RAINA 34 - Peringatan

166 17 2
                                    

"Seriusan lo mau gue jadi pasangan lo?"

Mala mengangguk yakin, menjawab pertanyaan yang baru saja Bisma lontarkan. "Serius lah! Lo itu kapten basket, ganteng, populer, pinter, banyak fans, dan lo cocok jadi wakil ketua OSIS gue."

Entah kenapa, jantung Bisma berdetak lebih kencang. "Lo bilang gue...apa?"

"Kapten basket," balas Mala tak acuh.

"Bukan itu, tapi--"

"Ganteng?" Mala mengangguk singkat. "Iya, lo ganteng."

Kedua pipi Bisma memanas mendengar itu. Bisma menyeruput kopi yang tadi dia pesan. Mungkin saking salah tingkahnya, Bisma lupa kalau dia memesan kopi panas.

"Aw!" Bisma langsung meletakkan cangkir kopinya di meja. Ia meringis merasakan lidahnya yang melepuh.

"Bis, lo kenapa?"

Ketika Bisma membuka kedua mata, dia terkejut melihat wajah Mala hanya berjarak satu jengkal dengan wajahnya.

"Panas!"

Belum reda dengan keterkejutannya tadi, Bisma kembali terkejut ketika Mala menangkup wajahnya dengan kedua telapak mungil cewek itu.

"Makanya nunggu dingin dulu minumnya, Bis!"

Tatapan mereka bertemu. Saling menatap lekat satu sama lain. Perlahan Mala mendekatkan wajah ke arah Bisma, membuat Bisma menahan napas. Mala memejamkan mata dan entah kenapa Bisma juga ikut menutup kedua matanya.

Byur!

"Anj*ng!"

Mala mengumpat dan langsung berdiri. Ia mengibaskan kaki membuat beberapa tetes air berwarna hitam menetes dari sepatunya.

Mala mendongak, menatap tajam orang yang sekarang berdiri di depannya sambil membawa gelas berukuran besar yang sudah kosong. Ia yakin orang itu adalah orang yang baru saja menumpahkan kopi ke kakinya.

"Lo sengaja, ha?!"

Mala tidak bisa melihat wajah seseorang itu karena memakai masker dan kaca mata hitam. Orang itu juga menaikkan tudung hoodie yang dia pakai.

"Gue nggak sengaja." Suara serak orang itu terdengar.

"Nggak sengaja kata lo?!"

Tangan Mala terangkat, mengarah ke pipi orang itu. Belum sempat telapak tangan Mala mendarat di pipinya, orang itu lebih dulu mencengkram pergelangan tangan Mala.

"Aw!" Mala meringis. Cengkraman orang itu begitu kuat.

"Gue udah bilang, gue nggak sengaja numpahin ke kaki lo. Padahal niat gue langsung ke wajah sok cantik lo," orang itu berkata kelewat santai kemudian menghempaskan tangan Mala hingga dia terbentur meja kafe dan terjatuh.

"Mala!" Bisma berlari dan membantu Mala berdiri.

Di balik kacamata hitamnya, orang itu memutar bola mata malas melihat raut wajah khawatir Bisma yang kentara. Orang itu membalikkan badan.

Baru dua langkah, suara teriakan Bisma terdengar dan membuat orang itu berhenti. "Lo minta maaf sekarang juga sama Mala!"

Orang itu mendengus geli. "Minta maaf? Emang gue ada salah sama selingkuhan lo itu?"

Dahi Bisma berkerut. Siapa orang itu? Kenapa dia bisa menyebut Mala sebagai selingkuhannya? Karena kalau dipikir-pikir, jika orang-orang bukan mengira mereka berdua berteman, ya, mereka pasti mengira bahwa Mala pacar Bisma.

Tapi, orang itu menyebut Mala selingkuhannya. Pasti orang itu mengenal Bisma.

Melihat orang itu hendak melanjutkan langkahnya lagi, Bisma beranjak berdiri dan menahan bahu orang itu. "Siapa lo?"

Orang itu sedikit menggerakkan kepalanya ke kiri, melirik tangan Bisma yang menahan bahunya. "Gue orang terdekat lo." Detik berikutnya, tanpa Bisma duga, orang itu membanting tubuhnya ke lantai.

Bruk!

Beberapa pengunjung kafe yang dari tadi menjadi penonton memekik histeris mendengar suara debuman keras itu.

Tangan kiri orang itu menahan pergelangan tangan Bisma sedangkan tangan kanannya mencengkram erat leher Bisma.

Lutut orang itu juga menahan lengan kiri Bisma, membuat Bisma sama sekali tidak bisa bergerak. Ditambah kekuatan orang itu yang lebih besar dari kekuatan Bisma.

"Ini peringatan buat lo, Bisma Azka Tama!" desisnya.

Suara benturan kepala dengan lantai terdengar samar ketika orang itu menahan leher Bisma yang berusaha lepas dari cengkramannya.

"Hari ini lo bisa dikatakan beruntung. Cuma gue yang nyerang lo. Kalo lo nyakitin cewek lo lagi, kita pastiin lo bakal dapet yang lebih dari ini!" ucap orang itu penuh penekanan pada setiap katanya.

Bisma terdiam cukup lama sebelum berkata, "Gue nggak bakal nyakitin Raina."

Di balik maskernya, orang itu tersenyum miring. "Kita liat aja nanti."

"Pak Satpam, bantuin temen saya dan kalian semua kenapa diem aja?!" Suara teriakan Mala terdengar, membuat orang itu melepaskan cengrakamannya pada leher dan tangan Bisma.

Orang itu beranjak berdiri. Menepuk kedua telapak tangannya seolah sedang membersihkan debu lalu melangkah tak memperdulikan teriakan Mala yang menyuruhnya berhenti.

Sesampainya di depan meja pesanan, orang itu berbicara pada manajer kafe. "Seret mereka berdua keluar dari sini dan beri tau seluruh rekan kerja saya supaya jangan pernah membiarkan mereka masuk ke kafe dan restoran yang ada di kota ini lagi."

Manajer dan beberapa pegawai kafe membungkukkan badan, mematuhi perintah pemilik kafe tempat mereka bekerja.

"Baik, Bos."

***

Setelah sampai di kamar, Bisma membanting tasnya ke kasur. Bisma menggeram kesal dan mengusap lehernya yang terasa nyeri.

"Argh! Siapa sih orang itu?!"

Bisma melihat jam yang tertempel di dinding. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Lalu, kedua matanya menangkap sebuah pigura yang tertempel di sisi kiri jam.

Bisma mematung. Setelah hampir empat jam, dia baru teringat dengan nama seseorang yang begitu berarti untuknya.

"Raina."

Tanpa mengganti seragam putih abu-abunya terlebih dahulu, Bisma menyambar kunci motor lalu berlari keluar kamar.

"Bisma kamu mau kemana lagi?!" teriakan ibu terdengar ketika Bisma berlari menuruni tangga. 

Bisma berlari keluar rumah dan tidak menjawab pertanyaan Ibu.

Setelah lima belas menit perjalanan, Bisma sampai di sekolah Raina. Siapa tahu Raina masih menunggunya di sana.

Bisma turun dari motor tanpa melepaskan helm. "Maaf, Pak, permisi," ucapnya membuat dua orang yang duduk di pos satpam berhenti berbincang.

"Kenapa, Mas?"

"Masih ada siswa yang di dalem nggak ya, Pak?"

"Nggak ada, Mas. Udah pulang semua," jawab satpam itu.

Bisma memejamkan kedua matanya erat, menahan emosi. Bodoh, Bisma sangat bodoh. Bagaimana bisa dia lupa dengan Raina?

"Makasih, Pak." Bisma kembali menaiki motornya. Mengedarkan pandangan sekali lalu menghela napas berat sebelum melajukan motornya pergi dari sana.

Rain, maafin aku.





🍂🍂🍂

Yang kesel sama Bisma?

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

MintAdjie21 and Ischyros27

02 Desember 2020

Raina✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang