Sebelas

774 61 5
                                    

Jangan lupa pencet tanda ⭐️ untuk vote dan tinggalin komentar kalian di chapter ini🤗

Suara pintu yang ditutup kencang terdengar keras dan menghasilkan sedikit getaran di sekelilingnya. Kaelyn yang biasanya menyayangi setiap sudut unitnya tampak tidak peduli jika pintu itu rusak karena ia dorong dengan kencang. Yang gadis itu inginkan saat ini adalah segera mencapai kasurnya dan menumpahkan tangis yang mati-matian berusaha ia tahan sejak sejam yang lalu.

Kaelyn baru bebas dari makan siang yang mencekiknya setelah satu jam mengobrol dengan Aero dan calon tunangannya yang tiba-tiba muncul. Sebenarnya, sejak awal Chlava datang dan memperkenalkan diri sebagai calon tunangan Aero, Kaelyn sudah ingin segera pergi dari sana. Ia tidak sanggup berhadapan dengan Aero yang ternyata sudah memiliki penghuni baru di hatinya.

Kaelyn melempar tasnya sembarangan lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur dengan posisi tengkurap. Tanpa komando, air mata gadis itu luruh bersamaan dengan isakannya. Ia membenamkan wajahnya ke bantal, meredam suara tangisnya. Bukan karena takut tetangga akan mendengar suara tangisnya, tapi ia tidak ingin mendengar suara tangisnya yang begitu pilu.

Aku pikir kita punya kesempatan, Ro.

Sejak pertemuannya kembali dengan Aero di basement apartemen, Kaelyn tidak membayangkan jika Aero sudah memiliki pengganti dirinya di hati laki-laki itu. Kaelyn pikir Aero sama seperti dirinya, masih sendiri dengan cinta masa lalu yang tertanam kuat. Mengingat betapa ramah dan welcome-nya Aero pada dirinya, Kaelyn berpikir bahwa laki-laki itu masih single.

Nyatanya Kaelyn salah, ia terlalu percaya diri. Kaelyn terlalu terbuai dengan keramahan Aero hingga melupakan bisa saja Aero sudah tidak lagi mencintainya dan menganggapnya hanya teman biasa. Ia melupakan fakta bahwa akan lebih mudah berteman dengan masa lalu jika rasa itu sudah tidak ada lagi. Kaelyn merasa begitu ... bodoh.

Dada Kaelyn makin sesak ketika tangisnya makin mengeras dan tidak mau berhenti. Ia bahkan sampai harus mengubah posisi menjadi duduk dan menepuk kuat dadanya. Napasnya tersengal-sengal diiringi isakan kuat. Semua ini terasa sangat menyakitkan baginya. Ia patah saat perjuangannya baru saja dimulai.

"Kenapa rasanya sakit banget? Kenapa sesesak ini?" racau Kaelyn. "Apa dosaku terlalu besar sama kamu, Ro, sehingga Tuhan membalasnya dengan cara yang menyakitkan selama bertahun-tahun? Bahkan ini rasanya yang paling sakit."

Kaelyn pikir pertemuan mereka setelah tujuh tahun adalah pertanda mereka akan bersatu kembali. Nyatanya pertemuan itu malah menjadi malapetaka untuknya. Ia seperti ditampar sekaligus diingatkan tentang dosanya pada Aero, sehingga pembalasan yang ia terima harus sesakit ini. Tidak cukup dengan membuat ia dan Aero berpisah, tapi Aero memiliki pengganti dirinya di saat ia berusaha berjuang meraih Aero kembali. Takdir mengambil perannya dengan baik. Pertemuan dan patah hati ini adalah ganjaran yang diberikan untuknya.

Tidak tahu berapa lama Kaelyn menghabiskan waktu untuk menangis. Yang pasti keadaan sekeliling sudah gelap ketika isakannya mulai berhenti dan air matanya sudah mengering. Ia bangkit dari kasur yang setia menjadi teman pelampiasan dan berkeluh kesahnya, menghidupkan lampu dan menutup gorden. Ia tidak peduli ruangan di luar kamarnya masih gelap gulita tanpa penerangan. Ia juga tidak peduli perutnya yang kosong dan mulai terasa perih. Setidaknya Kaelyn membutuhkan perih itu untuk mengalihkan perih di hatinya.

Dengan kondisi kacau dan blank setelah banyak menangis, Kaelyn mengambil selembar kertas dan pena. Ia duduk di meja kerja yang ada di sudut ruangan, lalu mulai menulis.

Setelah dua tahun berhenti, ia mulai menulis lagi surat untuk Aero. Penyalur rasa sakit yang tidak bisa ia katakan pada dunia, tetapi bisa ia salurkan pada selembar kertas.

