"Cari apaan lo? Bukannya lari malah duduk-duduk di sini."
Bisma yang sedang sibuk mencari sesuatu di dalam tas menoleh mendengar sindiran Raka. "Lo liat hape gue nggak?"
Raka mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu. Hal itu membuat Bisma berdecak pelan. "Ck, mana sih hape gue?"
Raka duduk di samping Bisma. Mengambil handuk kecil di dalam tas lalu mengusap keringat di tubuhnya. "Coba inget-inget lagi lo taruh dimana," saran Raka.
Bisma berhenti sejenak dan mengikuti saran Raka. Cowok yang mengenakan jersey basket dengan nomor punggung 6 itu langsung berjalan cepat keluar lapangan setelah mengingat dimana ponselnya.
"Heh, lo mau kemana?"
Pertanyaan Raka tak dibalas Bisma.
***
Bisma merutuki dirinya sendiri. Bukan karena dia meninggalkan ponsel di kamar mandi, tapi karena tidak mengabari Raina kalau dia ada latihan basket setelah pulang sekolah.
"Iya, nggak papa, Bim. Aku padahal baru mau ngabarin kamu kalau aku hari ini ada kerja kelompok. Tadi lupa nggak ngabarin, hehe."
Mendengar jawaban Raina, Bisma tersenyum. Setelah mengambil ponselnya di dalam kamar mandi yang tadi dia gunakan untuk berganti, Bisma langsung menelpon Raina.
"Kerja kelompok dimana?"
"Rumahnya Bryan."
"Nanti aku jemput ya. Share lokasi rumah Bryan."
"Nggak usah. Kamu kan capek habis latihan. Nanti aku bisa naik ojek."
Bisma mengernyit tak suka. Ia tidak mau Raina naik ojek. "Nggak, Rain. Aku nggak mau kamu diboncengin sama abang ojek. Pokoknya, nanti kalau udah selesai, kabarin aku!"
Terdengar helaan napas pelan di sebrang telepon. "Iya deh, iya."
Bisma yakin, Raina sekarang sedang cemberut. Andai saja Raina ada di depan Bisma sekarang, pasti dia sudah mencubit kedua pipi cewek itu saking gemasnya. "Nah gitu."
Seolah baru ingat kalau dia ada latihan basket, Bisma buru-buru pamit pada Raina. Setelah panggilan telepon terputus, Bisma memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
"Lepas!"
Mendengar teriakan itu, Bisma yang baru saja membalikkan badan menolehkan kepalanya ke belakang. Kedua alis cowok itu tertaut ketika dia menajamkan indra pendengarannya.
Ketika teriakan itu kembali terdengar, Bisma segera melangkahkan kaki ke asal suara dan berhenti di sebuah gudang tempat penyimpanan meja kursi yang sudah rusak.
Pintu gudang yang terbuka lebar membuat Bisma bisa melihat salah satu dari ketiga cewek yang ada di dalam sana sedang mencengkram erat leher...Mala?
Jadi, yang berteriak tadi adalah Mala?
Melihat wajah Mala yang semakin pucat, Bisma berteriak. "Woi, lepasin dia!"
Mereka menoleh ke arah Bisma. Tangan cewek yang mencengkram leher Mala terlepas. Bisma bisa melihat tatapan tajam cewek itu.
Cewek itu kembali menoleh ke arah Mala. "Lakuin apa yang gue bilang tadi, inget!" Setelah mengatakan itu, dia pergi dari sana bersama kedua temannya.
Ketika melewati Bisma, cewek itu melemparkan tatapan sinis. Bisma yang melihat itu tertawa dalam hati. Mereka aneh, pikirnya.
Bisma menghampiri Mala. Niatnya hanya untuk memastikan keadaan cewek itu baik-baik saja lalu pergi. Tapi, ketika Bisma sudah berada di dekat Mala dan melihat keadaan cewek itu, Bisma ragu untuk langsung pergi.
"Lo nggak papa?"
Mala tersenyum tipis. "Gue--"
Bruk!
"Mala!"
Ini untuk pertama kalinya Bisma memanggil nama Mala.
***
Mendengar suara seseorang yang sedang berdebat membuat Mala sedikit membuka mata lalu mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang indra penglihatannya tangkap.
Mala menoleh ke asal suara dan melihat Bisma yang sedang berbicara pada orang yang berdiri membelakanginya. Di saat kedua mata Mala menangkap sebuah etalase berukuran besar yang memajang puluhan piala, Mala baru menyadari dimana dia sekarang. Di kursi tunggu lobby sekolah.
"Ogah!" Suara cowok yang mengenakan jersey seperti yang Bisma kenakan terdengar. "Kok jadi gue, sih, yang nganterin dia?!"
Mala tersentak ketika telunjuk cowok itu mengarah padanya. Bisma yang mengikuti arah telunjuk cowok itu juga ikut menunjuk Mala, tapi dengan dagu. "Dia udah sadar."
Cowok yang berdiri di depan Bisma membalikkan badan, membuat Mala mengenalinya. Dia Abraka Ismail, sahabat Bisma.
"Akhirnya lo sadar juga, Kak!" Mala bisa melihat raut lega di wajah Raka ketika mengatakan itu. Raka kembali menoleh ke arah Bisma.
"Jadi, dia bisa pulang sendiri." Meskipun Raka mengatakannya sambil berbisik, tapi suara cowok itu masih bisa didengar Mala.
Mala sekarang tau apa yang membuat mereka berdebat.
Mala beranjak berdiri sambil menggendong tasnya. "Gue bisa pulang sendiri kok. Makasih ya, udah mau nolongin gue tadi." Mala tersenyum. Setelah itu, dia pergi dari sana.
Raka menoleh ke arah Bisma lalu bertanya, "Lo nggak kasihan anak orang yang lagi sakit pulang sendirian?"
"Nggak."
***
Tin!
Mala yang sedang menunggu tukang ojek di halte bus depan sekolahan berjengit kaget ketika sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. "Naik!"
Mendengar perkataan pengendara motor itu Mala mengernyitkan dahi. "Ha?"
Samar, Mala mendengar decakan cowok itu. "Ini gue Bisma. Cepetan naik sebelum gue berubah pikiran untuk nggak menuruti omongan Si Abrak!"
Ya, Bisma terpaksa menuruti permintaan Raka untuk mengantarkan Mala pulang setelah perdebatan mereka, lagi. Padahal Bisma sudah bilang dia mempunyai janji untuk menjemput Raina. Tapi, alasan yang diberikan Raka lebih kuat dari alasannya.
Alasan Raka seperti ini, "Gue harus jemput emak gue arisan, Amat! Lo tau kan gimana cerewetnya emak-emak yang nggak dipatuhi omongannya sama anaknya sendiri? Dan lebih parahnya lagi, emak gue kalo lagi ngomel nggak cuma mulut doang yang gerak, tapi tangan juga. Makanya perabotan di rumah sekali pakai semua. Ya itu karena semuanya diancurin sama emak gue kalo lagi ngomel."
Yap, Raka memang bawel, tapi kalau kalian sudah mengenal cowok itu.
Mengingat alasan yang diberikan Raka tadi membuat Bisma mendengus kesal. Ia tidak suka ketika Raka memanggilnya Amat. Seenaknya saja cowok itu membalik nama keluarganya--Tama--menjadi Amat.
Ohh iya, soal janjinya untuk menjemput Raina, Bisma sudah menelpon cewek itu. Dan, Raina tentu mengizinkan Bisma melakukan suatu hal yang baik.
Hanya dengan mengingat Raina saja bisa membuat Bisma tersenyum di balik helm full face-nya. Setelah pulang dari mengantarkan Mala, Bisma akan ke rumah Raina.
Bisma merindukan Raina.
Sebuah tepukan pada pundaknya menyadarkan Bisma dari lamunan. Lalu, suara Mala yang duduk di jok motornya terdengar. "Lampunya udah hijau."
Bisma mengangguk samar lalu menjalankan motornya. Ternyata, Bisma terlalu larut dalam lamunan hingga tak sadar lampu sudah berubah menjadi warna hijau.
🍂🍂🍂
Sampe bab ini belum bosen kan ya sama kisah Raina? Jangan bosen yaa! Cerita Raina masih panjang lho
Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
![](https://img.wattpad.com/cover/225642058-288-k632041.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raina✔
Teen FictionCompleted Ketika mantan datang memberi rasa nyaman di saat kita merasa bosan dengan pasangan Siapa yang akan Raina pilih? Bisma Azka Tama--cowok yang dulu meninggalkannya karena memilih cewek yang lebih cantik darinya atau Bryan Arsenio--cowok yang...