Empat Puluh Tiga

446 57 3
                                    

Vote dan follow dulu sebelum membaca. Komen jangan lupa🙏🏻

Kamar bernuansa pastel ini masih terlihat sama seperti terakhir kali Kaelyn pulang. Keadaannya selalu bersih dan rapi meskipun sang pemilik kamar tinggal jauh di pulau seberang. Semua barang dan perabotannya juga berada di posisi yang sama, tidak pernah dipindahkan seinci pun. Kaelyn sering merasa rindu dengan suasana kamarnya di Jakarta. Namun sekarang, bukan rindu dan betah yang ia rasakan di kamar yang ia pernah ia huni lebih dari dua puluh tahun itu. Ia ingin keluar, pergi dari Jakarta kalau bisa.

Sesampainya di Jakarta, ia langsung dikurung oleh ayahnya di kamar. Cakra berharap Kaelyn memikirkan dan sadar akan kesalahannya. Cakra tidak ingin Kaelyn berlarut-larut memikirkan Aero. Sayangnya, bukannya menuruti apa kata sang ayah, Kaelyn malah makin memikirkan Aero dan berujung menangis tanpa henti. Gadis itu merindukan kekasihnya yang jauh di sana. Benaknya bertanya-tanya bagaimana kondisi Aero saat ini? Pasti sama hancurnya dengan dirinya. Kaelyn juga menyesal tidak bisa berjuang lebih ini. Yang ia lakukan tidak ada apa-apanya dibanding yang dilakukan Aero.

"Ro." Entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan, ia tidak tahu. Yang pasti matanya sangat perih dan susah untuk dibuka lebar. Berhenti menangis ia tidak bisa karena desakan sesak yang bergelung di dadanya meminta untuk keluar, tidak sanggup ditahan.

Cakra tidak main-main memisahkan Kaelyn dengan Aero. Laki-laki paruh baya itu memutus semua komunikasi antara mereka berdua. Ponsel Kaelyn ia sita. Nomor Aero yang terus-terusan menghubungi Kaelyn, ia blok dan hapus. Cakra sebenarnya tidak tega, tapi harus ia lakukan. Meskipun Kaelyn anaknya, ia tidak akan pernah mendukung anaknya melakukan kejahatan.

Pintu kamar Kaelyn terbuka saat gadis itu masih sibuk menangis. Kaelyn tidak menoleh sama sekali. Matanya menatap lurus ke luar jendala. Posisi Kaelyn saat ini duduk di pinggir jendala dan membelakangi pintu.

 Posisi Kaelyn saat ini duduk di pinggir jendala dan membelakangi pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makan dulu, Kae." Suara Aletta melantun lembut. Wanita itu membawa nampan yang berisi sepiring makanan, segelas air, dan beberapa potong buah. Aletta mendekat, lalu duduk di sebelah Kaelyn. Nampannya ia letakkan di sisi sebelahnya yang masih kosong.

"Yuk, makan," ajak Aletta lagi. Ia membelai lembut rambut panjang Kaelyn. Dari samping, Aletta bisa melihat jelas titik-titik air turun deras membasahi putri bungsunya. Kondisi Kaelyn sangat kacau. Hati ibu mana yang tidak sakit jika keadaannya begini?

"Nggak," jawab Kaelyn singkat. Ia tidak menoleh sama sekali. Mungkin ia durhaka memperlakukan ibunya seperti ini, tapi Kaelyn tidak sanggup menatap siapapun—kecuali Aero.

"Jangan kayak gini, Kae. Nanti kamu sakit kalau nggak makan. Makan, ya? Dikit aja nggak papa. Bunda suapin."

Aletta hendak mengambil piring tapi suara Kaelyn menghentikannya. "Tanpa makanpun Kae udah sakit. Bunda tahu kan?"

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang