Empat Belas

701 54 8
                                    

Suasana coffee shop yang terletak di lantai satu salah satu apartemen besar di Nusa Dua tampak sepi. Kursi-kursi yang disediakan hanya terisi beberapa. Bar table yang menghadap ke taman terlihat kosong, padahal biasanya penuh diisi karena itu adalah salah satu titik favorit di coffee shop tersebut. Mungkin karena sudah larut malam dan didukung habis hujan yang menyisakan udara dingin, membuat para penghuni apartemen malas turun ke bawah dan memilih bergelung nyaman dengan selimut di atas kasur empuk.

Dari keseluruhan pengunjung yang ada, terlihat seorang gadis cantik dengan wajah mendungnya. Gadis itu duduk di bagian pojok, seperti tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Gadis itu adalah Kaelyn.

Kaelyn menggigit bibir bawahnya pelan. Kedua ibu jarinya bergerak gelisah dalam keadaan kedua tangannya saling bertaut. Matanya menatap nanar tubuh tegap yang berdiri tidak jauh darinya, sedang memesan kopi untuk mereka berdua di kasir.

Kepalanya tertunduk lemah. Gagal sudah usahanya seminggu ini, semuanya berakhir sia-sia. Ia pikir ketika seminggu berhasil bersembunyi dari Aero, ia akan berhasil selamanya. Sayangnya dugaan tersebut salah. Rencana Kaelyn gatot. Gagal total!

"Kenapa? Lo pusing?"

Kepala Kaelyn terangkat seiring dengan gelas kertas yang diletakkan Aero di hadapannya. Gadis itu menggeleng samar. Ia menarik pelan gelas kertas tersebut makin dekat padanya, membiarkan rasa hangat merambat ke tangannya yang dingin. Bibirnya menggumamkan terima kasih.

"Tumben banget Nusa Dua dingin," keluh Aero seraya saling menggesekkan kedua tangannya. Laki-laki itu lalu merapatkan jaket abu-abu yang membungkus tubuh tegapnya. "Karena abis hujan kali, ya?"

"Hm." Kaelyn membalasnya dengan deheman. Bukan bermaksud sombong atau sok cuek, saat ini hatinya sedang bergejolak kesal dan frustasi karena bertemu bahkan duduk berhadapan dengan Aero saat ini. Kalau begini, kapan Kaelyn bisa berhenti untuk mendapatkan laki-laki yang sudah tidak sendiri lagi ini?

"Hm doang?" sahut Aero tidak terima. Dahinya dikerutkan hingga dua alis tebal itu hampir menyatu.

"Terus?"

"Lo kenapa, sih? Seminggu ini ngilang mulu. Gue boom chat, telepon, sampai nyamperin ke unit lo langsung tiap hari tapi tetap nggak ada hasil. Gue tanya resepsionis katanya lo lagi nggak nerima tamu. Lo lagi sembunyi dari siapa, sih? Debt collector?"

Sembunyi dari lo!

Jika tidak ingat malu dan harga diri, ingin rasanya Kaelyn meneriakkan kalimat itu pada Aero. Tidak bisa kah Aero berhenti mencarinya seakan ia adalah orang penting dalam kehidupan Aero dan membiarkannya pergi dari hidup laki-laki itu? Tidak bisa kah Aero untuk tidak peduli dengan keberadaannya? Perhatian-perhatian kecil yang diberikan Aero—Kaelyn yakin seratus persen Aero tidak menyadari hal itu sama sekali karena sifat dasar laki-laki itu emang seperti itu—membuat Kaelyn melemah dan perlahan menghidupkan harapan yang sempat padam.

Tidak! Kaelyn tidak boleh berharap lagi pada Aero. Aero milik Chlava dan Kaelyn bertekad untuk tidak menjadi gadis perebut. Hal itu hanya akan menjatuhkan harga diri serta mencoreng nama baiknya.

"Apa sih, Ro? Rempong banget lo jadi cowok," decak Kaelyn. Ia menyeruput perlahan kopinya. Rasa hangat mengalir begitu saja ke dalam mulut dan kerongkongannya, memberikan sedikit efek tenang.

"Kok lo jadi jutek?"

"Astaga, siapa yang jutek coba? Aneh lo."

Aero kenapa tiba-tiba jadi rewel dan sensitif begini? Mereka hanya sebatas teman. Harusnya Aero tidak perlu kesal dan protes jika Kaelyn menghilang tanpa bisa dikabari bukan?

"Lo yang aneh. Tiba-tiba muncul terus ilang sesuka hati."

Dumelan Aero terdengar lirih tetapi dapat ditangkap jelas oleh telinga Kaelyn. Gadis itu memasang ekpresi menyelidik, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan.

VoltarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang