"Lepasin saya, Pak! Saya nggak bersalah!" Mala memberontak, mencoba melepas tangan yang mencengkram kedua lengannya.
"Kalian nggak ada bukti buat nangkap kita!" seru Sandi, tidak terima.
Dorr!
Suara tembakan kembali terdengar. Sandi, Mala, dan Bisma kompak menundukkan kepala. Eria yang menembakkan pistol itu ke udara. "Anjir hebat juga ni pistol mainan, udah mirip pistol beneran," dia merasa kagum dengan pistol mainan yang dibawanya.
"Pistol mainan?! Jadi lo nipu kita?!" Mala memekik, menatap tajam Eria.
"Kita nggak nipu lo," Inta mendengus geli, "jangan samain kita sama kalian! Kita cuma mau bikin kalian jera."
Eria menyeletuk. "Mendingan kalian diem, deh, sambil nunggu polisi beneran yang dateng jemput kalian."
Mala dan Sandi mematung di tempat mendengar kata polisi. Sedangkan Bisma mengerutkan dahi sambil memperhatikan lima laki-laki berpakaian polisi yang menodongkan pistol ke arahnya.
Inta dapat menangkap perubahan ekspresi Bisma, kemudian segera menjelaskan. "Mereka ini bukan polisi. Mereka bodyguard gue yang pake baju polisi. Mereka udah dapet izin buat pake baju polisi dan atributnya, jadi ini bukan penipuan."
Inta menekankan kata penipuan sambil menatap Mala, sengaja menyindir. "Dan, bukti-bukti kejahatan kalian udah dikirim ke kantor polisi. Kalo mau liat rekamannya, kalian bisa minta ke polisi yang jemput kalian nanti." Inta mengakhirinya dengan senyum miring.
Ketiga wajah itu tak habis pikir mendengar penjelasan Inta barusan. Bahkan wajah Mala terlihat pucat pasi. "Nggak mungkin! Lo pasti bohong!" teriak Mala frustasi.
"Nggak percaya?" Inta melirik Eria di belakangnya.
Eria dengan cepat mengeluarkan i-Pad miliknya yang menampilkan semua kebusukan yang sudah Mala dan Sandi lakukan terhadap Bisma. Keduanya melotot saat melihat wajah mereka ditampilkan di layar.
Diambil dengan sudut pandang dari atas, dari jarak jauh hingga dekat. Tentu saja itu hasil kerja kamera lalat Eria yang bekerja tanpa henti siang dan malam. "Apa masih kurang buktinya?" Eria tersenyum puas melihat reaksi Mala dan Sandi.
"Intinya kalian bertiga bakal di penjara semua."
Bisma menoleh cepat, "Gue juga? Salah gue apa?!"
Inta mengepalkan kedua tangan. "Lo--"
Kalimat Inta terhenti saat Eria memegang pundaknya. "Polisi bentar lagi dateng, mending kita bahas nanti di tempat lain," pinta Eria berusaha meredam emosi Inta.
Bisma yang masih merasa tak terima akhirnya bersuara, "Sebelum itu, gue ada satu permintaan."
***
Sore ini mama Raina tak bisa menjemput, terpaksa dia harus naik bis untuk pulang ke rumah. Sebenarnya Raina bisa saja meminta bantuan temannya, tapi dia tak ingin merepotkan mereka. Raina akhirnya menunggu di halte sambil mendengarkan musik dengan earphone.
Tiba-tiba di pikiran Raina terbayang sosok Inta dan Eria yang selalu ada untuknya. Rasanya sangat sepi saat keberadaan dua orang itu tak ada. Raina mengedarkan pandangan, pupil mata cewek itu bergetar saat melihat sosok yang sangat tak ingin dia lihat.
Walau dari kejauhan, Raina bisa tahu siapa cowok dengan hoodie hitam yang berdiri di depan toko bunga. Pertanyaan yang langsung terlintas di pikiran Raina, siapa yang sedang Bisma tunggu? Dan untuk siapa bunga di tangan cowok itu?
Tanpa sadar Raina beranjak berdiri, kemudian melangkahkan kakinya mendekat ke arah Bisma secara perlahan. "Bis--"
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan Bisma. Langkah kaki Raina terhenti saat itu juga. Seseorang berteriak dari dalam mobil. Samar, Raina bisa mendengarnya. "Harus banget, ya, beli bunga di sini?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Raina✔
Teen FictionCompleted Ketika mantan datang memberi rasa nyaman di saat kita merasa bosan dengan pasangan Siapa yang akan Raina pilih? Bisma Azka Tama--cowok yang dulu meninggalkannya karena memilih cewek yang lebih cantik darinya atau Bryan Arsenio--cowok yang...