"Ayah."
Cakra yang tadinya sibuk membaca di layar tabletnya segera mengangkat kepala saat suara si bungsu memanggilnya. Ekspresi wajahnya perpaduan antara sumringah dan lega. Akhirnya setelah dua hari, ia kembali dipanggil oleh anaknya.
"Ya, Kae," jawab Cakra lembut. Saking senangnya laki-laki paruh baya itu, ia sampai menyusul Kaelyn yang berdiri di ujung tangga. Padahal jika ia lebih sabar, ia tinggal duduk manis menunggu Kaelyn yang hendak menghampirinya.
"Boleh Kae minta ponsel Kae?" tanya gadis itu lirih.
Alis cakra terangkat. "Untuk apa?"
"Ngehubungin Ae–"
Sebelum Kaelyn menyelesaikan kalimatnya, Cakra memotong cepat. "Jangan harap Ayah luluh karena kamu udah mau ngomong sama Ayah. Ayah emang bersalah karena nampar kamu dua hari yang lalu. Tapi keputusan tentang Aero nggak akan berubah."
"Kae mau mutusin hubungan Kae sama Aero." Suaranya terdengar datar, begitupun ekspresinya. Tidak ada kesedihan seperti hari-hari kemarin.
"Apa?"
"Kae bakal selesai sama Aero, tapi dengan cara baik-baik. Kae mau ngomong sama dia untuk yang terakhir kalinya."
Cakra menelisik wajah anak bungsunya itu, tampak tidak percaya. Masih sangat jelas diingatannya bagaimana Kaelyn ngotot ingin bersama Aero. Kenapa hari ini gadis itu tiba-tiba berubah pikiran?
"Kamu ... beneran?"
"Kalau Ayah nggak percaya, Ayah boleh nemenin Kae selama ngomong sama Aero."
Cakra ingin tidak percaya, tapi tatapan dan suara Kaelyn serius. Tidak ada candaan atau prank yang tersirat di sana. "Oke. Kamu harus telepon Aero di sebelah Ayah."
Kepala Kaelyn langsung mengangguk setuju. Tidak ada sanggahan dan bantahan. Meskipun ini yang Cakra inginkan, tapi ia merasa aneh melihat tingkah anaknya. Kaelyn terlihat ... berbeda.
***
"Aku mutusin untuk berhenti, Ro. Hubungan kita nggak bisa dilanjutin lagi. Aku harap nerima keputusan aku dan juga ngelakuin hal yang sama."
"Kae! Kamu ngomong apa, sih? Kita udah janji untuk berjuang. Aku nggak mau berhenti."
"Tapi aku mau. Aku capek. Lebih baik kamu kembali sama Chlava. Lupain aku."
"Nggak! Aku nggak terima sama keputusan sepihak kamu. Aku cinta sama kamu, Kae. Kamu jugakan? Aku mohon, jangan menyerah."
"Keputusanku udah bulat. Kita akhiri aja semua. Ini juga terakhir kali kita saling komunikasi. Setelah ini, kontak dan semua sosial media kamu bakal aku blok. Kamu boleh marah dan benci aku."
"Aku lebih milih nggak kamu telepon kalau ujungnya gini."
"Jangan lupa makan, ya, Ro. Jaga kesehatan. Jangan overload kerjanya, istirahat itu penting. Aku doakan semoga kamu selalu bahagia. Selamat tinggal."
Kaelyn memutuskan panggilan begitu saja. Wajahnya masih terlihat datar, tidak menampilkan ekspresi apapun padahal ia baru saja kehilangan orang yang ia cintai. Kaelyn yang tanpa ekspresi seperti ini justru membuat Cakra khawatir.
"Kae baik-baik aja?"
Kaelyn tidak menjawab. Gadis itu sibuk memblokir kontak dan seluruh media sosial Aero. Setelah selesai, ia memberikan ponselnya pada Cakra. "Kae udah blokir Aero. Ponsel ini Ayah pegang aja. Kae mau beli ponsel sama nomor baru."
"Jawab pertanyaan Ayah, Kae."
"Bukankah udah cukup? Inikan yang Ayah mau? Gimana keadaan Kae sekarang, apa Ayah perlu tahu?"
Setelah berkata demikian, Kaelyn beranjak pergi. Maaf kalau ia bersikap kurang ajar pada ayahnya. Kaelyn hanya merasa lelah dan tidak tahu harus berlaku bagaimana.
***
Di balik wajah yang datar tanpa ekspresi, nyatanya menyimpan beribu luka dan kesakitan. Lelah menangis dan merintih membuat hatinya perlahan kebas. Kesakitan itu seolah menjadi temannya hingga ia terbiasa merasakannya.