Menulis surat lagi menjadi pertanda kondisi Kaelyn kembali memburuk. Pertanda rasa sakit itu menyerangnya tanpa ampun.

***

Kaelyn
Tor, hari ini aku izin nggak masuk.
Aku udah ngasih tahu pihak klinik.
Nanti Dokter Jihan yang gantiin aku.

Kaelyn mengirimkan pesan singkat pada asistennya di klinik. Ia merasa tidak sanggup untuk bekerja hari ini setelah berjam-jam menangis kemarin. Tenaganya terkuras habis dan penampilan yang sangat kacau mendukungnya untuk libur. Ia tidak mungkin bekerja dengan mata bengkak dan wajah sembab. Bisa-bisa pasiennya lari semua.

Jika kalian pikir tangisan Kaelyn berhenti setelah ia menulis surat, kalian salah. Gadis itu kembali menangis setelahnya. Menulis surat tidak cukup membuatnya lega. Sesak dan sakitnya masih bersisa banyak hingga ia butuh menangis lagi sampai ketiduran.

Ponsel Kaelyn bergetar saat ia sedang berusaha memasukkan sepotong roti ke mulutnya. Semalam Kaelyn meninggalkan makan malamnya, pagi ini ia wajib mengisi perut jika tidak mau tersiksa sepanjang hari karena magh. Meskipun kerongkongan dan lambungnya seperti menolak roti, Kaelyn tetap memaksakannya. Makan pelan-pelan dengan bantuan banyak air.

Kaelyn pikir itu Tora yang membalas pesannya. Sayangnya tebakannya salah ketika nama Aero yang muncul. Kaelyn buru-buru menjauhkan ponselnya. Ia ingin menghindar dari Aero dulu. Lukanya masih basah dan berdarah. Berhubungan dengan Aero saat ini sama seperti menyiram air garam ke lukanya, sangat perih hingga mau mati rasanya.

Ponselnya bergetar lagi. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya, Kaelyn mematikan ponsel tersebut. Tidak peduli jika panggilan itu penting atau tidak. Sepertinya hari ini ia tidak hanya menghindari Aero, tapi semua orang.

Rotinya hanya habis setengah, lumayan daripada tidak sama sekali. Kaelyn menyingkirkan sisa roti dan gelas kosong ke meja kecil di sebelah sofa. Lalu ia merebahkan dirinya dan meringkuk di sana dengan tangan yang memeluk kedua kakinya yang tertekuk, seperti janin yang berada dalam kandungan. Pandangan gadis itu kosong menatap layar hitam TV. Perlahan, air matanya luruh lagi. Bayangan kemarin kembali melintas di kepalanya. Aero dan Chlava—calon tunangan laki-laki itu.

Tidak mengerti kenapa air matanya tidak pernah habis untuk menangisi Aero, kenapa rasa sakitnya tak pernah usai karena berpisahnya mereka. Kini semua makin hancur ketika laki-laki itu sudah memiliki calon tunangan. Masih kah ada harapan yang tersisa untuk dirinya yang menyedihkan ini?

Isakannya lolos begitu saja ketika membayangkan wajah Aero dan Chlava. Membayangkan betapa akrab dan dekatnya dua orang itu. Saling berbicara, tertawa dan mengejek dengan cara yang mesra, tanpa menyadari ada hati yang patah melihat kemesraan mereka berdua.

"Ro, aku tahu aku jahat ke kamu. Tujuh tahun ini adalah masa hukuman untukku. Apa masa hukumanku masih berlanjut menjadi seumur hidup, Ro? Aku nggak sanggup bayangin kamu sama gadis lain," lirih Kaelyn. Ia sudah seperti orang gila yang berbicara sendiri dengan air mata yang setia mengalir.

"Aku kira kamu masih nunggu aku seperti aku yang nunggu kamu. Sayangnya aku salah. Sepertinya luka yang aku kasih di masa lalu terlalu menyakitkan sampai kamu memutuskan untuk pindah ke orang baru, enggan tetap bersamaku." Racauan Kaelyn terus berlanjut. Ia terus saja berbicara—menumpahkan seluruh sesak yang menghuni dadanya pada TV mati dan ruangan kosong—seolah-olah ada Aero di sana yang mendengarkan pesakitannya.

"Mencintaimu kenapa seberat ini, Ro?"

Aku nggak tahu chapter ini feelnya dapet atau enggak😭 semoga sedihnya Kaelyn sampai ke kalian semua yaa.

Maaf chapter ini pendek, nge-stuck bgt😞
Happy reading💜

28 februari 2021

Love,
V🔮

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang