Tujuh Belas

692 47 8
                                    

Kebersamaan Kaelyn, Kiano, dan Aero tidak berhenti sampai di restoran cepat saji saja. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Aero mengajak Kiano bermain ke salah satu game centre. Padahal Kaelyn—bahkan Kiano sendiri—tidak memintanya. Ntah karena sedang gabut atau bagaimana, laki-laki itu berinisiatif sendiri.

Akhir minggu membuat game centre tersebut ramai dipadati pengunjung. Kiano sampai harus digendong oleh Aero karena laki-laki itu khawatir Kiano tersenggol atau hilang tanpa mereka sadari. Mata Aero jeli mencari kursi kosong yang tersebar di beberapa titik. Setelah menemukannya, ia mengajak Kaelyn dan Kiano ke sana.

"Kalian tunggu di sini aja, ya. Gue antri isi saldo dulu." Aero mendudukkan Kiano di sebelah Kaelyn.

"Tapi antriannya panjang banget, Ro. Lo yakin masih mau ngajak Kiano main?" tanya Kaelyn sedikit khawatir.

"Nggak bakal lama kok ngantrinya. Gue ke sana dulu." Aero mengusap pelan puncak kepala Kiano sebelum ia beranjak pergi. Mata Kaelyn tidak putus memerhatikan pergerakan laki-laki itu meskipun tangannya memegang erat tangan Kiano—agar Kiano tidak kabur tiba-tiba.

"Suaminya perhatian banget, ya, Mbak." Kaelyn tersentak kaget. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya dari Aero yang mengantri kepada seorang ibu-ibu yang duduk di sebelahnya.

"Eh ... dia bu–"

"Anaknya juga lucu banget. Anak pertama, ya, Mbak?" Kaelyn tersenyum kaku. Ia bingung harus menjawab apa karena ibu-ibu tersebut membuat kesimpulan sesuka hati sebelum mendengar jawabannya.

"Ini ke–"

"Mbak kayaknya masih muda. Nikah umur berapa, Mbak? Nikah muda, ya? Sekarang emang banyak, sih, yang nikah muda. Udah balik kayak zaman dulu, pas saya masih kecil. Mereka mikirnya nikah itu enak, apa-apa udah halal. Padahal nggak tahu aja kalau cobaannya banyak. Makanya banyak juga, tuh, yang ujung-ujungnya cerai. Haduh, serem. Nikah udah kayak pacaran aja. Gampang diselesin." Ibu-ibu itu terus menyerocos, tidak memberikan Kaelyn kesempatan untuk menyanggah. Akhirnya Kaelyn memilih diam, mendengarkan saja semua yang ibu-ibu itu katakan. Lagipula ia tidak mengenal wanita yang sepertinya seumuran dengan bundanya, jadi ia tidak berkewajiban menjelaskan apapun. "Semoga Mbak dan suami rukun terus, ya. Kalau cekcok mah biasa di rumah tangga. Yang penting dihadapi dengan kepala dingin. Jangan ninggiin ego masing-masing."

"Eh ... eh ... suaminya udah balik, tuh, Mbak." Kaelyn mengikuti arah tangan ibu-ibu itu yang menunjuk Aero. Laki-laki itu berjalan mendekati mereka dengan tangan memegang sebuah kartu.

"Nih, udah diisi saldo yang banyak. Biar Kiano puas mainnya," kata Aero begitu berdiri di hadapan mereka. Ia hendak menggendong Kiano tapi tidak jadi karena celutukan ibu-ibu di sebelah Kaelyn.

"Masnya sayang anak banget, ya."

Aero menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Kaelyn, meminta penjelasan pada gadis itu. Kaelyn hanya menggeleng. Aero yang mengerti tersenyum kecil. Ia dengan santainya menggendong Kiano lalu menjawab, "iya dong, Bu. Masa anak nggak disayang. Ya kan, Sayang?" Aero mengerling jahil pada Kaelyn.

Kaelyn melotot mendengarnya. Ia pikir Aero tidak akan menghiraukan ibu-ibu itu. Namun, lihat yang dilakukannya sekarang. Laki-laki itu malah membenarkan apa yang dikatakan ibu-ibu itu.

"Harus itu, Mas. Tapi istrinya jangan lupa disayang juga, loh, Mas. Biar awet pernikahannya."

"Sebelum sayang anak, saya udah sayang istri duluan, Bu. Tiap hari saya bilang i love you sampai dia gumoh." Tawa Aero dan ibu-ibu itu menguar di udara. Sedangkan Kaelyn menunduk malu. Tanpa diketahui siapapun, ia sedang berusaha menormalkan detak jantungnya yang menggila hanya karena perkataan bohong Aero kalau mereka adalah suami istri.

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang