuluh malam, Kaelyn sudah berada di unit apartemennya. Ia tidak mengikuti acara tunangan Aero-Chlava sampai selesai. Lebih tepatnya, ia tidak sanggup berada di sana lebih lama lagi. Dirinya kian tersiksa melihat Aero yang menghampiri tiap tamu bersama Chlava yang bergelayut di lengan laki-laki itu. Rasanya Kaelyn ingin melepas kaitan tangan mereka, berteriak bahwa ia tersakiti melihat kemesraan pasangan itu.
Tidak mudah bagi Kaelyn untuk pamit duluan. Berbagai pertanyaan harus ia hadapi dahulu, baik dari Aero-Chlava, orang tua Aero, Mikaela, dan tiga sahabat Aero. Kaelyn beralasan sakit kepala dan pusing. Semua orang tampak percaya dengan kebohongannya walaupun tatapan Abi terlihat berbeda. Tapi Kaelyn tidak memikirkan itu. Yang terpenting ia bisa keluar dari sana secepatnya.
Kaelyn merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu. Riasan bahkan masih melekat di wajahnya—padahal Kaelyn orangnya anti beristirahat sebelum membersihkan wajah, takut jerawatan katanya. Energi gadis itu sudah tersedot habis, hanya sisa sedikit untuk bernapas. Oke, ini lebay. Tapi Kaelyn memang merasakan lelah yang luar biasa, luar-dalam.
Helaan napas berat terdengar memenuhi kamar yang didominasi warna pastel itu. Kaelyn menatap nanar langit-langit kamarnya. Semua yang terjadi malam ini berputar kembali di kepalanya. Langit-langit kamar itu seolah menjadi layar yang menayangkan kembali cuplikan-cuplikan menyakitkan itu.
Dimulai dari pembukaan oleh MC, kata sambutan dari keluarga kedua belah pihak, sampai lamaran yang diajukan oleh Aero untuk Chlava dan Aero menyematkan cincin di jari manis Chlava, semua itu menari-nari di kepalanya. Menciptakan luka kasat mata namun sakitnya nyata rasanya. Dadanya terasa ditikam berulang kali, menimbulkan rasa sakit dan sesak yang membuat napasnya tersendat-sendat. Ujungnya, tetesan air mata mengalir deras dari sudut mata gadis itu. Lagi.
Seumur hidupnya, Kaelyn tidak pernah membayang skenario seburuk ini menimpa dirinya. Sebelum mengenal Aero, hal paling buruk yang menimpa dirinya adalah menyukai sahabatnya sendiri. Nyatanya, yang lebih buruk dari itu terjadi malam ini. Tepat di depan matanya. Aero melamar gadis lain yang bukan dirinya.
"Kenapa rasanya sakit sekali? Aku ... aku nggak kuat," lirih Kaelyn ditengah isakannya. Ia memukul dadanya berulang kali. Berharap rasa sakit itu reda dan jalan napasnya longgar. Sayangnya, hingga tangannya sudah lelah untuk memukul, kulit dadanya berbekas merah, dan matanya mulai tertutup, sakit dan sesak itu tak kunjung hilang.
***
Teddy
Hai, Cantik.
Tebak gue lagi di mana?Hallo! Aku balik lagi. I know ini cukup pendek, tapi semoga feelnya dapet ya.
Aku lagi liburan, makanya susah nyari waktu yg tepat buat nulis. Apalagi yg emosional kyk ini, harus malam hehe.
Ada yg ingat Teddy? Kira2 dia berperan apa ya disini?
Sekian deh. Aku capek ngetik wkwk. Jgn lupa vote dan komen yg buanyak yaaa!
Happy reading💜
*ps: selamat buat kalian yg lolos utbk. You've done a good job. Buat yg blm, tetap semangat. Rezeki kalian ada di tempat lain. Remember guys, nggak cuma satu jalan menuju roma. Fighting!
14 juni 2021
Love,
V🔮
KAMU SEDANG MEMBACA
Voltar
Romance[Sequel of Amare] Biasanya di cerita romance novel, tokoh utama yang menjadi pihak tersakiti saat pasangannya masih bertaut dengan masa lalunya. Sayangnya di kisah hidupnya, Kaelyn tidak berada di posisi si tokoh utama yang tersakiti, melainkan sang...