Empat Puluh Empat

446 59 7
                                    

Suara ketukan berulang kali terdengar sehingga membangunkan Kaelyn dari tidur nyenyaknya. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya pelan. Meskipun suasana kamarnya remang-remang, matanya tetap butuh penyesuaian.

Suara ketukan itu tidak lagi terdengar saat kesadaran Kaelyn sudah terkumpul sepenuhnya. Dahi Kaelyn mengernyit. Apa ia bermimpi mendengar ada yang mengetuk? Ia tunggu beberapa detik, tidak ada suara lagi. Kaelyn memutuskan kembali tidur. Mungkin ia memang bermimpi.

Mata Kaelyn hampir tertutup sempurna saat ketukan itu terdengar lagi. Kaelyn langsung duduk. Ia menoleh ke pintu, berpikir ketukan berasal dari sana. Ternyata ia salah. Ketukan tersebut berasal dari jendela besar di kamarnya.

Kaelyn merinding takut. Siapa yang mengetuk jendela tengah malam begini? Apa itu pencuri? Atau hantu? Kaelyn sudah siap kabur saat suara yang ia kenal terdengar samar.

"Kae."

"Kae, ini aku."

"Siapa?" cicit Kaelyn. Sedetik kemudian ia memukul mulutnya sendiri. Kenapa ia malah membalas? Kalau pencuri atau hantu bagaimana?

"Aero."

Mendengar satu nama itu, Kaelyn melesat cepat menuju jendela. Tidak peduli kalau yang berada di balik jendela adalah Aero jadi-jadian. Kaelyn menyibak tirainya dan seketika matanya berkaca-kaca menatap wajah tampan yang seminggu ini tidak ia lihat.

"Aero," lirih gadis itu.

"Buka jendelanya, Babe. Badanku udah bentol-bentol diserang nyamuk," canda Aero ditengah suasana haru. Kaelyn membuka jendela hingga terbuka lebar. Aero langsung masuk dengan bantuan Kaelyn. Setelah Aero duduk di sampingnya—di sofa yang berada di dekat jendela, Kaelyn menghambur memeluk laki-laki itu. Kesedihan yang selama seminggu ini menyelimutinya langsung hilang setelah mendekap hangat tubuh Aero.

"Kangen."

"Aku juga. Kangen banget sama kamu."

Aero mengubur wajahnya di puncak kepala Kaelyn. Tangannya memeluk erat tubuh gadis itu. Baru seminggu tidak bertemu, ia sudah merasakan rindu yang teramat dalam pada gadis itu. Bagaimana jika mereka terpisah selamanya? Pasti rasanya jauh lebih buruk.

"Gimana kamu seminggu ini?" tanya Aero di sela-sela pelukan mereka, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Dalam sekali lihat ia tahu gadis kesayangannya dalam keadaan kacau, tidak jauh berbeda dengannya.

"Buruk. Aku nggak dibolehin keluar rumah sama Ayah. Ponselku juga disita. Mereka takut aku ngubungin atau nemuin kamu. Kenapa kita diperlakukan seperti pendosa besar?"

"Maaf udah bikin kamu di posisi ini. Kebahagiaan yang aku janjiin ternyata nggak semudah itu kita gapai. Tapi aku nggak akan menyerah, Babe. Sesuai janjiku, sampai titik darah penghabisan pun aku bakal berjuang demi kamu. Demi kita."

"Gimana caranya? Aku nggak tahu kita harus apa," lirih Kaelyn dengan suara lemah. Meski rasa cintanya pada Aero tak pernah padam, jujur ia mulai lelah dan pesimis. Tidak ada titik terang yang ia lihat. Hanya ada jalan buntu dan satu-satunya cara adalah mereka harus putar balik—menyerah.

"Jangan menyerah, Babe. Jangan lelah. Aku mohon sama kamu. Cuma kamu kekuatan aku saat ini. Kalau cahayamu mulai padam, apa lagi yang tersisa? Percaya sama aku, kita bakal baik-baik saja."

Aero tidak pernah lelah meyakinkan Kaelyn, karena hanya Kaelyn penyemangatnya. Baginya cukup kepercayaan dari Kaelyn, ia yakin bisa melalui apapun. Jika gadis itu mulai redup menyerah, darimana lagi sumber kekuataannya?

"Aku takut ujungnya mengecewakan kita padahal kamu udah berjuang mati-matian. Kalau sekarang kita menye–"

"Jangan sebut itu." Aero menahan pergerakan bibir Kaelyn dengan jari telunjuknya. "Aku nggak akan menyerah sampai kamu jadi milikku seutuhnya. Nggak masalah semua orang menolak cinta kita, asal kamu enggak. Ya?"

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang