Dua Puluh Empat

894 74 24
                                        

Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan kemeja hitam membalut tubuhnya melangkah pasti menuju sebuah unit apartemen mewah di kawasan Nusa Dua. Tangan kanannya menggenggam sebuah buket bunga mawar besar. Senyuman tidak luntur dari wajah tampannya meskipun badannya terasa lelah karena seharian bekerja. Semangatnya kembali membara karena akan bertemu seseorang yang ia cintai.

Setelah sampai di depan pintu salah satu unit apartemen dan memastikan ia tidak salah nomor, laki-laki itu menekan bel. Ia merapikan pakaiannya seraya menghembuskan napas pelan. Ia merasa sedikit gugup. Hampir delapan bulan ia tidak bertemu dengan pemilik unit di hadapannya ini dan ia sudah sangat merindu. Detak jantungnya berantakan seiring menunggu pintu dibuka.

Tidak butuh waktu lama sampai menunggu pintu terbuka. Senyum laki-laki itu melebar begitu melihat wajah gadis yang sangat ia rindukan. "Kae!"

Ia hampir saja memeluk gadis di hadapannya jika saja tubuhnya tidak ditahan oleh kedua tangan gadis itu.

"Berapa kali gue harus bilang ke lo supaya jangan suka nyosor?" delik gadis itu yang tidak lain adalah Kaelyn. Laki-laki di hadapannya terkekeh.

"Kangen," rengeknya. Kaelyn berdecih pelan. Gadis itu mempersilahkan masuk laki-laki itu. "Ini buat lo."

Sebuket bunga mawar besar diterima Kaelyn. "Nggak perlu repot-repot ngasih gue bunga."

"Tapi gue mau."

"Teddy," tegur Kaelyn tidak suka.

"Baru juga ketemu, masa udah digalakin."

Ya, laki-laki yang bertamu itu adalah Teddy. Laki-laki yang mengiriminya pesan di malam pertunangan Aero. Laki-laki yang gencar mendekatinya tiga tahun terakhir. Laki-laki yang memiliki masalah di masa lalu dengan ... Aero.

*ps: bisa baca ulang Amare 1 kalau kalian lupa siapa Teddy.

Teddy menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia mengerang pelan—merasakan kenyamanan tubuhnya beradu dengan sofa yang empuk.

"Lo harusnya istirahat kalau capek, bukannya malah maksain mampir ke sini." Kaelyn kembali dengan segelas air di tangannya setelah meletakkan buket bunga. Teddy menerima gelas tersebut dengan senang hati dan meneguk isinya hingga tandas.

"Gue udah nahan hampir seminggu untuk ketemu lo. Kangen gue udah tumpah-tumpah, nggah bisa dibendung lagi," kata Teddy berlebihan. Teddy tiba di Bali enam hari yang lalu—tepat pada hari pertunangan Aero dan Chlava. Begitu ia menginjakkan kaki di bandara I Gusti Ngurah Rai, ia segera menghubungi Kaelyn. Ia ingin bertemu Kaelyn sesegara mungkin. Sayangnya, pekerjaan yang menggunung sudah menantinya. Ia bahkan lembur setiap hari. Baru hari ini jadwal kerjanya mulai renggang hingga saat sore ia bisa bertandang ke kediaman Kaelyn.

Kaelyn mencibir. Laki-laki itu memang tidak pernah malu menyampaikan dengan frontal apa yang ia rasakan.

"Masih ada waktu lain kan? Lo di sini berapa lama?"

"Emm ...." Teddy tampak berpikir. Ia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada dagu. "Sebulan-dua bulan, atau bisa lebih. Tergantung project di sini kapan kelarnya."

"Tuh, waktunya masih panjang. Lo malah kayak mau balik ke Jakarta besok."

"Maunya sih gitu, tapi ...." Teddy menggantung kalimatnya.

"Tapi apa?"

"Baliknya sama lo."

"Gombal terus!" Kaelyn melempar bantal sofa yang tepat mengenai bahu Teddy. Bukannya kesakitan, Teddy malah tertawa.

"Sumpah, Kae. Gue kangen banget. Pengen meluk lo."

"Gue tendang lo dari sini kalau sampai meluk gue. Peluk tuh bantal."

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang