Setelah selesai dengan urusan baking, Kaelyn dan Aero memilih mengistirahatkan tubuh di depan televisi seraya menunggu kue di oven. Mereka selonjoran di atas karpet tebal dengan tubuh masing-masing bersandar pada sofa yang sebelumnya sudah dilapisi bantal agar tubuh mereka tidak sakit. Kaelyn memilih film animasi The Spongebob Movie: Sponge On The Run yang tayang pertama kali pada tahun 2020 di netflix.
"Spongebob banget nih?" komentar Aero saat Kaelyn mengetik judul di kolom pencarian.
"Daripada aku ajakin nonton romance. Kamu ntar protes."
Aero terkekeh. Kaelyn benar. Ia tidak terlalu suka film romance—seperti laki-laki pada umumnya. Film laga atau superhero lebih menarik baginya.
Film mulai tayang. Mata Kaelyn fokus ke layar televisi. Sebenarnya ia sudah pernah menonton film ini, tapi sudah lama sekali. Tidak masalah nonton lagi—sekalian mengingatkan jalan cerita yang ia lupa.
Lain halnya dengan Aero. Laki-laki itu tidak tertarik dengan film yang sedang diputar. Bukan karena ia sudah pernah nonton, ia bahkan belum pernah sama sekali. Hanya saja ada yang lebih menarik saat ini daripada warga Bikini Bottom itu. Gadis yang berada di sebelahnya. Kaelyn.
Kepala Aero berputar ke kiri hingga ia bisa jelas menatap Kaelyn. Tidak ada kata puas baginya memandang wajah cantik itu, tidak peduli bahwa ia sudah menghabiskan banyak waktu memerhatikan Kaelyn tadi di dapurnya. Inginnya ia menatap gadis itu terus-terusan saat mereka berdekatan seperti ini.
"Awas lepas, tuh, mata melototin aku dari tadi," kata Kaelyn berusaha sedatar mungkin. Matanya masih terpaku ke layar televisi. Ia sadar kalau Aero melihatnya dari tadi dan sukses membuat jantungnya berdisko. Ia pikir ini takkan bertahan lama. Tapi sekian menit ia menunggu, Aero tidak juga melepas pandangannya. Kaelyn tidak tahan dan jadi kegerahan sendiri. Ia putuskan angkat bicara tapi akting pura-pura cuek.
"Tinggal dilem lagi," jawab Aero konyol.
"Ro," decak Kaelyn. Ia malu diperhatikan terus-menerus.
"Aku mau nanya deh," kata Aero. Ia merapikan posisinya, duduk lebih tegak dari sebelumnya.
"Apa?"
"Menurut kamu, lebih enakan nyandar di bantal itu ...." Aero menunjuk bantal yang jadi sandaran Kaelyn. "Atau di badanku?"
Kaelyn hampir saja tersedak salivanya sendiri. Ia menatap kesal pada Aero lalu memukul bahu laki-laki itu. Tidak bisakah kekasihnya berhenti membuat jantungnya berdebar tak karuan terus?
"Eh ... eh, kok mukul? Aku kan nanya doang." Aero tidak berusaha menangkis pukulan Kaelyn karena tidak terasa sakit sama sekali. Kaelyn memukulnya dengan pelan.
"Bisa nggak, sih, kita nonton aja dengan tenang?"
"Cie, salting, ya?" Aero mencolek dagu Kaelyn dengan tersenyum menggoda.
"Bodo!"
"Aku bisa tenang asalkan ...." Aero sengaja menggantung kalimatnya. "Kamu nyandar ke aku, bukan ke bantal. Gimana?" Aero memainkan alisnya naik turun.
"Nggak mau!" Bohong, tentu saja Kaelyn mau. Tapi ia harus jual mahal.
"Oke, aku ngerti maksud kamu." Aero menarik bahu Kaelyn hingga gadis itu bersandar padanya. Tangannya ia lingkarkan di tubuh Kaelyn, mengunci pergerakan gadis itu.
"Ro! Aku kan bilangnnya nggak mau," protes Kaelyn. Ia pura-pura kesal padahal aslinya ia kesenangan.
"Iya, aku tahu. Cewek emang gitu. Lain di mulut, lain di hati. Yuk, nonton lagi."
Diam-diam senyum Kaelyn terlukis. Ia menyandarkan kepalanya di dada Aero. Dari jarak sedekat ini, ia bisa mencium bau tubuh Aero yang segar dan wangi. Padahal tadi mereka habis berkutat di dapur. Apa Aero mandi parfume sebelum ke sini?
Nyatanya, tidak sampai lima menit, Aero kembali berulah. Laki-laki itu bosan. Ingin mengganggu Kaelyn tapi gadisnya terlihat serius menonton. Akhirnya ia hanya memainkan ujung rambut Kaelyn yang menjuntai sambil sesekali mengusap kepala gadis itu.
"Bosan, ya?" Kaelyn mendongak menatap wajah sang kekasih. Ia sadar kalau Aero tidak memerhatikan layar televisi.
"Hm, nggak papa, kok. Kamu nonton aja. Aku punya mainan."