Itulah yang dirasakan oleh Kaelyn sekarang. Semua terasa hambar dan kebas. Perasaan itu pula yang membuatnya mau memutuskan Aero, laki-laki yang sebelumnya ia perjuangkan mati-matian. Setelah insiden tamparan itu, Kaelyn mengurung dirinya di kamar. Ia tidak keluar sama sekali. Makanan sampai diantarkan ke kamarnya, karena kalau tidak, bisa dipastikan gadis itu tidak akan makan.
Selama mengurung diri, ia berpikir. Apakah masih ada celah untuknya dan Aero? Apakah masih ada kesempatan untuk mereka bersama? Kaelyn ingin berharap kesempatan itu, tapi keadaan saat ini berkata sebaliknya. Hampir semua orang menentang mereka, bahkan kedua orang tuanya. Apa yang bisa Kaelyn lakukan jika restu orang tuanya saja tidak bisa mereka raih? Rasanya sudah berbagai cara dilakukan agar orang tua Kaelyn—apalagi Cakra—mau merestui mereka, tapi tetap saja penolakan yang mereka terima.
Tentangan dan penolakan itu membuat Kaelyn berada di titik terendahnya. Ia juga tidak bisa berkomunikasi dan menemui Aero. Pergerakan dan aktifitasnya dikekang. Kaelyn lelah dan akhirnya memilih menyerah. Ia tidak sanggup lagi.
Menyerah bukan berarti ia berhenti mencintai Aero. Ia mencintai laki-laki itu, dan selamanya akan begitu. Ia hanya menyerah untuk memiliki Aero. Lagi-lagi Kaelyn berada di level tertinggi dalam mencintai seseorang, yaitu melepaskan.
Kaelyn mengambil selembar kertas dan pena. Kertas ini akan menjadi surat terakhirnya untuk Aero, setelah ribuan surat yang ia tulis untuk laki-laki itu.
Dear, Aero.
Surat ini mungkin akan menjadi surat terakhir yang aku tulis untuk kamu. Berhenti menulis surat bukan berarti aku udah sembuh. Aku masih sakit, jauh lebih sakit dari sebelumnya. Tapi sakit yang kali ini aku rasa, nggak akan ada penawarnya. Karena penawar itu udah aku buang jauh dengan tanganku sendiri.
Maaf ya, Ro. Keputusanku pasti menyakitimu. Aku mengingkari janji kita. Aku berhenti disaat kamu masih berjuang. Aku bikin kamu kecewa. Kamu boleh salahin aku, boleh marah, bahkan boleh benci. Aku pantas nerima itu dari kamu. Tapi kamu harus tahu, aku juga menyakiti diriku sendiri dengan keputusan ini. Lihat, Ro, aku sangat bodohkan?
Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa aku nyerah gitu aja. Aku capek, Ro. Aku nggak sanggup. Tiap hari yang aku lalui begitu berat. Tentangan dari semua orang dan nggak adanya kamu di sisiku bikin aku lemah sampai memilij menyerah.
Maaf kalau aku nggak sekuat kamu. Maaf kalau aku nggak setegar kamu. Aku lemah dan rapuh. Hubungan tanpa restu ini menjatuhkanku.
Setelah ini, aku harap kamu segera menemukan kebahagiaan kamu. Mungkin kamu bakal balik sama Chlava? Atau ketemu orang baru? Nggak masalah siapapun itu, aku rela. Asalkan kamu bahagia, cukup untukku.
Aku juga akan melanjutkan hidupku. Nggak tahu hidup seperti apa yang akan aku jalani nanti. Yang pasti, semua nggak akan sama dan nggak akan semenyenangkan saat ada kamu.
Melepaskanmu bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Aku selalu cinta sama kamu, Ro. Tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Maaf cinta kita harus berakhir menyedihkan seperti ini.
Tangan Kaelyn bergetar hebat. Gadis itu tidak sanggup lagi melanjutkan tulisannya. Ia terisak kuat, menyebabkan kertas yang penuh dengan tulisannya ternodai dengan titik-titik air mata. Kaelyn hancur, dan kehancuran itu salah satunya disebabkan oleh dirinya sendiri.
"Aero, maaf. Maafin aku."
***
"Aku kembali ke Nusa Dua besok, pesawat paling pagi. Rencana pernikahan kita ... lanjutkan aja."
Yuk main tebak-tebakan, endingnya gimana?
Chapter ini pendek dulu ya. Happy reading💜
8 september 2021
Love,
V

KAMU SEDANG MEMBACA
Voltar
Romance[Sequel of Amare] Biasanya di cerita romance novel, tokoh utama yang menjadi pihak tersakiti saat pasangannya masih bertaut dengan masa lalunya. Sayangnya di kisah hidupnya, Kaelyn tidak berada di posisi si tokoh utama yang tersakiti, melainkan sang...