Hari semakin gelap dan Raina masih berjalan gontai tanpa tujuan. Pandangannya kosong. Beberapa kali tubuhnya menubruk orang-orang yang berlalu lalang.
Pikiran Raina campur aduk sekarang. Semua yang Inta katakan tadi membuatnya sadar, juga kesal. "Brengsek, semuanya sama aja! Nggak ada yang bener-bener peduli sama gue!"
Raina melihat jam di ponsel yang menunjukkan pukul lima sore. Raina tak peduli jika Mama dan Papa mencarinya. Ia tetap melanjutkan langkah, tanpa arah tujuan.
Hingga tanpa sadar dia duduk di trotoar jalan, kemudian mendekap lututnya yang ditekuk. Raina menatap kosong aspal di depannya.
Saat dia sedang merenung, tiba-tiba saja secarik uang kertas seratus ribuan terulur di depannya. Raina mendongakkan kepala, melihat wajah seseorang yang sangat dia kenal kini tersenyum tipis.
"Sorry gue nggak punya receh," ucap orang itu masih dengan tangan terulur.
Tentu saja Raina tau maksudnya. Cewek itu buru-buru berdiri dan memukul orang itu. "Anjirlah gue bukan pengemis, ya, Yan!"
"Eh i-iya, Rain. Jangan dipukul atuh, sakit ni gue!" pekik Bryan, berusaha menghindari pukulan Raina. "Lagian lo nggak malu apa diliatin banyak orang? Mana masih muda, kayak gembel gitu duduk di trotoar."
Gerakan Raina terhenti. Melihat keadaan di sekitarnya, Raina terkejut saat menyadari bahwa ternyata sejak tadi dirinya duduk di samping lampu lalu lintas.
Semua perhatian pengguna jalan tertuju padanya, bahkan ada yang menatapnya dengan aneh. Wajah Raina berubah merah karena malu. Raina segera bersembunyi di belakang tubuh Bryan.
"Bawa gue pergi, Yan," bisik Raina, menggenggam erat jaket bagian belakang cowok itu.
Dengan senang hati Bryan menuntun Raina menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan dan segera melaju pergi dari sana. Entah mengapa Bryan jadi ikut malu melihat perhatian pengguna jalan masih tertuju pada mereka.
"Anjim, gue jadi ikut malu gara-gara elo!" Bryan sedikit berteriak saat berbicara dengan Raina. Angin bertiup terlalu kuat sehingga dia takut Raina tak bisa mendengar suaranya.
"Salah sendiri lo bantuin gue!" Raina mau tak mau ikut berteriak. Tangannya berpegangan erat pada jok motor. Tak biasa mendekap tubuh sahabatnya.
"Tau gitu gue biarin, biar lo malu sendiri!"
"Enak aja! Nggak setia kawan lo!"
"Oh gitu? Turun lo dari motor gue!"
"E-eh ya jangan!" pekik Raina. Tak sengaja Bryan melihat wajah panik cewek itu dari kaca spion. Seulas senyum tipis tercetak di wajah Bryan.
Rasa senang sedang menyelimuti hati Bryan sekarang. Hari ini, akhirnya dia berboncengan dengan Raina. Walaupun dengan cara seperti ini, tapi Bryan sudah cukup senang.
Bryan berdehem, melirik Raina dari balik kaca helm fullface-nya. "Btw kita mau ke mana? Setengah jam lebih kita muterin bundaran alun-alun."
Mendapat pertanyaan seperti itu, Raina tentu saja bingung. Raina sejak tadi tak punya arah dan tujuan. "Terserah lo aja, motor-motor lo!"
Salah satu sudut bibir Bryan terangkat, "Oke, kalo gitu kita ke rumah!"
"Nggak! Gue belum mau pulang!" protes Raina.
"Bukan ke rumah lo, tapi rumah gue!"
Raina mengangkat sebelah alisnya, "Ngapain gue ke rumah lo!?"
"Mau kenalin ke Bunda sama Ayah sebagai calon mantu," detik itu juga Bryan tertawa, padahal candaan itu sama sekali tidak lucu.
Raina mencibir, "Nggak lucu, Yan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Raina✔
JugendliteraturCompleted Ketika mantan datang memberi rasa nyaman di saat kita merasa bosan dengan pasangan Siapa yang akan Raina pilih? Bisma Azka Tama--cowok yang dulu meninggalkannya karena memilih cewek yang lebih cantik darinya atau Bryan Arsenio--cowok yang...