Happy reading
*****
Disinilah Acha sekarang. Duduk termenung di gazebo mini belakang rumahnya sambil sesekali melempar malas makanan ikan dari wadah yang ada di genggamannya. Wajahnya terlihat lesu tanpa ada senyum yang menghiasi. Tatapannya kosong, tak seperti biasanya.
Hah ... sebenarnya Acha benci seperti ini. Namun ... pertanyaan kakeknya tadi sangat mengganggunya. Membuatnya kembali berpikir, apa sebenarnya yang membuatnya begitu tertarik kuliah di Australia.
Sebuah tepukan mengagetkannya, mengakibatkan wadah makanan ikan yang dipegangnya jatuh bebas ke bawah dan isinya berserakan di lantai gazebo. Melihat itu, Acha langsung menoleh, ternyata, bunda nya yang mengagetkannya tadi.
"Bunda! Kok Acha dikagetin sih? Kan jadi jatuh makanan ikannya?" Acha menatap nanar makanan ikan yang berserakan.
"Hihi ... maaf deh maaf, habisnya kamu itu mau ngasih makan ikan atau ngelamun sih? Masa kamu ngasihnya banyak-banyak gitu? Nggak ditakar, nanti yang ada ikannya mati." Maudy kembali menepuk-nepuk bahu Acha, berharap putrinya itu bisa sedikit tenang.
"Bun, Acha boleh tanya sesuatu nggak?," ucap Acha tiba-tiba. Maudy mengangguk, meng-iyakan permintaan putrinya.
"Bunda dulu kenapa kok milih kuliah kedokteran? Di Inggris lagi. Apa ada yang membuat bunda benar-benar tertarik sama dunia kedokteran dan Inggris? Selain bunda nyaman tentunya."
"Ada alasan tersendiri yang bikin bunda jadi tertarik sama jurusan kedokteran. Kamu tahu kan, nenek meninggal karena donorin jantungnya buat bunda? Tapi ternyata ... jantungnya nenek malah nggak cocok sama bunda. Dari situ, bunda mulai tertarik buat belajar kedokteran, terutama masalah jantung. Bunda pengen bantuin orang yang bernasib sama kayak bunda. Setidaknya, bunda bisa berusaha menyelamatkan mereka."
Maudy menjeda ucapannya sejenak. Ia mendongak, mencegah agar air matanya tak menetes di depan putrinya. Bagaimanapun, Maudy ingat saat-saat itu. Saat itu, Fariz masih membencinya. Namun, Maudy tidak akan menceritakan bagian itu pada anak-anak nya.
"Dan kenapa bunda milih Inggris ... itu karena nenek lahir disana. Bunda pengen kuliah di tempat kelahiran nenek, itu aja kok. Sekarang gantian bunda yang tanya. Kamu kuliah S2 ambil jurusan apa?"
"Acha mau ambil jurusan manajemen bisnis disana."
"Kenapa? Bukannya kamu hobi bikin kue? Kok nggak ambil jurusan yang relate ke sana?" Maudy mencoba menggali lebih dalam.
Acha menatap bundanya. Tangannya masih asyik memainkan makanan ikan yang berhamburan di lantai. "Soalnya, Acha mau bantuin ayah buat ngurus perusahaan nanti. Acha kasihan sama ayah, tiap pagi sampai malam bahkan weekend pun ayah masih kerja. Padahal, ayah kan juga butuh liburan. Makanya, Acha ambil jurusan itu biar nantinya bisa bantu ayah. Dan ayah bisa istirahat, biar Acha sama Kak Arka aja yang kerja."
Maudy tersenyum, melihat kesungguhan di mata putrinya saat mengatakan itu. Maudy rasa, Acha sudah menemukan alasan kuat untuk kuliah disana. Lantas, mengapa Acha tak bisa menjawab pertanyaan dari Fariz tadi?
Ya, Maudy tahu jika Fariz tadi sempat bertanya pada Acha. Fariz bilang, ia hanya ingin menguji Acha, apakah Acha benar-benar berminat untuk melanjutkan kuliahnya, atau hanya ketertarikan sesaat saja. Itulah yang Fariz maksud. Fariz tak ingin, jika cucunya nanti malah berhenti kuliah karena bosan atau alasan sepele yang lain. Maka dari itu, Acha harus menemukan tujuan yang kuat. Setidaknya, jika ia lelah, ia bisa mengingat apa tujuannya melanjutkan kuliah.
"Makasih bunda. Bunda udah bantu Acha buat nemu jawabannya. Sekarang, Acha lega."
"Iya, sekarang beresin tuh makanan ikannya. Habis itu, kamu istirahat. Dari makan siang tadi, kamu belum istirahat kan Cha? Nanti malah sakit lagi." Maudy membantu Acha untuk mengumpulkan makanan ikan itu.
"Iya bunda, Acha mau ke kamar dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa, panggil aja." Acha beranjak dari sana. Membawa kotak yang telah terisi makanan ikan itu dan meletakkannya di bawah kolong gazebo.
*****
Acha mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya. Jika dulu Maudy adalah penyuka warna hijau tosca, maka putrinya ini adalah penyuka warna biru, terbukti dari kamarnya yang bernuansa biru itu. Dari mulai cat tembok, bed cover, sampai tirai jendelanya pun berwarna biru. Jangan lupakan dua nakas diantara tempat tidurnya yang juga berwarna biru itu.
Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Sebelum tidur, ia memang terbiasa untuk mengambil wudhu dulu. Sejak ia dan Arka masih kecil, Maudy selalu membiasakan mereka untuk berwudhu sebelum tidur. Alhasil, kebiasaan itu terbawa hingga mereka dewasa. Alhamdulillah.
Setelah wudhu, Acha merebahkan dirinya di kasur berukuran lumayan besar itu. Ah, rasanya ia rindu sekali dengan kasur favoritnya ini. Memang benar apa kata orang, bahwa tempat ternyaman di dunia ini adalah rumah kita sendiri. Begitu yang dirasakan Acha saat ini.
Seiring dengan jarum jam yang terus bergerak, rasa kantuk pun menyerangnya. Perlahan, ia terlelap tidur. Menyusuri samudera mimpinya yang amat luas.
*****
Terima kasih yang udah mau baca
See you next chapter.....
7 Februari 2021
dif_ran
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Acha ✓
Spiritual[ Sequel Maudya ] Kehidupan Acha-Arsha Indira Brawijaya yang semula tenang seketika berubah. Berawal dari pertemuan yang tak sengaja dengan Edward, seorang pemuda blasteran Indonesia-Australia, kini dunianya serasa dijungkir balikkan oleh Edward. Ac...