"Rambutku dikatain mainan," protes Kaelyn. "Kita ngapain biar kamu nggak bosan?"
Dahi Aero tampak berkerut, sedang berpikir. Seketika ia teringat sesuatu. Hal yang sering ia pikirkan akhir-akhir ini tapi selalu lupa untuk ia tanyakan.
"Babe."
"Hm?"
"Kamu sama Teddy ... kenapa bisa jadi deket gitu?"
Napas Kaelyn tercekat saat itu juga. Ia tahu, cepat atau lambat, Aero pasti akan menanyakan hubungannya dengan Teddy. Ia mau menjelaskan, tapi bingung cara memulainya bagaimana.
"Karena nggak sengaja," cicitnya. Ia menyembunyikan wajahnya di dada Aero.
"Aku nggak bakal marah kok, cuma pengen tahu. Saat kita putus, hak kamu untuk dekat atau menjalin hubungan sama siapa aja. Aku penasaran aja karena seingatku, dulu kamu bilang nggak sengaja kenal dia pas main ke fakultasku," ucap Aero lembut. Ia mengelus pelan rambut Kaelyn.
Kaelyn menggigit bibirnya pelan. Mau tidak mau ia harus bercerita. Kaelyn hendak bangkit, tapi ditahan Aero.
"Gini aja. Nyaman," kata Aero seraya mempererat pelukannya.
"Aku ketemu Teddy pas dia jadi pasienku di klinik tempat aku praktek di Jakarta. Awalnya kami sama-sama kaget, nggak nyangka bakal ketemu lagi. Dia datang beberapa kali karena kasusnya nggak bisa selesai dalam satu kali kunjungan. Setelah itu entah kenapa kami jadi dekat. Dia intens menghubungiku. Awalnya aku nggak terlalu acuh, tapi dia nggak nyerah gitu aja. Hampir lewat setahun, dia confess ke aku. Aku langsung nolak dan bilang ke dia kalau aku nggak bisa lupain kamu, dia fine-fine aja. Dia masih mau berusaha. Aku nggak bisa ngelarang dia. Perasaan dia itu hak dia. Sejak itu hubunganku sama Teddy gitu-gitu aja, jalan di tempat. Titik baliknya pas kemarin itu. Saat kamu udah resmi tunangan sama Chlava, aku mulai mempertimbangkan kehadiran Teddy. Aku nggak mungkin terjebak terus dalam perasaanku ke kamu. Teddy senang aku mau membuka hati untuknya dan kami sepakat untuk mencoba," jelas Kaelyn panjang lebar.
"Kalian pacaran?"
Kepala Kaelyn menggeleng pelan. "Masih pendekatan. Aku nggak mau pacaran sebelum aku yakin bisa ngasih perasaanku ke dia dan ngelupain kamu. Aku udah cukup jahat jadiin pelarian, nggak mau lebih jahat lagi dari itu."
Setelah itu, dua-duanya sama-sama diam. Aero sedang mencerna cerita Kaelyn dan Kaelyn ketar-ketir menunggu respons Aero.
"Ya udah. Aku lega udah tahu gimana ceritanya. Lagipula setelah ini, kamu nggak perlu jadiin dia pelarian. Nggak perlu lagi maksain perasaan kamu ke dia. Udah ada aku sekarang."
"Aku nggak tahu gimana bilangnya nanti ke Teddy, Ro. Dia pasti sakit hati banget dan benci sama aku," lirih Kaelyn. Meskipun ia tidak menyukai Teddi, tapi Kaelyn tidak mau Teddy membencinya. Teddy sangat baik dan ada perasaan tidak rela kehilangan Teddy nantinya.
"Itu adalah konsekuensi yang harus kita terima, Babe. Nggak jauh beda dari Teddy, Chlava pasti juga begitu. Tapi kita bisa apa selain berkorban demi kebahagiaan kita?"
"Ya, kamu benar." Kaelyn makin merapatkan tubuhnya ke Aero. Ia butuh pelukan hangat laki-laki itu untuk menenangkan dirinya yang gundah.
"Don't worry, Babe. I always beside you. We through this together. Love you," bisik Aero menenangkan. Ia juga takut, malah ketakutannya lebih besar. Yang ia hadapi bukan hanya Chlava, ada keluarga Chlava dan keluarganya juga. Semua orang pasti akan marah padanya.
Tidak apa. Aero siap menanggung semua itu. Sebagai laki-laki sejati, ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia yakin langkah yang ia ambil saat ini sudah benar. Demi kebahagiaannya dan Kaelyn.
Butuh dua hari aku nulis chapter ini. Semoga kalian suka.
Jangan lupa ramein chapter ini yaaw. Happy reading💜
25 juli 2021
Love,
V

KAMU SEDANG MEMBACA
Voltar
Roman d'amour[Sequel of Amare] Biasanya di cerita romance novel, tokoh utama yang menjadi pihak tersakiti saat pasangannya masih bertaut dengan masa lalunya. Sayangnya di kisah hidupnya, Kaelyn tidak berada di posisi si tokoh utama yang tersakiti, melainkan sang...