Dua Belas

805 58 23
                                    

Suara bel yang berbunyi berulang kali mengganggu Kaelyn yang tidur di sofa ruang tamu. Dahi gadis itu mengernyit dengan mata terpejam, merasa sangat terganggu dengan suara tersebut. Kaelyn mengabaikannya karena matanya masih sangat lengket akibat kurang tidur semalam.

Bukannya berhenti karena didiamkan sang tuan rumah, suara bel tersebut malah makin nyaring bunyinya. Mau tidak mau Kaelyn membuka matanya, terpaksa. Gadis itu mengerang kesal karena tidurnya diganggu. Ia berusaha bangkit tapi kepalanya mendadak pusing. Kaelyn mendesis kecil seraya memegang kepalanya.

"Sebentar!" teriak Kaelyn seolah orang di luar bisa mendengar suaranya, padahal tidak. Dengan langkah gontai dan mata setengah terbuka ia menuju pintu, membuka dan akan memarahi siapa pun orang yang berani mengganggunya.

"Ap–"

"Astaga, Kae!" Mata Kaelyn terbuka sempurna melihat kakak dan kakak iparnya berdiri di depan pintu unitnya. Kenapa mereka datang berkunjung?

"Kak, ke–"

"Kamu dari mana aja, huh? Dari kemarin nggak bisa dihubungi. Kakak tunggu di rumah juga nggak datang-datang. Sampai Ayah khawatir kamu nggak ada kabar sama sekali," semprot Barra begitu saja. Wajah laki-laki itu terlihat sangat kesal pada sang adik.

"Bar, sabar. Kamu ke sini bukan untuk marahin Kaelyn," kata Shena lembut seraya mengelus lengan atas suaminya, berusaha menenangkan.

"Kae ... Kae ...." Kaelyn bingung harus menjawab apa. Ia tidak menyangka perbuatannya yang mematikan ponsel kemarin berbuntut panjang seperti ini. Padahal ia hanya ingin menjauhi Aero saja.

Kaelyn lupa kemarin adalah hari jumat, dimana harusnya ia ke Seminyak. Ia juga lupa orang tuanya yang selalu meneleponnya tiap hari. Kaelyn lupa mematikan ponsel ketika ia jauh dari keluarga adalah kesalahan fatal.

"Kita masuk ke dalam, yuk. Nggak enak ngobrol di depan pintu gini, ntar keliatan tetangga," ajak Shena. Wanita itu merangkul lengan suaminya, masuk ke dalam unit Kaelyn yang disusul oleh Kaelyn.

"Kamu tidur di sofa? Kamar kamu udah nggak berfungsi lagi?" Selimut yang teronggok menjadi bukti hingga Kaelyn tidak bisa menyangkal. Barra dan kemarahannya adalah kombinasi yang buruk. Semua hal akan tampak salah di mata laki-laki itu, akan dikomentari habis-habisan.

"Ketiduran pas nonton netflix, Kak," bohong Kaelyn. Seharian kemarin TV-nya mati.

"Marah-marah mulu, deh, kamu. Duduk dulu biar nggak emosi." Shena mendorong Barra agar duduk lalu ia menoleh pada Kaelyn. "Kae, Kakak ambil air di dapur, ya?"

"Biar Kae–"

"Kamu di sini, Shena bisa ambil sendiri," potong Barra. Kaelyn jadi mengkerut sendiri, kakaknya pasti sangat marah padanya.

Seperginya Shena ke dapur, tidak ada pembicaraan di antara Kaelyn dan Barra. Kaelyn setia menunduk masih dengan posisi berdiri dan Barra yang menatap tajam sang adik. Begitu terus hingga Shena kembali dengan tiga gelas air.

"Loh, kok masih berdiri, Kae? Duduk sini. Capek kamu ntar," suruh Shena lembut seraya menepuk sofa kosong di sebelahnya. Ia sengaja tidak duduk di sebelah Barra karena Kaelyn pasti membutuhkannya ketika dimarahi Barra nanti.

Kaelyn beringsut pelan mendekati kakak iparnya lalu duduk dengan masih menunduk. Ia tidak berani menatap Barra. Takut.

"Sekarang jelasin kenapa ponsel kamu nggak bisa dihubungi dan kamu nggak ke Seminyak kemarin," perintah Barra bak hakim yang ingin menggali informasi dari terdakwa.

"Jangan marah, Bar. Kamu bikin Kaelyn takut," tegur Shena.

"Gimana aku nggak marah, Sayang? Dia bikin kita semua khawatir."

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang